MALANG POSCO MEDIA- Kenaikan harga LPG non subsidi bikin puyeng pelaku usaha. Terpaksa harus hitung ulang biaya produksi. Pelaku usaha di Malang Raya pun cermat berhitung agar tak kian merugi di tengah pandemi. (baca grafis di Koran Malang Posco Media)
Di Kabupaten Malang misalnya pelaku usaha mulai mengeluh. Bahkan pengrajin batik pun terkena dampak. Sebab kenaikan harga LPG non subsidi secara otomatis menaikkan biaya produksi.
“Karena sudah pasti dengan kenaikan harga LPG akan meningkatkan biaya produksi,’’ kata Humas Paguyuban Batik Hasta Padma Kabupaten Malang Ita Fitria.
Ia mengatakan LPG merupakan bahan bakar yang digunakan para pengrajin batik. Bahan baku dicairkan dengan api yang pembakarannya menggunakan LPG. Selain itu proses melorot ‘malam’ atau menghilangkan malam pada kain yang sudah dilukis. Untuk mendapatkan panas yang konstan pada air direbus menggunakan LPG.
“Sudah jelas kami butuh LPG untuk proses itu. Sehingga saat harganya naik, maka sudah dipastikan biaya operasional kami pun akan semakin besar,’’ urainya.
Wanita yang juga owner Batik Lintang Malang inipun mengetahui kenaikan harga LPG non subsidi sejak beberapa hari lalu. Dia mengaku mendapatkan informasi tersebut dari berita dan informasi anggota Paguyuban Batik Hasta Padma Kabupaten Malang.
Seperti diberitakan sebelumnya LPG non subsidi mengalami kenaikan. Di Kabupaten Malang misalnya, harga distributor LPG non subsidi ukruan 12 Kg naik dari Rp 76 ribu menjadi Rp 187 ribu. Sedangkan ukuran 5,5 Kg harganya naik dari Rp 76 ribu menjadi Rp 88 ribu
Lebih lanjut Ita mengatakan wilayah domisili yang berada di utara Kabupaten Malang selama ini menggunakan LPG sebagai satu-satunya sumber bahan bakar.
“Kalau anggota paguyuban batik yang ada di wilayah selatan, mungkin tidak berpengaruh secara signifikan, karena bahan bakar bisa menggunakan kayu,’’ tambahnya.
Kendati kenaikan harga ini meningkatkan biaya produksi, namun Ita mengaku para pelaku usaha batik belum mau menaikkan harga kain batik produksi mereka. Alasannya kondisi pasar saat ini masih sangat sepi.
Ita mengatakan untuk sementara dia dan anggota paguyuban yang lain masih mencari pola, untuk menyikapi kenaikan harga LPG non subsidi. “Ini kami masih melakukan penghitungan semuanya. Karena kami berusaha tidak menaikkan harga kain batik, tapi juga berjuang agar karya ini tidak merugi dan tetap berjalan,’’ ungkapnya.
Sementara itu Juli Iswandi owner Aira Food mengaku kenaikan harga LPG dipastikan kian memberatkan biaya produksi. “Kami ini memiliki usaha pengolahan aneka kripik. Sebagian besar, keripik yang kami produksi digoreng dengan bahan bakar utama LPG. Jika LPG naik, tentunya biaya produksi kami pun naik,’’ kata Juli.
Lebih dari itu, Juli mengatakan kondisi pasar sekarang juga cukup sulit. Sehingga dengan kenaikan harga LPG maka para pelaku usaha terutama pengolahan makanan dipastikan akan sangat kesulitan.
“Sebetulnya sebelum-sebelumnya bahan baku produksi keripik sudah lebih dulu naik. Termasuk minyak goreng ya. Itu saja sudah memberatkan. Sekarang ditambah kenaikan harga LPG, semakin memberatkan kami,’’ tambahnya.
Juli mengaku meskipun harga LPG naik, dia dan pelaku usaha pengolahan makanan pada umumnya masih enggan menaikkan harga keripik. Mereka khawatir jika harganya naik, maka tidak ada konsumen yang membeli.
“Ya ini dilema kami. Kami takut konsumen semakin menjauh. Sehingga untuk sementara tidak naik dulu harga keripiknya,’’ tandas warga Desa Asrikaton, Kecamatan Pakis ini.
Di Kota Batu salah satunya, Riverstone Hotel and Cottage yang merasa terpengaruh. Anggaran belanja meningkat sekitar 10 persen dengan adanya kenaikan harga LPG non subsidi.
Asisten operational manajer Riverstone Tri Arya Sena mengaku kenaikan harga LPG non subsidi bertepatan dengan melambungnya harga sejumlah bahan baku. Sedangkan industri atau pelaku usaha diharuskan tetap menggunakan LPG non subsidi.
“Ya sebagai warga negara kami mengikuti kebijakan yang telah diperhitungkan dan disusun pemerintah. Namun kami harus menghitung kembali biaya operasional dan harga jual dengan tidak memberatkan customer,” ungkapnya.
Sehingga pihaknya mencoba menaikkan sedikit harga jual, namun tidak terlalu tinggi dan memberatkan customer. Hal itu dilakukan agar ada keseimbangan antara biaya operasional dengan keinginan customer.
General Manager Zam Zam Hotel & Convention Rudy Rinanto Rachmat mengungkapkan, kenaikan harga LPG non subsidi cukup berpengaruh secara signifikan. Lantaran penggunaan LPG sangat beragam, tidak hanya dapur, namun juga untuk pemanas air.
“Kita ada dua kemungkinan, bisa menaikkan tarif produk kita, atau tetap dengan harga yang sama namun kuantitas dikurangi. Semisal All You Can Eat di Zam Zam Hotel ini dipatok Rp 70 ribu, kalau ada kenaikan begini bisa tetap dengam harga Rp 70 ribu namun ada beberap item yang kami kurangi atau dihilangkan,” ucapnya.
Namun pihaknya tidak akan mengurangi kualitas produk. Ia bahkan ingin kualitas yang ditawarkan Zam Zam Hotel bisa lebih baik dan terus meningkat. “Karena kita sebagai industri memang dituntut kreatif dan harus bisa menyiasati di segala kondisi. Bisa dengan memodifikasi produk, atau mengurangi kuantitas namun menambah kualitas, serta menghemat penggunaan LPG,” imbuh Rudi.
Sedangkan restoran di Kota Batu, salah satunya Royal 360 Resto juga sangat terpengaruh dengan kenaikan harga LPG non subsidi. Sales manager Royal 360 Resto Dewi Putri Kartika menjelaskan pihaknya bisa saja menaikkan harga jual makanan atau minuman. “Namun itu tetap harus kami hitung kembali berapa biaya operasinalnya untuk menjadi patokan baru,” kata dia.
Pelaku usaha di Kota Malang sudah siap menghadapi kondisi. Pemilik Toko Roti Cengli Vita Dwi mengungkapkan LPG sangat berperan besar dalam bisnisnya. Dalam satu bulan per tokonya menghabiskan 40 kilogram. Total ada tiga toko yang dikelolannya.
“Saya malah belum tahu kalau harga gas sudah naik. Soalnya sampai hari ini masih tetap menggunakan harga biasanya, per 12 kilogram Rp 160 ribu. Ini saya mendapat harga suplier, karena memang sudah langganan,” ujarnya.
Terdapat beberapa suplier LPG di Kota Malang yang belum menaikan harganya. Hal ini dikarenakan pasokan barang sebelum harga naik masih banyak. Untuk menghabiskan stok, masih dijual dengan harga normal.
“Kenaikan harga gas ini tidak terlalu berdampak ke usaha saya. Karena setiap HPP (Harga Penjualan Pokok) per produk, pasti diambil satu persen untuk antisipasi kenaikan harga bahan pokok. Sehingga meskipun harga gas dan minyak goreng naik, tidak berpengaruh dan harga jualnya stabil,” ujarnya.
Manager Food and Beverages Atria Hotel Deni Palit menjelaskan kenaikan harga LPG ini tidak begitu berpengaruh ke restonya. Dikarenakan adanya sistem rotasi atau perputaran menu setiap satu tahun dua kali. Dari sini lah harga makanan yang disediakan bisa tetap stabil.
“Setiap harga menu pastinya sudah dihitung HPP. Jadi tidak ada perubahan. Rotasi kami gunakan untuk memanjakan pengunjung dengan menu-menu yang up to date” tambahnya.
Sementara itu, Manager Operasional Latar Ijen Arry Suryanto menjelaskan, kenaikan beberapa bahan pokok dalam beberapa bulan ini berpengaruh terhadap biaya operasionalnya. Karena dalam satu bulan resto ini mampu menghabiskan 30 tabung ukuran 50 kilogram dan 15 tabung berukuran 15 kilogram. Hal ini cukup menurunkan pendapatannya. Rencananya di bulan Maret ini akan merubah beberapa menunya.
“Pendapatannya masih signifikan dengan operasionalnya tapi ya berkurang dari sebelum harga pokok mulai naik. Saat ini harga semua makanan masih tetap. Tapi Maret ini akan ada revisi menu, nanti kami akan menghitung mulai dari barang pokok apa saja yang naik dan harga menunya pun menyesuaikan,” ungkapnya. (ira/ran/nit/van)