MALANG POSCO MEDIA– Tiga tahun setelah terbentuk Gemeente Malang langsung bangun pedestrian. Persisnya tahun 1917. Lokasinya
Di Kawasan Stasiun Kotalama, Pecinan dan Kayutangan. Khusus Kayutangan dikonsep eksklusif. Pemerintah kolonial sempat larang warga pribumi masuk kawasan tertentu di Kayutangan.
Diulas Kroniek der Stadsgemeente Malang Over de Jaren 1914-1939, pembangunan pedestrian pertama di Kawasan Stasiun Kotalama. Di buku yang dipublish pada tahun 1939 ini, pembangunan pedestrian kedua di sekitar Pecinan lalu di Kayutangan.
Pada tahun 1919, pedestrian di Kayutangan kembali diperbaiki alias dipercantik. Pembangunan pedestrian memang menjadi salah satu infratsruktur penting kala itu. Terutama ketika HI Bussemaker mulai menjabat sebagai wali kota.
“Karena adanya pedestrian itu muncul istilah KPM. Yakin Kayutangan, Pecinan, Muleh (Kayutangan,Pecinan, Pulang). Saat itu kawasan yang ada pedestrian jadi tempat jalan-jalan,” jelas pemerhati sejarah Kota Malang, Agung Bhuana kepada Malang Posco Media kemarin.
Pembangunan pedestrian di tahun-tahun awal Kota Malang, menurut Agung merupakan cara pemerintahan saat itu membangun Kota Malang menjadi kota yang memiliki pusat perdagangan. Pecinan dan Kayutangan sudah menjadi kawasan pusat perdagangan.
Maka lanjut Agung, mengadopsi kebiasaan warga asing di Eropa saat itu, sebuah kawasan pusat perdagangan harus didukung pedestrian. Tujuannya agar warga bisa jalan-jalan sambil melihat apa yang dijajakan di kawasan tersebut.
Maka tidak heran jika di Pecinan dan Kayutangan terdapat banyak bangunan atau gedung bekas toko lawas khas bangunan Eropa. Sampai saat ini pun masih bisa dilihat warga Kota Malang.
“Terlebih di Kayutangan. Di sana sejak dibangun pedestrian menjadi kawasan dagang yang elite atau eksklusif,” kata dia.
Bahkan kata Agung, ada larangan warga pribumi tidak boleh memasuki kawasan-kawasan tertentu di Kayutangan. Ia menyampaikan ada sebuah dokumen yang pernah ia temukan menyebut beberapa kafe di Kayutangan saat itu menempelkan sebuah peringatan larangan bagi warga pribumi. Tulisannya diartikan dengan warga pribumi dan anjing tidak boleh masuk. Itulah gambaran kawasan Kayutangan yang super eksklusif saat itu.
Keberadaan pedestrian memacu perkembangan Kayutangan. Masa kejayaannya di tahun 1925-1940. Kala itu Kawasan Kayutangan disebut sebagai “The Jewel of Malang” atau permatanya Malang.
Toko-toko yang berdiri di Kayutangan bukanlah toko seperti sembako atau makanan biasa. Tetapi toko-toko yang menjual alat musik, jual mobil, motor, hingga salon kecantikan dan barbershop bagi pria dan wanita.
“Pedestrian saat itu sudah sangat penting. Wali kota pertama saat itu, HI Bussemaker fokus ke pembangunan pedestrian untuk mengembangkan potensi kawasan Malang. Dan memang berkembang bisnis di sana,” pungkas Agung. (ica/van)