.
Saturday, December 14, 2024

679.721 PBID Dinonaktifkan Sebulan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dinkes Kabupaten Malang Masih Pemutakhiran Data

Penyebabnya Diduga Peserta BPJS Mandiri Beralih ke PBID

“Sebenarnya kalau dikatakan miskin, masyarakat yang di-cut itu bukan miskin. Yang mandiri pindah ke yang dibayarkan pemerintah. Miliaran anggaran harus dikeluarkan Pemkab Malang untuk PBID,” kata Kepala Dinkes Kabupaten Malang Wiyanto Wijoyo.

MALANG POSCO MEDIA- 679.721 penerima program jaminan kesehatan di Kabupaten Malang dinonaktifkan. Penyebabnya diduga  peserta BPJS  mandiri beralih ke Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID).

Akibatnya penggunaan anggaran membengkak. Karena itu data PBID diteliti ulang. Karena melakukan pemutakhiran maka penghentian layanan kesehatan untuk PBID diperkirakan berlangsung sebulan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Dinas Kesehatan (Dinkes)  Kabupaten Malang menonaktifkan sementara 679.721 penerima program jaminan kesehatan. Mereka adalah Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID). Alasannya Pemkab Malang tengah melakukan pemutakhiran data untuk sekitar 260 ribu jiwa.

Jumlah tersebut sekaligus menjadi batasan kemampuan APBD Kabupaten Malang untuk program BPJS sesuai persentase warga miskin.

“Asumsinya kemiskinan Kabupaten Malang dari warga 2,6 juta, warga miskinnya 260 ribu jiwa, 10 persennya. Itu kita cover dengan PBID untuk biaya warga miskin. Berarti sebenarnya ada kelebihan orang yang dibiayai secara gratis untuk BPJS,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Wiyanto Wijoyo, kemarin.

Dalam pelaksanaannya, kata Wiyanto, untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC)minimal 70 persen. Diperlukan sekitar 300 ribu orang yang dinaungi oleh JKN.

“Kenyataannya menggelinding terus, ada mungkin yang tidak kita perkirakan. Ada peserta (BPJS) mandiri beralih ke PBID.

Itu 679 ribu yang dinonaktifkan,” kata mantan Kepala Puskesmas Pakis ini.

Ia melanjutkan sebagian penerima tidak sesuai kriteria warga miskin. Hanya saja beralih untuk menerima bantuan. Artinya, tidak semua merupakan warga miskin yang menerima. Hal tersebut yang mengakibatkan anggaran yang sudah terbatas membengkak.

“Sebenarnya kalau dikatakan miskin, masyarakat yang di-cut itu bukan miskin. Yang mandiri pindah ke yang dibayarkan pemerintah. Miliaran anggaran harus dikeluarkan Pemkab Malang untuk PBID,” tambah dia.

Menurut Wiyanto, setiap bulan untuk 679 ribu warga penerima didanai iuran BPJS oleh Pemkab mencapai Rp 25,715 miliar.

Ia mengakui pembengkakan jumlah penerima juga dampak dari kebijakan UHC yang dimanfaatkan masyarakat yang tidak sesuai kriteria. Sehingga kini harus dinonaktifkan sementara.

Wiyanto menyebut, kemungkinan sekitar satu bulan saja penonaktifan itu dilakukan. Selanjutnya pemkab akan memutakhirkan data warga miskin yang dapat dilayani BPJS.

“Langkah selanjutnya mencari lagi masyarakat miskin sebanyak 259 ribu, supaya untuk bisa mencapai 75 persen dari penduduk itu UHC. Kita verifikasi ulang desa-desa,” imbuhnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Malang dr  Roni Kurnia Hadi Permana menyampaikan pihaknya hanya menjalankan sesuai permintaan dari data Pemkab Malang. Dimana setiap orangnya didanai iuran Rp 37.500 per bulan.

 Ia menyebut sudah berkomunikasi dengan Pemkab Malang yang melakukan penonaktifan karena pemutakhiran data. Namun wewenang utama dari Dinkes. Dinkes yang menentukan siapa yang harus dijamin bantuan iuran.

“Jika nanti Pemkab Malang memberikan data untuk dijamin lagi, akan kita jamin. Kalau sekarang dinonaktifkan semua, informasinya satu bulan. Mengenai berapa lama menjadi kewenangan Dinkes. Sementara ini tetap dicover dimana ketika ada yang butuh kami arahkan konfirmasi ke Dinas Kesehatan,” terang Roni.

Apakah ada peralihan BPJS mandiri ke penerima bantuan iuran dalam jumlah besar? Ia tak menampik. Menurut dia, kemungkinan itu bisa terjadi.  “Jadi, mereka mungkin saja ada peralihan. Harusnya ada pengantar dari desa dan dijamin, namun kita kurang paham kriteria. Kami menerima data berdasarkan SK yang diserahkan Dinas Kesehatan. Saat ini nunggu datanya tervalidasi semua, nanti dijamin lagi,” imbuhnya.

Sementara itu Pemkot Malang memastikan program UHC  Kota Malang tetap berjalan seperti yang saat ini diberlakukan. Pasalnya anggarannya wajib dimasukan di setiap tahun dalam APBD Kota Malang.

Hal ini ditegaskan Wali Kota Malang Drs H Sutiaji kepada Malang Posco Media, Rabu (2/8) kemarin. Ini menyusul adanya kekhawatiran hal yang sama bisa terjadi kepada warga Kota Malang.

“Saya pastikan Kota Malang tidak akan ada dropping (pemberhentian,red) seperti itu. BPJS tetap kita tanggung dan tetap UHC,” tegas Sutiaji saat dikonfirmasi via telepon.

Sutiaji mengatakan bahwa anggaran UHC untuk biaya BPJS Kesehatan warga Kota Malang sudah dianggarkan setiap tahunnya.   Hal tersebut dikatakan sebagai pelayanan dasar publik.

Kesehatan, seperti program UHC wajib dianggarkan bersamaan dengan pelayanan dasar lainnya setara dengan infrastruktur dan pendidikan.

“Tiap tahun  sudah dianggarakan. Wajib itu, jadi sekitar Rp 150 miliar sampai 160 miliar tiap tahunnya. Itu urusannya wajib,” paparnya.

Saat ditanya apakah yang dilakukan jika hal yang sama terjadi, seperti defisit anggaran untuk mengcover BPJS Kesehatan warga, Sutiaji menegaskan ia akan lebih memilih melakukan pembedahan  anggaran di pos lain daripada mengorbankan anggaran untuk cover BPJS Kesehatan.

Hal ini mengingat kebutuhan untuk kesehatan wajib   dipikirkan Pemkot Malang. Maka pos anggaran atau alokasi untuk kebutuhan lainnya di luar itu yang akan di-split.

“Lebih baik split yang lain. Karena kasihan, ini masalahnya soal kesehatan. Misal ada yang gagal ginjal, lalu dia tidak mampu, ya bagaiamana. Jadi kita lebih baik split yang lain,” pungkas Sutiaji. (tyo/ica/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img