Malang Posco Media – Sering kali kita mendengar sebuah pernyataan kontroversial dari para pemimpin kita yang menuai pro dan kontra dari beberapa kalangan. Apalagi hal tersebut disampaikan oleh seorang kepala daerah, wali kota, gubernur bahkan menteri sekalipun yang berdampak menimbulkan kegaduhan.
Beberapa bulan terakhir, masyarakat kita sangat “gaduh” dengan beberapa pernyataan dari elit politik kita. Walikota yang memberikan pernyataan yang multitafsir tentang kata “Halal City”, sementara menteri yang memberikan aturan toa saat adzan.
Bahkan beberapa waktu yang lalu juga, anggota DPR Arteria Dahlan pun memberikan statement yang bertentangan dengan nilai-nilai moral sebuah komunitas. Bahkan tokoh politik, Megawati juga menuai kritikan atas pernyataannya tentang kenaikan harga minyak goreng.
Kegaduhan yang ditimbulkan menunjukkan bahwa sensitivitas masyarakat dengan pernyataan yang dinilai arogansi seorang pimpinan perlu dipertimbangkan suaranya. Sebagai pemimpin harus berhati-hati dalam memberikan pernyataan.
Jangan sampai pernyataan tersebut multitafsir bahkan melukai warganya. Menjadi bijak adalah sebuah pilihan dan keharusan, mengingat pemimpin adalah sebuah figur yang layak diteladani dan dipenuhi harapan oleh warganya.
Pernyataan yang dilontarkan seorang pemimpin jangan sampai membuat “gaduh” warganya. Kita tahu bersama bahwa wilayah negara kita terdiri dari berbagai suku, daerah, dan berangkat dari keberagaman. Bhinneka Tunggal Ika dan negara Pancasila haruslah tetap kita junjung bersama.
Ingat bahwa The Power off word. Kekuatan kata sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Jangan sampai pernyataan yang dilakukan seorang pemimpin bertentangan dengan suku, agama, dan ras. Tujuan yang baik tentu harus diikuti dengan etika komunikasi yang baik pula.
Namun, mau tidak mau dinamika komunikasi seorang pemimpin akan menjadi sorotan. Pemimpin yang merupakan posisi tertinggi sebuah organisasi pemerintahan, idealnya mampu memberikan teladan dan menenangkan hati yang dipimpinnya.
Imam Al Ghazali menyatakan bahwa pemimpin ideal adalah pemimpin yang di dalam dirinya ada tiga hal, yaitu memiliki ilmu pengetahuan, beragama, dan berakhlak. Ketiga hal ini selayaknya menjadi syarat utama menjadi seorang pemimpin.
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam terkait dengan berbagai persoalan di masyarakat dan mampu menemukan solusinya. Seorang pemimpin yang tertanam agama yang kuat, dia akan lebih bijak dan tidak akan melakukan tindakan menyimpang dari ajaran agamanya.
Sementara itu, seorang pemimpin yang memiliki akhlak yang baik tentu saja dalam kepemimpinannya mampu bersifat jujur, amanah dan bijaksana. Menurut Gus Muwafiq bahwa sosok pemimpin ideal selain beriman dan bertakwa, di dalam dirinya harus memiliki sikap jujur (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), memiliki skill/kemampuan (fathanah), dan sangat komunikatif (tabligh).
Kesemuanya haruslah tertanam pada diri seorang pemimpin. Namun, tabligh (baca: komunikasi) di sini sering kali menjadi tolok ukur bagaimana pemimpin mampu bertindak dan bekerja dengan baik.
Pentingnya komunikasi seorang pemimpin juga harus diimbangi dengan etika komunikasi yang efektif dan efisien pada setiap kesempatan. Namun faktanya, masih ada pemimpin yang masih belum memiliki etika dalam komunikasi baik.
Tanpa etika komunikasi, banyak berdampak pada imej pemimpin yang semaunya sendiri atau sak karepe dewe. Yang pada akhirnya berdampak buruk pada reputasi kepemimpinannya. Oleh karena itu, kesalahpahaman komunikasi sejak awal haruslah dihindari. Apalagi kesalahpahaman tersebut mengarah pada perpecahan.
Di samping itu, etika berkomunikasi seorang pemimpin yang baik dan bersahaja mampu mewujudkan sebuah masyarakat yang tenteram, aman, damai dan sejahtera. Mampu meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dalam masyarakat.
Pemimpin yang seperti inilah yang disebut dengan fatherly figure, yaitu seorang pemimpin yang memiliki sikap keteladanan dan menjadi panutan. Etika sangat diperlukan dalam praktik pemerintahan untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan.
Di samping itu perilaku birokrasi tadi akan memengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan dan memberikan pelayanan senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika komunikasi yang selaras dengan kedudukannya.
Kesalahan dalam komunikasi yang terjadi akan menimbulkan banyak kegusaran, ketidaktenangan dengan tata cara komunikasi pemimpin pemerintahan akan berdampak pada kerugian bagi masyarakat. Hal tersebut tentu dapat dikurangi jika pemimpin paham betul dan memiliki pengetahuan yang komprehensif dengan sejarah dan karakteristik wilayah yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin yang paham betul dan mengetahui serta memahami perasaan masyarakat yang telah memberikan amanah kepadanya untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan mendapatkan pengakuan atas pekerjaannya memang baik.
Apabila pekerjaan yang dibebankan tidak terlaksana dengan baik, maka pimpinan harus mencari penyebab dan solusinya. Di sinilah peranan komunikasi sangat dibutuhkan, agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat itu benar maka komunikasi harus dilakukan secara efektif dan efisien.
Prestasi kerja seorang pemimpin melalui komunikasi kepemimpinan yang baik, berdampak pada kepuasan bagi warganya. Dia mampu mengaktifkan kinerja pemerintahan dan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Hal ini akan membawa sebuah perubahan nyata dari hasil kerja dan mengarah pada tujuan dan eksistensinya sebagai pemimpin.
Sejatinya, komunikasi pemimpin yang baik mampu meredam kegalauan yang terjadi di masyarakat. Hal ini menjadi prioritas seorang pemimpin yang notabene sebagai pengayom masyarakat untuk melakukan komunikasi, musyawarah, dan interaksi yang baik dengan masyarakat. Pemimpin harusnya mampu menemukan titik temu dan visi yang sama untuk kemaslahatan bersama. Pemimpin sejati dapat merasakan denyut jantung rakyat dalam kepedihan dan kesusahan, bukan pemimpin yang pragmatis yang jauh dari orientasi kerakyatan dan kepedulian terhadap keadaan nasib rakyat, hanya memikirkan dirinya sendiri dan golongan.
Tidak berlebihan jika ada sebuah pepatah: Jangan sampai keseleo lidah berujung pada petaka. Berakibat hujatan di mana-mana! Menyitir pendapat Wong Kam Fung bahwa, “Anda bisa jadi pemimpin, tapi belum tentu Anda pemimpin sejati. Karena pemimpin sejati singgasananya ada di dalam hati yang dipimpin.”(*)