.
Friday, November 22, 2024

Tren Produk Halal di 2022

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Tren produk halal tengah naik daun. Indonesia menjadi salah satu pasar produk halal paling menjanjikan di dunia sepanjang 2021 dan diperkirakan makin booming pada 2022. Pemerintah, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), bahkan menargetkan percepatan 10 juta sertifikasi halal pada 2022.

         Saat ini, berdasarkan data terkini dari State of the Global Islamic Economy Report 2020-2021, Indonesia berada di peringkat ketiga dunia dalam sektor modest fashion muslim, peringkat keempat dalam sektor makanan halal (halal food) dan peringkat keenam dunia dalam industri farmasi dan kosmetik halal (halal pharmaceutical and cosmetics).

         Meningkatnya jumlah generasi muda Indonesia akibat bonus demografi turut menggairahkan industri halal di negeri ini. Harus diakui, saat ini kesadaran anak muda terhadap produk halal kian meningkat. Di platform media sosial saya menemukan komentar-komentar di sejumlah akun online shop yang kerap mempertanyakan perihal sertifikasi halal produk dan lolos uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

         Terlebih, kemunculan pandemi Covid-19 sejak hampir dua tahun terakhir turut mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap produk halal. Berdasarkan catatan Bank Syariah Indonesia (BSI), industri halal mengalami peningkatan signifikan saat pandemi. Salah satu penyebabnya yaitu kehati-hatian masyarakat dalam mengonsumsi produk. Bagi banyak kalangan, produk halal dianggap lebih bersih, steril, dan terjamin keamanannya.

         Diperkirakan, tren produk halal bakal terus meningkat pada 2022 ini. Tren itu bahkan kian meluas. Setelah sebelumnya geliat produk halal lebih terfokus pada fashion, makanan dan konsmetik, kini labelisasi halal menyebar pada pasar yang lebih besar. Salah satunya yaitu Kawasan Industri Halal (KIH) yang coba dikembangkan di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Banten dan Kepulauan Riau.

         Tak mengherankan jika industri halal demikian cepat berkembang di negara ini. Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Menurut data terkini World Population Review (2021), jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai kisaran 231 juta jiwa, melampaui negara-negara muslim populer seperti Iran, Turki, Mesir, maupun negara-negara di Jazirah Arab. Persentase umat Islam juga sangat signifikan, yaitu 87 persen dari total penduduk Indonesia.

         Besarnya jumlah populasi muslim tentu menjadi pasar sekaligus produsen yang sangat strategis bagi pertumbuhan industri halal di Indonesia. Hal itu, bahkan lebih jauh, berpengaruh pada meningkatnya gaya hidup halal (halal lifestyle), khususnya di kalangan muda yang tinggal di wilayah urban, yang kerap dikategorikan sebagai kelas menengah muslim.

         Dalam hal ini, kelas menengah muslim dapat dimaknai sebagai kelompok masyarakat muslim yang berada di tengah-tengah antara golongan miskin dan kaya. Mereka tidak terlalu miskin, juga tidak terlalu kaya. Mereka juga mengenyam pendidikan, sehingga tidak termasuk dalam kelompok buta huruf. Kelompok ini juga lebih banyak ditemukan di area perkotaan.

         Kelas menengah muslim ini menarik, karena merekalah yang banyak menentukan perubahan gaya hidup dalam masyarakat Indonesia. Demikian pula, kelas menengah muslim ini pula yang turut mempopulerkan gaya hidup halal di masyarakat. Gaya hidup halal ini bisa bermacam-macam. Mulai dari konsumsi produk berlabel halal dan ber-brand Islami, preferensi jasa lembaga keuangan syariah, hingga wisata halal (halal tourism).

         Kendati, jika merujuk pada kategorisasi Yuswohadi, penulis buku Marketing to Middle-Class Muslim (2015) cara pandang kelas menengah muslim terhadap produk halal terbagi dalam empat kelompok. Pertama, kelompok yang apatis, yakni mereka yang kurang berwawasan dan tidak begitu peduli apakah suatu produk berlabel Islam atau tidak.    Kedua, kelompok rasionalis, yakni mereka yang berwawasan tapi pilihan produknya tidak atas dasar merek Islami atau label halal, tapi murni pada pertimbangan kualitas produk. Ketiga, kelompok konformis, yakni mereka yang kurang berwawasan tapi cenderung fanatik dalam memilih produk Islami. Biasanya kelompok ini cukup konservatif dan anti terhadap nilai-nilai Barat sehingga sangat suka dengan produk bermerek Islami, terlebih jika di-endorsed oleh seorang tokoh atau selebriti muslim yang populer.

         Keempat, kelompok universalis, yakni mereka yang berwawasan luas tapi sekaligus condong terhadap produk Islami. Bedanya dengan yang konformis, kelompok universalis ini cenderung memilih produk Islami lantaran kualitasnya, bukan semata karena faktor label halalnya saja.

         Dalam analisisnya, Yuswohadi juga menambahkan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah kelompok konformis dan universalis yang menyukai produk bermerek Islami dan berlabel halal terus meningkat. Fenomena inilah yang kian memperkuat gaya hidup halal dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut juga turut didukung prediksi Indonesia Halal Lifestyle Centre (IHLC) bahwa pada 2022 ini industri halal di Indonesia bakal kian menjanjikan dan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia.

         Namun, harus juga menjadi catatan, apakah perkembangan itu merupakan bagian dari peningkatan kesadaran beragama atau hanya sebatas kepentingan ekonomi memanfaatkan euforia pasar konsumen muslim. Sebab, euforia pasar halal tampak begitu nyata.

         Sekarang, yang berlabel halal tidak hanya makanan dan kosmetik, tapi sampai pada produk harian yang tidak dikonsumsi langsung oleh tubuh, semisal pakaian dan peralatan rumah tangga, seperti wadah makanan, kulkas, hingga kasur dan mesin cuci. Bahkan ada juga yang sampai membuka jasa laundry syariah.

         Karena itulah, tantangan terbesar geliatnya produk halal yaitu bangkitnya fenomena komodifikasi agama, yakni ketika simbol-simbol agama hanya dijadikan sebagai alat agar sebuah produk menjadi lebih laku dan laris di pasaran,

         Kita tentu berharap, euforia industri halal itu dapat berjalan beriringan dengan meningkatnya kesadaran beragama. Jangan sampai kesalehan beragama hanya tampak pada aspek simbolik belaka, seperti label, merek, dan citra, tapi juga harus menyentuh aspek yang lebih substantif, yakni prinsip dan nilai-nilai kebajikan ajaran Islam.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img