Malang Posco Media – Hari keadilan sosial sedunia, tepatnya (20/2) lalu, harusnya menjadi sebuah hari dimana kita sebagai manusia seharusnya memikirkan kembali tentang masalah-masalah yang terjadi di negara ini. Mengingat banyak sekali kasus yang sangat menyimpang dari makna keadilan sosial, dan tidak bisa dipungkiri penguasa hari ini hanya memandang kepentingan para kapitalis dari pada kepentingan masyarakat.
Banyak sekali kasus yang melibatkan pemerintah dalam melancarkan bisnis para kapitalis. Contohnya seperti pembebasan lahan untuk didirikannya industri ekstraktif yang sebetulnya merugikan dan ditentang oleh masyarakat. Pada tulisan ini mari kita refleksikan bersama apa saja kasus yang sudah terjadi di negara ini yang memperlihatkan bagaimana ketidakadilan negara dalam mengambil kebijakan.
Baru-baru ini Desa Wadas kembali gempar dengan pengiriman ratusan aparat kepolisian untuk mengawal pengukuran tanah agar dijadikan pertambangan. Namun hal ini tentunya mendapat penolakan dari masyarakat setempat.
Jika kita melihat sedikit ke belakang tentang awal mula terjadinya konflik di desa Wadas kita akan menemukan beberapa hal yang sebetulnya merupakan permainan penguasa untuk memberikan privilege terhadap pengusaha. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Wadas sangat wajar melihat dari kondisi sosial hingga pekerjaan yang mereka lakukan sangat bergantung pada tanah yang ada di Desa Wadas.
Melihat gambaran kondisi geografis yang diberikan oleh Watchdoc dalam dokumenternya yang berjudul “Wadas Waras” lahan yang akan dibebaskan sekitar 64 Hektare dan pertambangan ini sangat dekat dengan pemukiman warga. Bisa dipastikan ada beberapa perkebunan warga yang akan digusur demi pertambangan ini dan ada beberapa titik mata air yang akan hilang.
Permasalahan ini tentunya sangat disayangkan apalagi ditambah dengan perlakuan aparat yang begitu keras terhadap warga Wadas yang tidak menginginkan adanya pertambangan di desa mereka. Banyak sekali laporan dari berita-berita nasional tentang kekerasan yang dilakukan aparat kepada warga Wadas. Mulai dari pemukulan, diseret hingga penangkapan yang sebetulnya tidak memiliki dasar yang kuat.
Tentunya kita sudah mengetahui tentang bagaimana prosedur penangkapan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) pada pasal 16 ayat 1 yang mengatakan bahwa “penyidik dapat memerintahkan penyelidik untuk melakukan penangkapan, dengan begitu jika tidak ada perintah dari penyidik maka penyelidik tidak berwenang melakukan penangkapan.’’
Dan juga hal ini dijelaskan bahwasanya penangkapan diperbolehkan apabila sudah ‘cukup bukti.’ Artinya seseorang keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Selain meminimalisir adanya tindakan subjektif penyidik atau penyelidik dalam penangkapan, alasan ini juga agar penangkapan tetap memerhatikan dan menghormati hak asasi manusia atau terdakwa.
Akan tetapi dalam implementasinya yang terjadi di Wadas sangat bertolak belakang dengan apa yang tertulis pada KUHAP. Pertama mereka tidak memiliki izin untuk menangkap warga. Kedua mereka melakukan kekerasan yang sudah melanggar Hak Asasi Manusia. Apalagi kalau kita lihat tujuan awal diturunkannya aparat ke desa Wadas untuk mengawal pengukuran lahan.
Dan juga dijelaskan bahwa jika tidak memiliki surat penangkapan dan terdakwa maka harus diserahkan bersama dengan bukti di lapangan. Namun pada saat penangkapan warga desa Wadas, alat yang dijadikan sebagai bukti hanya sabit yang sebetulnya digunakan untuk membuat besek. Dan cara penangkapan mereka yang tidak mengutamakan hak asasi manusia.
Hal-hal seperti ini merupakan contoh nyata aparat keamanan hanya sekadar alat negara yang tidak memiliki hati. Mengapa penulis mengatakan demikian? Karena kasus ini merupakan salah satu dari jutaan kasus yang terjadi di negara ini dan kekerasan tersebut terpampang jelas di depan mata kita sendiri bahkan banyak diliput oleh media. sehingga kita bisa putar berulang-ulang kali. Hal ini juga sebetulnya sudah keluar dari tugas dan kewajiban mereka sebagai aparat keamanan yang seharusnya mengayomi, menjaga dan melayani masyarakat.
Bahkan di waktu yang sama ada aksi penolakan tambang yang dilakukan warga di kabupaten Parigi Moutong, provinsi Sulawesi Tengah. Ada salah satu masa aksi tewas tertembak, diduga tertembak peluru aparat kepolisian saat melakukan pengamanan aksi.
Masyarakat Parigi Moutong melakukan aksi untuk menolak tambang emas karena pada konsesi lahan tersebut yang seluas 15.725 hektar terdapat pertanian serta perkebunan warga yang masuk dalam wilayah pertambangan. Sehingga masyarakat terpaksa harus turun ke jalan dan melakukan aksi.
Akan tetapi dalam aksi tersebut belum ada peran negara yang seharusnya melindungi atau setidaknya turun untuk mendengarkan apa keluhan masyarakat. “Apakah mereka para masyarakat bukan bagian dari negara ini atau kalian para penguasa hanya memandang masyarakat sebagai hewan yang dapat diusir secara semena-mena?”. Dari beberapa kasus di atas kita bisa mengetahui bahwa negara sudah keluar dari tujuannya. Karena pada dasarnya tujuan dibentuknya sebuah negara untuk melindungi manusia yang ada di dalamnya, dan jika manusia yang di dalamnya sudah tidak dilindungi atau bahkan dibunuh secara perlahan maka negara itu sudah melenceng dari tujuannya dan bisa dikatakan baha negara itu tidak bisa dikatakan lagi sebuah negara.
Maka kita sebagai manusia yang sadar seharusnya kritis terhadap permasalahan-permasalahan ini dan kita sebagai manusia yang sadar juga mempunyai tugas penting untuk melakukan suatu tindakan menentang para penindas rakyat di negara ini.
Bagaimana pun keadaannya, saya sebagai penulis yakin bahwasanya negara tetap melanggengkan ekspansi kapitalis dalam menjalankan kegiatan ekstraktifnya untuk memperkaya dirinya sendiri dan penguasa. Penulis yakin dalam beberapa tahun ke depan seluruh masyarakat akan sadar dengan kejamnya negara ini dalam memperlakukan rakyatnya.
Arti keadilan sosial harus dipahami oleh negara, dan negara harus memakai hati serta intuisi untuk mengambil segala bentuk kebijakan yang akan diterapkan di masyarakat dan seharusnya negara harus lebih condong dan mendukung masyarakat bukan malah mengikuti keinginan para korporat.
Jika hal ini terus terjadi maka kita sebagai manusia harus melawan dan kalau perlu bubarkan saja negara ini karena mereka para penguasa sudah melupakan demokrasi serta keadilan sosial yang menjadi pilar berdirinya negara ini. Jadi tegakkan keadilan seadil adilnya dan lindungi masyarakat atau masyarakat akan tetap hidup dalam kesengsaraan ini?.(*)