Guru Kreatif, Ortu Dukung, Anak Enjoy
SISWA kembali sekolah daring, Senin (14/2) hari ini. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dipastikan berlaku untuk semua jenjang sekolah di Kota Malang. Sekolah daring bukan momok. Guru dan orang tua (ortu) bisa dibikin anak enjoy. Namun perlu menjaga kesehatan mata siswa.
Tentu bermacam perasaan berkecamuk dalam hati orang tua, siswa dan guru. Semua harus kembali beradaptasi dengan teknologi. Padahal baru saja menikmati senangnya sekolah tatap muka.
Keputusan kembali daring sudah melalui banyak pertimbangan. Antara pemerintah, akademisi dan aspek kesehatan. Praktisi Pendidikan Kota Malang, Idi Rathomy Baisa, S. Pd, M.Pd menyampaikan suksesnya PJJ membutuhkan peran serta banyak pihak. Paling sentral adalah guru, siswa dan orang tua. Idi menilai dari sudut pandang pendidikan. Meskipun dilaksanakan secara daring kualitas belajar harus diutamakan.
Oleh karena itu, kata dia, pembelajaran daring tidak cukup hanya transformasi tugas. Tapi transformasi pengetahuan. Artinya ada komunikasi interaktif antara guru dan siswa. Maka penggunaan aplikasi menjadi keharusan.
Baik itu yang sifatnya kolektif klasikal seperti zoom meeting, google class room, dan sebagainya. Atau, yang sifatnya personal. Misalnya video call, lewat WhatsApp dan sebagainya. “Jadi harus ada komunikasi. Harus ada interaksi guru dan siswa. Jangan hanya hanya mengirim tugas untuk dikerjakan,” ucapnya.
Menurut Kabag Kurikulum dan Kesiswaan LPI Sabilillah Malang ini, kenyamanan siswa dalam PJJ sangat tergantung pada guru. Lebih tepatnya pada metode dan media belajar yang digunakan. Kalau cara atau metodenya monoton, bahkan cenderung sulit dimengerti maka siswa tidak akan antusias. Mereka akan abai dan anak meninggalkan kelas virtual.
Sebaliknya dengan metode yang unik dan menyenangkan, waktu 30 menit tidak akan terasa lama. Apalagi guru punya keterampilan membangun komunikasi yang bersifat pertanyaan-pertanyaan.
Idi menegaskan dengan pertanyaan siswa akan berkembang daya berpikirnya. Diperkuat stimulus yang diberikan guru akan merangsang mereka untuk kreatif berpikir dan kritis. “Pertanyaan itu merupakan katalis dari berpikir dan berpikir adalah katalis dari belajar,” tegasnya.
PJJ boleh kembali diterapkan. Namun penguatan-penguatan untuk pendidikan abad 21 tidak boleh dikesampingkan. Yakni mendidik anak berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Itu tidak akan pernah dicapai tanpa metode yang tepat. Tanpa sarana yang tepat.
Idi menambahkan, orang tua harus kembali legowo atau ikhlas menerima ketetapan PJJ. Terutama bagi mereka yang anaknya masih TK dan SD kelas bawah. Karena peran orang tua menjadi sentral. Alias penentu. “Anak kecil belum bisa sepenuhnya menggunakan media teknologi, perlu pendampingan orang tua. Komunikasi guru pun langsung dengan orang tua, terkait tugas dan sebagainya,” tutur pria yang pernah meraih gelar Kepala Sekolah Berprestasi Nasional ini .
Sementara itu secara psikologi, penerapan kembali pembelajaran daring tentu menimbulkan dampak dan pengaruh secara psikologis bagi anak. Mulai dari kesulitan adaptasi, kejenuhan hingga bisa saja muncul potensi depresi.
Hal tersebut diutarakan psikolog Rr. Nia Paramita Yusuf S.Psi M.Psi. Menurut dia, hal pertama yang perlu diperhatikan baik guru maupun orang tua adalah adanya proses adaptasi yang perlu dilakukan oleh siswa ketika terjadi setiap perubahan.
“Sekarang prosesnya transisi lagi untuk beradaptasi dari PTM jadi daring lagi. Jadi anak-anak harus pembiasaan lagi, adaptablenya harus ada karena memang tidak ada yang ingin kondisi seperti ini. Yang jelas memang harus ada support dari orang tua. Soalnya orang tua itu menguatkan sekali,” papar Nia, sapaan akrabnya.
Menurutnya dukungan orang tua itu merupakan hal yang paling penting. Selain membantu adaptasi, juga bisa berpengaruh terhadap semangat belajar anaknya. Padahal sebelumnya pun semangat belajar anak sejatinya sudah terpengaruh ketika diputuskan pembelajaran menjadi daring lagi.
“Kalau ‘support systemnya di rumah itu menguatkan, dari orang rumah menguatkan, yang jelas anak ini disuruh daring di rumah pun tetap happy,” katanya.
“Tapi kalau, ‘duh nak kamu kok begini’ atau orang tuanya sudah ‘illfeel’ duluan, anaknya juga pasti mengikuti. Karena feel orang tua ke anak itu menyalur banget,” sambung alumnus Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang ini.
Oang tua juga diharapkan bisa membantu semaksimal mungkin agar kebutuhan anak ketika belajar daring bisa terpenuhi. Tidak sekadar jaringan internet, namun juga perlu dipikirkan kebutuhan lainnya.
“Settingan tempatnya harus menyenangkan dan bikin dia nyaman. Pencahayaan harus bagus, internet stabil, makanan tersupport misal sarapan dulu, kanan kiri ada camilan sehingga anak tidak izin-izin ambil minum makan sehingga malah tidak belajar,” tukasnya.
Proses adaptasi itu juga perlu dipahami guru. Nia meminta, bila siswa tidak menyalakan kamera ketika awal pembelajaran daring ini, maka tidak perlu memarahi siswa. Karena hal itu juga termasuk dalam proses adaptasi.
“Jangan malah dimarahi atau dikasih poin. Ada dispensasi khususlah untuk satu minggu dua minggu ini dibiarkan dulu tidak ‘on-cam’ karena anak-anak masih agak kaget kok begini (daring) lagi,” tutur alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Sementara untuk mengatasi kejenuhan, Nia menyebut aktivitas kesukaan atau hobi anak harus diperhatikan. Bisa juga melakukan ‘me-time’ yang biasa ia lakukan. Tidak hanya itu, Nia juga meminta agar anak tetap harus berolahraga untuk menjaga kesehatan anak selama daring.
“Orang dewasa saja bisa jenuh apalagi anak, arahnya malah bisa ke depresi. Jadi setelah daring, ajak ngomong. Kalau misalkan bekerja ya ditelepon, lalu bebaskan anak memilih apa yang dia suka. Misal anak laki suka main bola, silakan main bola di halaman boleh,” urai wanita kelahiran Kulon Progo ini.
Sehingga lanjut Nia, komunikasi intens antara orang tua dan anak sangat perlu diperhatikan untuk mendukung pembelajaran daring. Jangan sampai orang tua justru malah membuat anak menjadi bosan atau jenuh bagi anak.
“Kalau anak tidak konsen, jangan dimarahi. Kita saja yang sudah ‘gede’ kalau ‘monoton’ terpressure di depan layar secara virtual, kita akan bosan. Jadi jangan makin bikin bosan. Sebaiknya koordinasi dulu, misal malam sebelumnya, besok mau disupport makan apa nih? Biar anak senang,” contohnya.
Lalu bagi guru juga diharapkan supaya bisa memberikan pembelajaran yang lebih menyenangkan dibanding sebelumnya. Misalnya mengemas pelajaran yang menarik dengan dukungan gambar dan suara. Sehingga pembelajaran tidak monoton dan menjenuhkan.
Meski begitu Nia punya harapan agar pembelajaran daring ini tidak berlangsung lama. Pasalnya ketika daring, harus diakui proses sosialisasi siswa dengan siswa lain menjadi berkurang. (imm/ian/van)