spot_img
Monday, May 6, 2024
spot_img

27 Tahun Konflik Lahan Kalibakar Berakhir Islah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Konflik tanah  berkepanjangan selama 27 tahun di Desa Bumirejo Kecamatan Dampit mulai terselesaikan. Kedua belah pihak yakni PTPN I Regional 5 dan  warga bersepakat untuk berdamai. Hal ini ditandai dengan melakukan penandatanganan perdamaian (islah) yang digelar di Pendopo Pemkab Malang, Kamis (4/4) kemarin.

Penandatangan dilakukan oleh Manajer Kebun Kalibakar PTPN I Regional 5 Wibi Rikananto bersama Kepala Desa Bumirejo Sugeng Wicaksono, yang mewakili petani atau penggarap tanah.

Region Head PTPN I Regional 5 Winarto yang secara langsung menyaksikan momen islah itu menyebut peristiwa tersebut  adalah suatu hal yang sangat membanggakan. Sebab selama 27 tahun tanah Kalibakar tidak ada kejelasan terkait permasalahan konflik tanahnya. Saat ini sudah ada titik terangnya. Dari total lahan seluas 1.900 hektare, yang sudah islah kemarin seluas sekitar 545 hektare.

“Penandatanganan perdamaian ini adalah pintu awal untuk melangkah pada jenjang yang lebih baik lagi dan saling menguntungkan. Nanti masih ada proses lagi. Mudah-mudahan kedepannya semakin lancar berkat doa kita bersama. Sisanya bertahap, kami lihat projek ini,” terang Winarto.

Menurut Winarto, selama 27 tahun konflik agraria itu, pihaknya mengaku dirugikan karena tidak ada titik temu yang saling menguntungkan. “Selama 27 tahun, kami per tahunnya harus bayar pajak Rp 4 miliar,” sebut dia.

Sementara itu, Kepala Desa Bumirejo Kecamatan Dampit Sugeng Wicaksono mengatakan pihaknya bersama Forkopimda Kabupaten Malang bersama dengan PTPN I Regional 5 bakal melakukan pembahasan lanjutan terkait penataan konsep kedepannya. Yang terpenting bagi Sugeng, dengan adanya kesepakatan islah ini, masyarakat bisa beraktivitas dengan tenang dalam mengelola tanah tersebut.

“Prinsip hari ini, tanah itu dikelola masyarakat dengan aman, nyaman, tidak lagi takut diancam pidana atau perdata. Sehingga mendapat kepastian untuk mengelola tanah itu,” tutur Sugeng.

Dari 545 hektare yang telah disepakati, Sugeng menyebut ada ratusan keluarga yang mengelola lahan tersebut. Dengan islah ini, sisa lahan lainnya bisa segera menyusul.

“Dari 545 hektare, yang memanfaatkan kurang lebih 700 KK dengan jumlah penggarap 1.100 orang,” rinci dia.

Momen islah kedua  pihak itu juga disaksikan   Bupati Malang HM Sanusi beserta segenap jajaran Forkopimda Kabupaten Malang. Dengan adanya islah ini, Sanusi berharap kedepan dari lahan itu bisa menghasilkan produk unggulan yang bisa memberi manfaat kepada masyarakat luas. 

“Saya berharap kedepan terjadi islah lagi. Setahu saya dalam historisnya PTPN Kalibakar itu merupakan (penghasil) produk kakao terbaik di dunia. Kalau bisa menukil sejarah lagi, dengan kepastian hukum dan aturan yang dikawal oleh Kajari, ini bisa menjadi sebuah kenyataan maka nilai unggulan Kabupaten Malang di mata dunia akan terukir kembali,” tutur Sanusi.

Berdasarkan historis konflik agraria di Kalibakar ini, sejatinya  sejak 1997 dimana saat itu warga di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Dampit, Kecamatan Tirtoyudo dan Kecamatan Ampelgading mengklaim kepemilikan lahan. Lahan itu telah dikelola sejak era pendudukan Jepang oleh warga secara turun temurun.

Ketika era kemerdekaan, lahan itu otomatis diambil alih oleh pemerintah Indonesia sesuai UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, dimana saat itu hadir PTPN XII, yang saat ini namanya berganti menjadi PTPN I Regional 5, yang merepresentasikan dari pemerintah Indonesia.

Sekretaris Forum Komunikasi Tani Malang Selatan (Forkotmas) Didik Sudarmoko menyampaikan pihaknya menyayangkan langkah yang kurang tegas dari pemerintah. Sebab HGU (Hak Guna Usaha) PTPN sudah habis pada 2013 lalu. Semestinya pemerintah bisa mengambil alih pengelolaan lahan tersebut.

Desa Bumirejo merupakan satu dari enam desa yang tengah mengalami konflik lahan. Keenam desa itu ada di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Dampit, Kecamatan Ampelgading dan Kecamatan Tirtoyudo. Sehingga masih lima desa lagi yang belum  islah.

“Saya sudah pernah komunikasi dengan bupati, semestinya pemerintah bisa hadir dan mengambil alih. Nah untuk islah hari ini, itu pasti ujungnya adalah warga digiring untuk memilih HPL (Hak Pengelolaan Lahan) yang mana itu ada batas waktunya. Kalau dua kecamatan lain, Tirtoyudo dan Ampelgading sampai saat ini masih memilih redis (Redistribusi Tanah). Kalau pemerintah hadir dan tegas, permasalahan ini bisa lebih cepat selesai,” tandasnya. (ian/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img