Malang Posco Media – Masih diguncang hingga menuju puncak angka kasus Covid-19 varian baru, Omicron yang belum kunjung landai, masyarakat justru dibombardir juga akan isu varian terkini bernama Florona yang kabarnya ini adalah duet antara Virus Omicron dan Influenza.
Meskipun kabar ini belum teruji pasti kebenarannya, dengan penambahan kasus setiap harinya saja masyarakat sudah dibikin was-was, mental jadi setengah waras yang pada akhirnya berpengaruh ke fisik yang ikut amblas. Mau tidak mau harus menghadapi kenyataan: tes. Ketika SWAB ataupun PCR hasilnya sungguh traumatis, positif bikin nangis. Pikiran keki dibarengi dengan demam yang menjadi-jadi.
Data antaranews.com per (4/3) lalu, Covid-19 menunjukkan angka 5,7 juta kasus terkonfirmasi, sembuh 4,98 juta, dan meninggal 149. 268. Dulunya, positif menjadi sebuah lema atau kata dalam perkamusan KBBI yang sering digunakan untuk membuncahkan energi baik. Namun, akhir-akhir ini, kata itu justru menimbulkan kecemasan baru yang berpengaruh pada mental seseorang.
Padahal, kita sendika dawuh sekali dengan slogan mens sana in corpore sano yang berarti di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Orang Indonesia tatag dengan mentalnya yang harus kuat, tak tumbang walau badai menerjang. Namun kali ini, terbukti, banyak orang Indonesia sendiri yang mudah sakit dikarenakan sistem imunitas tidak sedang baik-baik saja.
Belum lagi cuaca ekstrim yang turut mendukung. Mau tidak mau di masa kini selain kita berperang melawan virus, juga berperang melawan pikiran kita sendiri.
Merasa cemas adalah hal yang wajar dirasakan oleh setiap insan. Apalagi ketika hasil tes menunjukkan bahwa ternyata kita positif atau sedang terjangkit Covid-19. Jangankan hasilnya sudah keluar, menunggu hasil pemeriksaan saja jantung rasanya berdegup kencang, takut, berpikir yang tidak-tidak. Lebih cemas lagi bila kita positif Covid-19 dengan gejala berat yang megharuskan kita benar-benar harus diisolasi mandiri dan jauh dari rasa aman dekapan keluarga, kerabat, dan teman dekat. Rasa khawatir ataupun cemas yang muncul secara sering tersebut bila berlebihan bisa menjadi gangguan kecemasan tersendiri bagi tubuh. Hal ini dapat mengganggu kualitas hidup tentunya.
Dilansir dari penelitian Lancet Regional Health di Amerika menemukan bahwa tekanan psikologis, depresi, dan gangguan kecemasan lazim ditemukan dalam setengah tahun terjadinya pandemi Covid-19. Selain itu, angka ini juga meningkat di masa pembatasan sosial.
Laporan ini menyebut, 42 persen orang dalam penelitian tersebut mengalami tekanan psikologis ringan selama pandemi. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2018, hanya 32 persen orang yang merasakan tekanan psikologis ringan.
Tak hanya itu, sepuluh persen dari peserta penelitian juga menunjukkan adanya gangguan kecemasan dan depresi dengan tingkat sedang hingga berat. Seringkali depresi yang terjadi diakibatkan dari adanya penyakit bawaan yang diderita peserta, salah satunya kanker.
Lalu, adakah cara jitu bagi kita dalam menyikapinya? Kuncinya ada di pikiran. Sebenarnya pengobatan untuk gangguan kecemasan umum ada dua cara, melalui psikoterapi dan pemberian obat-obatan psikotropika atau obat penenang.
Namun, sebelum terburu mengunjungi dokter, penting bagi diri kita sendiri untuk mengetahui dari mana jenis dan gejala gangguan kecemasan itu berasal. Jika memang benar kecemasan itu itu berasal dari kata positif Covid-19 yang mengusik pikiran kita, dengan segala gejala baik ringan, sedang, berat, atau bahkan tanpa gejala, kita kembalikan lagi pada Sang Maha Pencipta dari apa yang telah Ia ujikan pada kita saat ini.
Ya, tentunya kesabaran menjadi ladang hati yang harus benar-benar kita lapangkan sembari memohon kesembuhan. Senantiasa berprasangka baik terhadap tuhannya menjadi ciri khas makhluk beragama sejati. Kita tempatkan lagi hakikat kata positif pada makna yang menggembirakan bahwa semua ini baik-baik saja, petik hikmahnya, dan semoga segera terpungkasi.
Dengan afirmasi tersebut, pikiran atau mental kita yang semula takut akan lebih percaya diri melawan rasa takut yang tengah berkecamuk. Tak lupa dibarengi dengan ikhtiar terbaik dalam penyembuhan sesuai dengan gejala yang dialami, entah ringan, sedang, ataupun berat, menjadi salah satu hakikat manusia dalam menghadapi ujian ini.
Jangan nangis, ya! Mengutip dari buku fenomenal, “La Tahzan, Inallaha ma Ana” Bukankah kita dilarang bersedih, karena Ia selalu bersama kita. Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah putus asa, dan betapa banyak kegembiraan yang datang setelah kesusahan.
Siapa yang berbaik sangka pada Pemilik ‘Arasy, dia akan memetik manisnya buah yang dipetik di tengah-tengah pohon berduri. Untuk itu, tetap tersenyumlah, banyak penelitian ilmiah yang sudah membuktikan bahwa senyum bisa mempengaruhi kesehatan tubuh mulai dari memperbaiki mood, mengurasi stres, bikin awet muda, meningkatkan hubungan dengan lingkungan, memperbaiki sistem imun, hingga mengurangi rasa sakit.
Terakhir, dilarang keras konsumsi hoax! Pilih dan pilah informasi kredibel dari berbagai sumber terpercaya. Gunakan kemampuan literasi digital yang mumpuni untuk mengenali betul ciri-ciri hoax yang tersebar di sekitar kita.
Kalaupun berita pahit bukan hoax harus ditelan misalnya berita meningkatnya angka kematian akibat Covid-19, alangkah baiknya diskip terlebih dahulu. Biarlah kita tidak mengetahui perkembangan Covid-19 yang mencemaskan untuk sementara waktu untuk menjaga tumpul dan ciutnya mental kita.(*)