MALANG POSCO MEDIA – Warga Desa Tlekung Kecamatan Junrejo Kota Batu memastikan hal terburuk akan terjadi pada, Rabu 30 Agustus 2023. Yakni TPA Tlekung Kota Batu harus tutup. Hal itu ditegaskan oleh Kepala Desa Tlekung Mardi bersama beberapa warga yang hadir dalam diskusi publik yang digelar MPM di Rumah Kita, Kamis (24/8) lalu.
“Memang kita bertemu bersama yang kita cari adalah solusi penyelesaian tentang permasalahan sampah TPA Tlekung. Kami sampaikan bahwa masyarakat sudah tidak butuh musyawarah. Jadi apa yang kami sampaikan adalah saran atau usulan masyarakat (penutupan TPA Tlekung, red),” ujar Mardi dalam diskusi siang itu.
Diskusi Rutin MPM edisi ketiga siang itu mengangkat tema ‘Nasib TPA Tlekung Kini dan yang Akan Datang.’’ Hadir dalam diskusi, Wakil Ketua DPRD Kota Batu Nurrochman, Kepala Dinas Likungkungan Hidup Kota Batu Aries Setiawan, komunitas Sabers Pungli, Komunitas Tandur Banyu dan perwakilan warga Desa Tlekung.
Mardi menerangkan bahwa keputusan terburuk tersebut karena warga Tlekung menilai penanganan sampah tidak dikelola dengan baik. Bahkan ketika masyarakat Desa Tlekung dijanjikan untuk dipekerjakan di TPA Tlekung, pihaknya menolak atas keputusan warga.
“Terkait masalah tenaga kerja kami juga menerima, tapi yang penting ada dulu buktinya (penyelesaian tuntutan warga, red). Karena masyarakat menilai (perekrutan tenaga kerja, red) hanya untuk meredam masyarakat lagi. Sehingga saya takut disalahkan lagi,” bebernya.
Bahkan masyarakat juga sudah menyampaikan akan menutup TPA Tlekung pada tanggal 30 Agustus. Selain itu apapun yang dibutuhkan untuk menutup TPA Tlekung seperti baner juga sudah siap. “Untuk berapa lama penutupan, saya tidak tidak bisa menjanjikan. Apakah sehari, seminggu atau sebulan. Jangan tutup harus ada janji bukti. Yang jelas sampai terbukti Pemkot Batu melakukan apa yang dijanjikan,” tegas Mardi.
Oleh karena itu, Pemdes Tlekung berharap harus ada solusi dan jalan terbaik bersama-sama dalam menangani permasalahan sampah di Kota Batu. Tujuannya agar Kota Batu sebagai kota wisata bisa dirasakan keamanan, kenyamanan dan keindahannya.
“Dari Pemerintah Desa yang tergabung dalam APEL juga sangat mendukung semuanya. Salah satunya penganggaran melalui APBDes dalam mengelola sampah di tingkat desa,” imbuhnya.
Menyikapi permasalahan sampah tersebut, Catur Wicaksono aktifis Sabers Pungli mengatakan bahwa saat ini pengelolaan sampah di Kota Batu belum menyentuh pada permasalahan dasar, yakni pemilihan sampah mulai dari rumah tangga.
“Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah sudah baik. Namun masih belum menyentuh akar permasalahan, yakni merubah habit atau kebiasaan masyarakat, baik per orangan maupun lembaga,” tegas Catur.
Menurutnya permasalahan dasar pengelolaan sampah adalah habit masyarakat yang belum memilah sampah dari rumah. Sehingga ketika sampah dipindah dari rumah ke TPA, belum dipilah antara sampah organik dengan anorganik.
“Habit masyarakat yang tidak memilah sampah itulah yang perlu diubah. Caranya Pemerintah bisa memberikan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat maupun lembaga atau industri yang ada di Kota Batu,” tegasnya.
Untuk bisa menerapkan reward dan punishment tersebut, sebagai instansi Pemerintah bisa dengan menerbitkan Perwali sebagai payung hukum dari aturan yang dibuat. Kemudian ditindaklanjuti oleh Pemdes melalui Perdes. Karena jika tidak ada payung hukum, aturan akan diacuhkan oleh masyarakat.
“Reward sendiri nanti bisa berupa pembayaran keringanan untuk retribusi sampah yang lebih murah. Sebaliknya untuk punishment berupa pembayaran retribusi sampah dengan harga yang tinggi mengacu Perwali,” bebernya.
Misalnya ketika sudah dibuatkan Perwali terkait reward dan punishment bagi warga yang memilah sampah dari rumah maka akan dikenakan biaya Rp 25 ribu per bulan. Nilai retribusi Rp 25 ribu merupakan BOP dari pengelolaan untuk sampah.
Namun bagi warga yang tidak memilah sampah dari rumah maka akan dikenakan biaya Rp 50 ribu per bulan sebagai bentuk punishment. Hal itu juga berlaku bagi lembaga atau industri yang ada di Kota Batu dengan nilai yang berbeda.
“Dengan begitu kami yakin masyarakat hingga pelaku industri di Kota Batu akan memilah sampah dari rumah. Karena mereka akan berpikir lebih baik mereka membayar retribusi lebih rendah dari pada lebih tinggi,” imbuhnya.
Tentunya agar aturan itu berjalan dengan baik, ditegaskan Catur perlu juga diterbitkan aturan turunannya di tingkat desa dengan membuat Perdes. Selanjutnya tinggal pelaksanaan teknis.
“Jadi pada intinya untuk merubah habit yang lebih baik memang perlu dilakukan tekanan. Jika tidak, pengelolaan sampah tidak akan pernah maksimal. Apalagi sudah diketahui bila pengelolaan sampah seperti di TPA terbilang cukup mahal pada sisi pemilahan sampah yang dilakukan oleh pekerja,” urainya.
Sementara perwakilan Komunitas Tandur Banyu, Affan mendorong agar Pemerintah Daerah melonggarkan kebijakan anggaran di pemdes/ kelurahan untuk pengelolaan sampah di tingkat desa/ kelurahan. Karena menurutnya pemdes/ kelurahan takut menganggarkan untuk pengelolaan sampah karena tidak ada plot untuk program tersebut.
“Melihat keadaan ini maka Pemkot Batu harus melonggarkan kebijakan anggaran di desa/ kelurahan agar ada pengelolaan sampah melalui APBDes. Selama ini penganggaran melalui DD/ADD belum tersentuh ini karena pemdes/ kelurahan mau anggarkan itu masih ragu-ragu dan takut salah (melanggar hukum, red),” pungkasnya. (eri/lim/habis)