Malang Posco Media – Kegaduhan di kancah politik nasional tidak pernah lekang oleh waktu. Semua saling memanfaatkan momentum untuk menjaga basis politik siapa yang paling kuat ke depannya. Konstelasi politik kian hari terus memunculkan dinamika yang begitu kompleks yang sarat akan kepentingan.
Kita akan menyambut ‘ritual politik’ serupa dalam cakupan yang lebih besar, yakni Pilpres 2024. Sejumlah aktor politik kawakan mulai menyebarkan pengaruhnya dengan berbagai macam skema. Personal branding pun terus dipoles dengan berbagai aksi.
Musim pandemi yang belum berlalu bukanlah halangan untuk menyampaikan ‘isi hati’ kepada publik untuk menjaga republik. Denyut nadi aksinya masih lemah, intensitasnya dipastikan akan kencang di hari-hari mendatang, namun akan menambah dimensi pertarungan yang semakin dinamis.
Dalam beberapa waktu lalu beredar isu pemilihan Kepala Otorita Ibu Kota Negara (IKN). Setelah UU IKN disahkan oleh rapat paripurna DPR-RI, tentunya menjadi dasar kepastian hukum. Pasal tentang IKN seperti pasal 5 Undang-Undang menyebutkan bahwa IKN Nusantara berfungsi sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia yang merupakan tempat penyelenggaraan pemerintahan pusat, serta tempat bagi perwakilan negara asing dan perwakilan negara-negara asing. Organisasi/lembaga internasional dan pasal 8 UU IKN menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintah daerah khusus IKN Nusantara adalah Otoritas IKN Nusantara.
Di balik isu yang beredar muncul nama-nama kandidat. Ada beberapa nama yang disebut-sebut sebagai calon kuat kandidat Kepala Otorita IKN. Nama-nama tersebut antara lain Bambang Brodjonegoro, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Tumiyana, maupun Abdullah Azwar Anas. Inilah permasalahan utama yaitu siapa yang akan menduduki jabatan baru ini?
Seketika nama-nama calon ini muncul menjadi pro-kontra di publik. Sudah menjadi lumrah persoalan seperti ini di panggung politik Indonesia inilah yang disebut sebagai diskursus publik. Di balik kebijakan baru ini tentunya banyak pihak yang menolak akan nama-nama calon Ketua Otorita IKN dikarenakan syarat akan relasi politis bukan pada kapasitas calon.
Selain itu, dalam pemilihan nantinya presiden mempunyai Hak Prerogratif. Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menyampaikan keinginannya di depan pemimpin redaksi media massa nasional. Dia ingin IKN bernama Nusantara di Kalimantan Timur kelak dipimpin sosok berlatar belakang kepala daerah dan arsitek. Pernyataan ini tentunya disinyalir ada tendensi politik yang begitu kuat di balik penunjukan kepala otorita IKN nanti.
Di balik beberapa nama yang menjadi calon ketua otorita IKN, Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama digadang menjadi kandidat terkuat yang akan menjadi pemenangnya. Asumsi publik begitu menguat dikarenakan Ahok direkomendasikan melalui Partai P-DIP.
Di lain sisi, sepak terjangnya dalam karir politik begitu matang dan banyak jabatan strategis yang pernah dia duduki dan banyak dinamika yang ia lalui. Dalam politik tentunya Ahok tidak bertarung sendirian, pastinya ada lawan yang tidak diam begitu saja dalam pertarungan politik yang begitu terjal.
Antara Pihak dan Hak
Di balik nama Ahok yang penuh kontroversi dan fenomenal, Partai P-PDIP optimis dan percaya kalau Ahok mempunyai kualitas, integritas dan profesional dan bertanggung jawab sebagai kepala otorita IKN nantinya.
Pengamat maupun ketua partai mempunyai anggapan jika Presiden menunjuk mantan gubernur Jakarta itu sebagai pemegang kuasa otorita IKN akan menimbulkan kegaduhan pada publik. M. Qodari pengamat politik di salah satu media menjelaskan “Saya dengan berat hati kurang setuju kalau Pak Ahok, karena Pak Ahok itu bisa kerja tapi komunikasinya tidak bagus.,”
Tidak hanya pengamat bahkan ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera mengatakan calon Kepala Otorita IKN Nusantara harus memiliki kapasitas, integritas, dan tidak menimbulkan kegaduhan politik. Berbeda dengan kedua partai lainnya yang berada pada poros kekuasaan, seperti partai PKB dan PPP mempunyai nada yang hampir mirip dalam menanggapi pemilihan ketua otorita IKN.
PKB memberikan sikap pasrah terhadap Presiden dan PPP yang langsung ditanggapi ketum partai Achmad Baidowi dalam ungkapannya menegaskan “pemilihan kepala otorita merupkan hak prerogratif presiden, sebagaimana dalam menentukan menteri di kabinet.”
Mirisnya, pilihan mengenai ketua otorita Ibu Kota Negara memakai mekanisme Hak Prerogratif presiden yang memiliki resistensi pada riuhnya konstelasi politik nasional ke depannya. Ketakutan publik tentunya pada proses pengambilan keputusan dikarenakan ada indikasi sang kandidat terkuat dan orang nomor satu di Indonesia memiliki embrio politik yang sama.
Jangan sampai dalih Hak Prerogratif hanya sebagai justifikasi dalam membuat keputusan sepihak yang tidak berdasarkan kriteria calon yang telah ditetapkan oleh presiden. Bahaya lain, jika keputusan presiden legitimasi diberikan pada Ahok maka jangan heran dari pihak oposisi akan berspekulasi kalau prosedur dalam pemilihan ini hanya semata untuk menjaga stabilitas kepentingan di 2024. Spekulasi yang juga merupakan bagian dari intrik politik yang terus dimainkan.
Benahi Tujuan
Politik harapan, sebagaimana dijelaskan oleh Jonathan Sacks merupakan sebuah tawaran di tengah maraknya politik berbasis narasi ketakutan, pesimisme, dan kemarahan (anger). Dalam bukunya The Politics of Hope, Sacks dalam pengakuannya mengatakan politik ialah harapan menolak narasi politik yang dikembangkan dengan menebar pesimisme bahkan kemarahan.
Namun, politik harapan juga tidak mentoleransi narasi politik yang dibangun atas dasar utopisme atau janji-janji melangit yang membuai, namun sukar direalisasi. Dalam logika politik harapan, narasi politik harus dibangun di atas pondasi visi yang jelas, terukur dan bisa dieksekusi (executable).
Di tengah sulitnya kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik yang dihadapi Indonesia saat ini, membangun narasi politik harapan adalah salah satu cara kita melahirkan pemimpin berkarkter transformatif. Esensi dari politik yang beradab adalah adanya kekuasaan yang amanah dan tidak korup dalam arti tidak disalahgunakannya kekuasaan itu.
Inilah harapan kolektif yang harus dijunjung, sebuah habitus baru pada akhirnya tercipta. Sebuah budaya tandingan (counter-culture) dari arus mainstream politik saat ini itu eksis, yang darinya harapan, jalan perubahan dan kepemimpinan ideal itu dapat diciptakan, disemai dan direproduksi sebagaimana Napoleon Bonaparte; pemimpin sejati adalah “a dealer in hope”, alias seorang penjual sekaligus pembeli harapan. Pemimpin harus mengelola harapan pada masa krisis itu melanda.(*)