.
Friday, November 8, 2024

POLITIK KOMUNITAS AGAMA DALAM PEMILU

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media, BERGULIRNYA politik pascareformasi tahun 1998 hingga sekarang, dinamikanya kelihatan semakin mundur dan kendor. Rakyat adalah unsur terpenting dalam demokrasi, karena pemerintahan yang berkuasa harus mendapat legitimasi. Tetapi, bagaimana rakyat memperoleh pengetahuan mengenai politik. Padahal diharapkan, masyarakat dapat memberi kontribusi yang cukup memadai dalam pembenahan demokrasi di tanah air.

         Namun, terasa jauh dari panggang. Semuanya sudah tertata oleh elit/ aktor politik di daerah hingga nasional. Mereka sangat mempengaruhi setiap keputusan yang dilakukan oleh pemimpin/ penguasa. Partai Politik (Parpol) sangat berperan dalam setiap pengambilan keputusan untuk khalayak/ publik.

- Advertisement -

Diharapkan peningkatan politik menciptakan kondisi masyarakat berperan aktif serta berpartispasi dalam setiap sendi kehidupan berpolitik. 20 bulan lagi tepatnya tanggal 14 Februari 2024, rakyat akan berpesta demokrasi memilih para calon legislatif, baik pusat maupun daerah. Juga bersamaan rakyat akan memilih presiden dan wakil presiden.

Bagaimana pencerminan kedaulatan rakyat atas penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Keterlibatan semua lapisan masyarakat profesi, paguyuban, kedaerahan, kelompok, maupun komunitas keagamaan menjadi sangat penting. Apalagi pada saat tahapan/ masa kampanye, rakyat menjadi obyek dalam perebutan suara baik untuk calon legislatif/ parpol, maupun pemilihan presiden/ wakil presiden. Justru mereka, menjadi sasaran/ basis perebutan parpol.

Komunitas Agama

         Catatan sejarah sekitar tiga tahun lalu 2019 untuk pertama kalinya pemilihan presiden/ wakil presiden serentak dengan Pemilu legislatif. Kita ketahui persaingan antar parpol sangat tajam, dengan berbagai teknik, strategi untuk meraih suara rakyat. Pencitraan/ identitas parpol yang dilakukan oleh elit/ aktor politik merebut simpatisan rakyat dari berbagai komunitas, tidak luput komunitas agama berperan dalam mengumpulkan suara.

         Bukan rahasia lagi, bahwa kelompok/ komunitas agama berkaitan erat dengan pengaruh sosial politik. Suara mereka dijatuhkan Caleg/Parpol/Pasangan Calon yang telah meyakinkannya.  Disadari ada kelompok/ komunitas minoritas cenderung mendukung parpol ideologi dan berbasis nasional. Apakah komunitas minoritas ini, mereka berdasarkan keyakinan. Bukan semata berdasarkan keyakinan, tetapi karena mereka datang dari kelompok minoritas.

         Komunitas agama ini merupakan satu bagian dalam meraih suara bagi parpol berbasis nasional, ketimbang berbasis agama. Tercatat elemen PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Gerinda, Demokrat, Hanura, Perindo, PSI rata-rata menampung semua suku, etnis, kedaerahan dan agama bercampur aduk menjadi satu.

         Hanya pada parpol berbasis agama seperti PPP, PKS, PKB, dan PAN. Isu-isu politik keagamaan sangat strategis dan mujarab untuk meraih suara dalam kampanye. Keagamaan menjadi laku keras. Oleh karena itu, komunitas/ kelompok agama perlu diperhatikan dalam menebarkan isu-isu, karena masyarakat kita masih terberlenggu dengan primodial dan ketokohan.

Partai Politik

         Demokrasi, suara rakyat yang paling berkuasa dalam pemerintahan. Tetapi, suara itu tidak bernilai, karena sistem politik. Diketahui bersama bahwa, sistem demokrasi yang paling penting adalah peran parpol, sehingga parpol merupakan segala-galanya. Tanpa kita masuk menjadi anggota parpol individu-individu tak bernilai. Tetapi bila kita terlibat dalam parpol, maka kesempatan dan peluang untuk berkuasa/ kekuasaan bisa digenggam.

         Menurut Gun Gun (2021) dalam bukunya Strategi Literasi Politik, parpol adalah kekuatan yang kritis bagi modernisasi di seluruh masyarakat kontemporer dengan pola modernisasi tertentu yang diabdosi oleh masing-masing masyarakat akan ditentukan oleh parpol. Dengan demikan, parpol melaksanakan fungsi mempertimbangkan kelompok/ komunitas yang ada di dalamnya.

         Parpol sekarang seperti tidak memiliki taring dan garang, tetapi sudah menjadi ompong, karena sistem kepartaian yang dibangun oleh elit/ aktor politik/ parpol seirama dan sejalan dengan pemerintah/ penguasa. Tugas kontrol sudah tak berdaya, apalagi semua parpol sudah bergabung dalam pemerintah Joko Widodo hanya tinggal Demokrat dan PKS mengambil sikap di luar pemerintahan atau lazim disebut “oposisi.”

         Pemerintahan Jokowi tidak bisa lagi secara sempurna dikontrol oleh parpol yang bergabung dalam kubu pemerintahan. Jadi, bukan hal substansi yang diperdebatkan untuk kepentingan rakyat, tetapi suara terbanyak yang mendukung suatu kebijakan pemerintah dengan alasan demi kesejahteraan rakyat.

Sistem multi partai, membuat Jokowi tidak berdaya dalam menjalankan pemerintahannya, dan harus membagi kekuasaan ke parpol pengusung maupun pendukung yang disebut Politik Rent Seeking Parpol demi kepentingan Pemilu/ Pemilihan 2024. Apalagi kebanyakan pimpinan/ elit parpol duduk dalam pemerintahnnya. Hal ini, tidak efektif dan mereka menciptakan kekuasaan bermain politik memperkokoh partainya.

         Hasil survey berbagai lembaga independen, parpol memiliki citra buruk di mata masyarakat/ publik, sehingga tingkat kepercayaan semakin menurun dan akhirnya pada titik terendah masyarakat akan meninggalkan parpol yang tidak memperjuangkan aspirasi mereka. Menurun kepercayaan dan simpatik masyarakat terhadap parpol membuat mereka mencari, merangkul komunitas agama dan kelompok kedaerahan.

         Berbagai alasan yang dikemukakan oleh masyarakat/ publik terhadap tingkah laku parpol, karena dinilai parpol belum bisa mewakil atau membawa aspirasi terhadap pemilihnya atau konstituen.  Parpol lebih memihak pada kepentingan kekuasaan. Selain itu, Parpol semakin hari semakin terperangkap dalam arus permainan penguasa dalam setiap proses pengambilan keputusan strategi.

         Tetapi bila disimak lebih mendalam, kepentingan itu demi kelanggengan penguasa, elit/ aktor politik/ parpol dan rakyat ditinggalkan. Rakyat dibutuhkan hanya pada waktu Pemilu setiap lima tahun sekali, setelah itu mereka satu persatu meninggalkan. Rutin, jika saat Pemilu mulai merangkul masyarakat dengan berbagai janji-janji politik yang menghipnotiskan.

         Mengapa parpol mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Kita sama-sama tahu ada istilah “tidak ada makan siang gratis.” Setiap Pemilu lima tahun sekali, terjadi transaksi jual beli untuk meraih kursi di legislatif. Berarti demokrasi tidak tercapai alias gagal membina dan mendidik masyarakat dalam kehidupan politik. Karena transaksi ini, berdampak domino pada integritas dan kredibilitas Pemilu berakibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap Pemilu menurun.

         Menjadi perhatian serius adalah politik uang (money politics) yang tidak dapat terpisah oleh parpol dalam mengembangkan/ membesarkan partainya. Pengalaman membuktikan di saat kampanye, hari tenang, dan hari pemungutan suara permainan politik uang. Namun, pembuktian secara hukum sulit untuk diproses oleh Bawaslu, karena terbentur pada Undang-Undang Pemilu yang serba keterbatasan dalam penindakan pelanggaran. Dengan tejadinya politik uang rakyat seolah-olah dipertukarkan oleh para elit/ aktor politik dengan tujuan akhirnya memenangkan Parpol maupun calon legislatif dalam Pemilu.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img