Imam Pinarko, Penjaga Sunyi Candi Jago dan Candi Kidal
Suara gesekan sabit terdengar pelan di halaman Candi Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Di bawah terik matahari, seorang pria berkaus lusuh tampak tekun memotong rumput yang mulai meninggi. Dialah Imam Pinarko (51), sosok yang sudah 33 tahun mendedikasikan hidupnya merawat dan menjaga dua candi bersejarah di Malang, Candi Kidal dan Candi Jago.
MALANG POSCO MEDIA – Bagi Imam Pinarko candi bukan hanya tumpukan batu kuno peninggalan Kerajaan Singasari. Lebih dari itu, candi adalah bagian dari jiwa Malang dan warisan yang harus dijaga agar generasi mendatang tetap bisa belajar darinya.
“Merawat percandian mulai dari buyut, mbah, bapak, dan sampai sekarang saya. Sejak kecil saya sudah ikut membantu bapak. Tapi saya tidak pernah berpikir akan menjadi juru pelihara,” kenangnya dengan senyum tipis.
Imam adalah generasi keempat dalam keluarganya yang mengemban tugas sebagai juru pelihara. Ia mulai terlibat sejak usia 17 tahun, bergabung dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Dua puluh lima tahun lamanya ia menjaga Candi Kidal, sebelum akhirnya dipindahtugaskan ke Candi Jago.
Kini, bukan hanya Candi Jago yang menjadi tanggung jawabnya. Imam dipercaya Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Jawa Timur sebagai koordinator wilayah pemeliharaan 22 candi di Malang Raya. Meski beban semakin besar, semangatnya tak pernah padam.
“Banyak orang mengira kami hanya duduk saja. Padahal pekerjaan ini full time, 24 jam harus siap mengantisipasi pengunjung, apalagi saat akhir pekan,” ujarnya.
Pekerjaan Imam tak sebatas membersihkan candi. Ia juga menjadi pemandu cerita bagi siapa saja yang datang, mulai dari pelajar, mahasiswa, peneliti, hingga wisatawan mancanegara. Dengan fasih ia menjelaskan relief dan kisah-kisah di balik batu-batu berlumut yang berdiri sejak abad ke-13 itu.
“Mungkin karena sejak kecil saya sudah ketemu relief, jadi secara otomatis bisa memandu,” katanya sambil tersenyum.
Namun di balik senyum itu, Imam menyimpan harapan. Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan situs-situs bersejarah, minimal menyediakan sarana perawatan yang memadai.
“Bukan berarti kami minta macam-macam. Minimal kebutuhan candi diperhatikan agar tetap terawat. Jangan semua dibebankan kepada kami,” tandas bapak tiga anak itu.
Hari demi hari, Imam tetap setia menjaga Candi Jago. Di antara gemuruh kendaraan di jalan raya Tumpang dan hiruk-pikuk wisatawan, ia berdiri sebagai penjaga sunyi, memastikan warisan leluhur tetap kokoh untuk diceritakan kepada generasi masa depan dan menjadi pengingat sejarah bagi generasi muda. (khalqinus taaddin/aim)