.
Friday, November 22, 2024

Flexing

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Laki-laki dan perempuan perkasa mamerkan otot-otot tubuh pada cabang olahraga binaraga dengan melakukan ‘’flexing the muscle’’, pamer otot. Dia tunjukkan semua bagian tubuhnya dengan otot-otot menonjol menunjukkan kekuatan dan keperkasaan.

Sekarang ini di media sosial sedang musim flexing, yaitu pamer kekayaan yang dilakukan oleh orang-orang kaya baru atau  nouveau riche. Orang kaya baru, sering disebut sebagai OKB, adalah golongan sosial yang terdiri atas orang-orang yang menjadi kaya raya dalam waktu sangat cepat.

Fenomena yang viral di media sosial sekarang adalah kebiasaan flexing yang dilakukan oleh para OKB. Istilah flexing yang banyak dipakai di media sosial artinya memamerkan kekayaan. Pamer kekayaan OKB di medsos dilakukan secara amat berlebihan.  Beberapa hal yang sering dipamerkan seperti saldo ATM, uang yang bertumpuk, pakaian mahal, jet pribadi, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mewah lainnya. 

Lalu muncullah sebutan ‘’crazy rich’’ dan ‘’sultan’’ untuk menggambarkan anak-anak muda yang kaya raya secara mendadak itu. Perilaku flexing para OKB sebenarnya berkebalikan dari perilaku orang kaya sungguhan. Orang kaya yang sesungguhnya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Prof. Rhenald Kasali mengutip pepatah Inggris “poverty screams, but wealth whispers”, kemiskinan berteriak, tetapi kekayaan berbisik. Semakin kaya orang-orang justru semakin menginginkan privasi, tidak ingin menjadi pusat perhatian. 

Di Indonesia sederetan anak-anak muda tiap hari flexing di media sosial memamerkan semua kekayaannya, mulai barang-barang branded sampai pesawat jet pribadi. Banyak yang bertanya-tanya dari mana uang mereka yang begitu banyak. 

Setidaknya sekarang sudah terungkap bahwa sebagian mereka terlibat dalam bisnis haram dengan mengendorse aplikasi investasi bodong. Dua anak muda OKB, Indra Kenz dan Donny Salmanan sudah ditangkap polisi, dan beberapa lainnya akan menyusul. 

Dunia digital membuat manusia berubah. Mereka tidak lagi menjadi manusia yang otentik, tapi sudah menjadi manusia digital yang palsu. Eksistensi mereka sebagai manusia sudah berubah dari manusia normal ‘’homo sapiens’’ menjadi manusia digital ‘’homo digitalis.’’

Revolusi digital telah banyak mengubah manusia. Realitas tentang dirinya, pemaknaan baik dan buruk, semua seketika berubah total. Dulu orang malu pamer kekayaan, malah banyak yang menyembunyikannya. Sekarang pamer kekayaan setiap hari dengan bangga. Anehnya, mereka punya follower jutaan orang yang terkagum-kagum oleh pamer kekayaan itu. 

Manusia tidak lagi memikirkan sebuah kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang bersifat sementara. Eksistensi manusia menjadi berubah. Filosof Prancis Rene Descartes merumuskan eksistensi manusia ada karena pikirannya. Cogito ergo sum, I think therefore I am. Saya berpikir, karena itu saya ada.

Orang menjadi ada karena berpikir. Eksistensi sosial dan ekonominya ada karena dia berpikir. Sekarang formula itu berubah total karena revolusi digital. Franky Budi Hardiman memperkenalkan istilah baru ‘’Aku Klik Maka Aku Ada’’, eksistensi manusia ditentukan oleh eksistensinya di media sosial. 

Di era digital ini kita tidak lagi mengenal manusia itu seperti aslinya. Kehidupan umat manusia tidak lagi ditentukan oleh kesadaran. Kita semakin sulit membedakan antara realitas yang asli dan fiksi. 

Dulu kita mendefinisikan teman sebagai orang-orang yang dekat dalam lingkungan kita. Teman SD, teman kuliah, teman sekampung. Mereka semua kita kenal secara personal sebagai kerabat. Sekarang, kita punya ribuan teman yang tidak kita kenal dan tidak pernah kita temui sepanjang hidup kita. Itulah teman-teman kita di Facebook dan berbagai aplikasi pertemanan. 

Teman-teman digital itu tidak hadir secara fisik, tidak hadir dengan tubuh. Di dunia digital, kita tidak berinteraksi dengan tubuh. Kita hanya dapat membayangkan bagaimana tubuh yang ada di belakang layar screen, melalui display picture atau foto-foto unggahan yang setiap hari terlihat selalu bergembira dan berbahagia. 

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Itu dulu, ketika manusia Indonesia masih menjadi manusia otentik. Sekarang, di dunia media sosial  bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa yang paling kurang ajar di dunia.

Cara bersikap yang brutal di media online, kebebasan yang kebablasan, serta merajalelanya hoaks yang sulit ditapis membuat atribusi negatif itu melekat pada bangsa Indonesia. Fanatisme di media sosial menjadi bagian dari eksistensi manusia. 

Cara-cara pamer kekayaan melalui flexing sudah melampaui batas-batas kesadaran akan tenggang rasa dan tepa selira. Para crazy rich itu mabuk digital dan terus-menerus kecanduan oleh pamer kekayaan.  

Mereka baru menyesal kalau sudah datang tagihan dari petugas pajak. Mereka baru menyesal kalau sudah mendapat panggilan dari polisi dan mendapat status baru sebagai tersangka. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img