.
Thursday, November 14, 2024

IDEALISASI MEMBANGUN KOTA MALANG

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Kota Malang masih hangat memperingati hari jadinya yang ke-108 pada 1 April 2022. Gempita peringatan hari jadi Kota Malang ke-108 tahun 2022 ditandai berbagai ucapan selamat di media sosial. Ucapan tersebut ada yang berisi harapan dan doa baik untuk kemajuan Kota Malang di hari jadinya yang ke-108 tersebut.

Lantas, di usianya yang ke-108 ini apakah Kota Malang dinilai perlu diregenerasi dan direvitalisasi sehingga bisa lebih berkelanjutan dan lebih nyaman dalam konsep kota yang ideal. Lalu, seperti apa wujud membangun kota ideal (modernis tetapi ecopolis), sementara permasalahan banjir perkotaan, kemacetan lalu lintas masih menyelimuti dan mewarnai Kota Malang sebagai destinasi kota kunjungan pariwisata.

Perlu diketahui bahwa di Kota Malang sendiri terdapat aset penghijauan, yaitu sebuah taman hutan kota yang letaknya berada di jalan Malabar dengan sebutan Hutan Kota Malabar. Luas hutan ini kurang lebih 16.718 m2 dan di tengah Hutan Kota Malabar terdapat kolam air yang konon menjadi sumber untuk mengairi taman-taman di kota Malang.

Hutan kota ini begitu banyak manfaatnya, salah satunya adalah sarana untuk rekreasi karena di tempat ini begitu teduh dan tenang sehingga membuat hati kita menjadi damai. Bisa juga untuk edukasi karena banyak tanaman pepohonan dengan nama spesies yang bermacam-macam.

Begitu masuk ke dalam Hutan Kota Malabar ini, mulai terasa hawa yang sejuk dan terdengar kicauan burung. Hutan Kota Malabar ini sudah mulai lebat pohonnya, sehingga berada di dekatnya pun akan terasa hawa yang segar. Pohon yang ada di hutan kota ini yaitu pohon palm, beringin, cemara, jambu, dan lain-lain.

Gagasan tentang pembangunan Kota Malang yang ideal secara ecopolis dengan tajuk “Kembalikan Hutan Malang” memang memukau berbagai kalangan untuk pro aktif di dalamnya. Pertama, ibarat menanam pohon yang direncanakan berbeda dengan pohon yang tumbuh dengan sendirinya secara organik, terbuka peluang untuk mencipta dan mengatur segala sesuatunya sejak awal secara holistik.

Kedua, membangun hutan ibarat suatu tatanan kota baru merupakan salah satu hasil penjelajahan metode komprehensif kebijakan pemerintah dan tentunya “butuh” kepedulian kolektif dari masyarakat dan investor guna mengembalikan hutan kota pada khitahnya. 

Memperlihatkan asas yang mendasari pembangunan perkotaan yang berwawasan lingkungan, maka diharapkan intervensi pemerintah dan kepedulian kolektif publik akan tetap mempertahankan keadaan kota sebagai kota yang lestari dengan tetap mengupayakan dan menyediakan hutan di tengah kota atau yang lebih dikenal dengan hutan kota.

Hal ini juga diperkuat konsepsi Fokura (1987) bahwa hutan kota adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan proteksi, estetika, rekreasi, dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya.

Sebagai contoh, Kebun Raya Bogor yang dibangun oleh Sir Stanford Raffles pada tahun 1817, Kebun Raya Cibodas dan hutan Raya Ir. H. Djuanda di Malang setidaknya dapat dijadikan contoh model pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia.

Malang Kota Modernis dan Ecopolis

Saat ini Kota Malang terus berbenah menata kotanya yang modern, mulai dari relokasi pasar tradisional, penataan taman, perbaikan trotoar, saluran irigasi, jembatan Tlogomas sampai dengan melakukan aneka rekayasa jalur lalu lintas kendaraan untuk menghindari terjadinya kemacetan di sana-sini.

Proses pembangunan visualisasi kota Malang, sebenarnya mulai menggiat dan sangat berkembang pesat sejak Kota Malang dijabat Wali Kota Abah Anton dan Wali Kota Sutiaji. Bukti percepatan lingkungan telah dibuktikan dengan upaya tata hijau keindahan kota dan pembangunan fisik seperti jembatan baru di Kedungkandang dan Tlogomas.

Begitu juga Kota Malang yang pernah menyandang predikat sebagai Kota Paris van Java pada masa Kolonial Belanda, saat ini kelihatannya telah hilang “nyawanya.” Sehingga tidak heran, adanya efek yang muncul dari pelanggaran tata ruang kota itu sendiri.  

Doxiadis (1986) telah meramalkan bahwa kota-kota yang ada di dunia ini, termasuk di Malang akan tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin kuat dan sulit dikendalikan. Peringatan itu, kelihatannya sejalan dengan apa yang diinginkan oleh John Ormsbee (1986), bahwa kita agar lebih berhati-hati dalam mengelola kota dan lingkungan binaan manusia.

Selain itu, yang terpenting adalah kita berharap jangan sampai terjadi “ecological suicide” (bunuh diri ekologi) oleh pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan kota ini. Hal ini bisa terjadi secara sadar maupun tidak sadar. Oleh karena itu, diharapkan  masyarakat yang ada di Kota Malang harus bahu-membahu terlibat dalam proses perencanaan pembangunan kota yang dihuninya.

Saat ini, bukan zamannya lagi pemerintah “bekerja sendirian“ dalam membangun kota dengan mengabaikan peran serta nyata dari semua elemen masyarakatnya. Sehingga dalam konteks kekinian, menyikapi apa yang terjadi dalam perkembangan Kota Malang ini, setidaknya ada satu pertanyaan yang mesti disikapi dan dijawab sebagai solusi terhadap fenomena tersebut.

Di sinilah kelihatannya kita perlu menerapkan sistem pembangunan berkelanjutan, sebagai sebuah harapan akan kenyamanan dan kewibawaan sebuah kota atas jati diri dan citra kota itu sendiri.

         Idealisasi mewujudkan Kota Malang yang modernis dan ecopolis diharapkan percepatan reboisasi dapat berjalan maksimal, namun sesuai dengan perencanaan yang matang. Artinya tidak asal memilih bibit dan menempatkan tanaman sembarangan, dan juga tetap memperhatikan kepentingan publik dan juga kelestarian sumber daya alam di sekitarnya.

         Oleh karena itu, kesempatan  masih dapat diraih seiring dengan mendongkraknya wisata di Kota Malang. Idealisasi mewujudkan tata Kota Malang yang komprehensif tidak hanya sebatas memikirkan kepentingan sepihak saja.

         Sehingga tidak ada kesan “aji mumpung” atau mencari kesempatan guna meraup keuntungan, sebaliknya pemerintah daerah justru tanggap dapat menepis kesan bahwa kebijakan “membangun bukan berarti merusak.” Jika prinsip ini dipegang sebagai upaya revitalisasi penataan kota yang ecopolis, maka secara signifikan akan  mematahkan mitos problem perkotaan di Kota Malang.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img