.
Friday, November 22, 2024

Pena de Portugal

15 Menit ke Masjid, Ada Pula yang Harus Naik Kapal (1)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Bulan Ramadan dan Lebaran sudah dilewati. Tapi ceritanya pasti berkesan, terkenang pula. Apalagi di luar negeri, jauh di negeri orang.   Sejumlah WNI di Portugal berbagi cerita tentang Ramadan hingga Idul Fitri.

===

Masjid-masjid yang ada di Lisbon juga menyelenggarakan buka puasa bersama. Juga Salat Tarawih hingga hampir tengah malam. Kami belum pernah ikut buka puasa dan Salat Tarawih di masjid. Karena jam berbuka puasa sekitar 20.30 WEST (Western European Summer Time). Isya jam 21.20 WEST. Dan baru dilanjutkan Salat Tarawih. Nekat membawa dua putra kami, DoubleZ  ke Lisbon saat perjalanan jauh di malam hari bukanlah ide yang bagus. Namun seorang pemuda asli Bogor  Jawa Barat yang sedang menempuh S2 di ISCTE IUL (Instituto Universitario de Lisboa) Business School  berbagi ceritanya.  Pemuda bernama lengkap Rahman Satyanegara ST ini lebih akrabnya disapa Rahman. Dia baru saja menempuh studi semester satu di IUL. Rahman mengikuti program Double Degree dari Magister Manajemen  Universitas Gadjah Mada (MM UGM).

Tempat kosnya lumayan dekat dari Mesquita Central de Lisboa,  masjid terbesar di Lisbon. Maka sehari-harinya ikut meramaikan berbuka puasa bersama di masjid.

“Lumayan dari tempat kosan cukup jalan 15 menit. Tidak perlu pusing memasak terlebih dahulu, menu berbuka puasa di masjid pun selalu ganti setiap harinya. Tema menu buka puasa lebih ke arah timur tengah, Pakistan, India. Didominasi menu kari. Lengkap dengan takjil, gorengan kecil, makanan berat, kurma, dan minuman,” cerita pemuda kelahiran November 1998 ini saat pertama kali bertemu dengannya.

Para jamaah yang akan berbuka puasa di masjid tidak perlu mendaftar sebelumnya. Langsung datang on the spot saja. Sekitar 500 orang setiap harinya memenuhi masjid. Menu yang disediakan juga lebih dari itu, bahkan bisa sisa. Jamaah boleh meminta lebih untuk dibawa pulang. Bisa untuk sahur atau mungkin keluarga  di rumah. Membawa menu buka puasa pulang tidak harus menunggu Salat Tarawih.

“Di hari puasa menjelang lebaran, bisa dibilang gak semewah saat hari ketiga puasa. Yang berkurang cuma roti yang besarnya saja sih, tapi nasi, minum, sama gorengan yang kecil masih tetap ada. Sebenarnya mewahnya bukan sangat wah sih,” katanya.

“Standar mewahnya sih paling masing-masing orang dapat roti tawar sama manis (masing-masing satu atau dua), terus ada sup daging sama kacang, ada gorengan dua butir, ada teh tarik, jus jeruk (botolan atau kemasan), buah segar, air mineral, terus makanan beratnya biasanya pake tumisan sayur dan daging atau ayam suwir,” sambung Rahman lebih detail.

Mesquita Central Lisboa memiliki empat lantai. Sangat besar dan bisa menampung ribuan jamaah. Saat Bulan Ramadan, jamaah diarahkan menuju ruang utama di lantai tiga untuk mendapatkan kurma dan air mineral (membatalkan puasa).

Setelah itu salat berjamaah. Turun ke lantai dua untuk antre mengambil makanan. Di sana ada meja putih panjang yang disiapkan sebagai ruangan makan. Sudah tersedia manisan, gelas minum dan gorengan. Setelah itu barulah makanan berat didistribusikan dengan rapi.

Jamaah muslim banyak berasal dari Asia, Timur Tengah, Afrika dan lokal Portugis. Data dari Lisbon pada tahun 2019, jumlah penduduk muslim di Lisbon tercatat sebanyak 65.000 orang.

Cerita berbeda  datang dari Amos Bintang Panesse. Ia sudah menetap dua tahun di Lisbon. Amos bekerja di salah satu organisasi non profit. Dia  tinggal di daerah Berreiro. Harus menggunakan transportasi kapal ke Lisbon kota. Karena itulah tidak bisa terlalu sering  meramaikan buka puasa di masjid besar.

Lebaran kali ini Amos sejak awal   merencanakan ikut Salat Id di masjid. Lalu silaturahmi di Kedutaan RI dengan teman-teman Indonesia yang ada di Portugal. Serta mengajak tunangannya  jalan-jalan ke tempat menarik di Lisboa. Tunangan Amos seorang wanita cantik asal Portugis. Beatriz namanya.

“Kalau Salat Id di sini harus siap mendengarkan kotbah dalam Bahasa Arab atau Bahasa Portugis. Bayar zakat pun juga bisa langsung di masjid. Per orang dikenakan 3,5 Euro. 1 Euro : Rp 16.200,” tambah Amos.

Ternyata saat hari H lebaran, Amos tidak bisa mengikuti Salat Id di kedutaan. Itu karena terkendala transportasi di pagi hari.

Pemuda asli Semarang yang belum memutuskan tinggal untuk waktu lama di Lisbon ternyata betah tinggal di sini. “Kalau bekerja dan kesejahteraan hidup saya lebih senang tinggal di Portugal. Sedangkan  untuk hidup di hari tua, saya memilih tinggal di Indonesia,” kata dia. Selain bekerja, Amos juga senang mengupload seputar kehidupan di Portugal melalui akun Youtube-nya. @amospanesse3467. Tema Youtube sekitar tempat wisata dan kehidupan berpasangan dengan orang lokal Portugis. (opp/van/bersambung)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img