.
Saturday, November 9, 2024

TOXIC FAMILY

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Pernikahan adalah impian banyak pasangan muda. Menikah dan membangun keluarga adalah impian lain di samping membangun sebuah karir. Mereka yang telah memiliki pasangan di usianya yang matang, telah memenuhi persyaratan usia untuk menikah dan memiliki pekerjaan, mereka akan berjuang untuk membuktikan cinta mereka dengan memasuki jenjang pernikahan. 

Pasangan muda yang baru menikah menunjukkan sebuah bentuk idealisme hubungan. Terlihat bahagia, menyenangkan, dan seolah-olah tidak memiliki permasalahan serius. Jika pasangan muda termasuk pasangan yang cukup realistis, tentunya akan mempertimbangkan stabilitas ekonomi keluarga daripada hanya sebuah cinta semata.

- Advertisement -

Apalagi akhir-akhir ini media sosial menunjukkan pernikahan yang indah para selebriti, yang tampaknya bahagia dan seakan tidak mengalami masalah. Belum lagi pengaruh tayangan-tayangan televisi tentang percintaan dan keluarga idaman, sangat mempengaruhi pandangan tentang pernikahan. Padahal pada kenyataannya dalam pernikahan ada banyak ujian permasalahan yang harus dijalani oleh setiap pasangan.

Bagaimana tidak? Setiap orang dengan ego masing-masing, membawa kebiasaan-kebiasaan dari lingkungan yang berbeda. Kemampuan untuk saling memahami satu dengan yang lain akan kekurangan serta kelebihan pasangan tidak serta merta muncul. Hal tersebut membutuhkan proses keberanian dan tekad yang kuat serta kemampuan meruntuhkan ego masing-masing.

Mengalah bukan untuk menang, melainkan mengalah untuk menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan, yang dapat membuat penghuninya betah dan merindukan rumah.

Menurut Wikipedia, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami, istri dan anaknya; atau ayah dan anaknya (duda), atau ibu dan anaknya (janda). Menurut UU No.10 tahun 1992, Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.

Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Mengapa demikian? Karena sejak lahir hingga anak usia lima tahun, waktu mereka lebih banyak digunakan bersama keluarga di rumah. 

Keluarga yang sehat akan bisa mengatasi permasalahan perbedaan, perdebatan, konflik atau hal lainnya dengan sikap saling percaya, saling mengalah, menghargai satu dengan yang lain, berpikiran terbuka dan bebas berpendapat.

Jika seorang anak tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, santun, dan taat maka anak akan menjadi pribadi yang baik. Lingkungan keluarga yang nyaman dan menyenangkan akan membuat anggota keluarga betah di rumah termasuk anak. Keluarga yang sehat apabila mengalami permasalahan dalam keluarga akan kembali normal setelah krisis berlalu.

Keluarga yang tidak sehat atau yang memberi pengaruh negatif  kepada anggota keluarga dan lingkungannya itulah yang dinamakan toxic.  Apabila permasalahan timbul pada family toxic, kebutuhan  kasih sayang, kehangatan, keamanan, kenyamanan anak dalam keluarga tidak akan terpenuhi. Selain itu perilaku toxic menurun kepada anak-anak sampai mereka dewasa.

Pada dasarnya tidak ada orang tua yang sengaja membuat anaknya menderita dengan menebarkan “racun” perilaku, perkataan dan pemikiran negatif, judgement, pola asuh. Hal ini semacam siklus, yang nantinya akan berulang ke generasi berikutnya. 

Karakteristik Keluarga Toxic

Sebuah artikel psikologi yang ditulis oleh Alivia Permana Hadi dkk yang dipublis di Lembaga Mahasiswa Psikologi UGM 25 Desember 2020 menyampaikan karakteristik keluarga toxic. Antara lain ketika orang tua menetapkan standar tinggi atau menuntut anak berlebihan. Sementara tuntutan tidak sesuai dengan kemampuan anak, hal tersebut dapat merusak mental anak.

Membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain, menghakimi, menuntut balas budi “sudah saatnya kamu membahagiakan orang tuamu.” Tanpa sengaja perilaku, tutur kata dan pemikiran-pemikiran tersebut menjadi toxic dalam keluarga.

Perilaku kurangnya empati atau penghargaan orang tua terhadap anak juga merupakan toxic. Hal tersebut mengakibatkan mereka merasa kurang dicintai, tidak dihargai, terbiasa saling mengolok-olok, acuh terhadap pendapat anak, membully anak, merendahkan anak berdasarkan kekurangannya dapat mengikis percaya diri anak.

Atau orang tua mengkritik anak terlalu tajam, tidak pernah puas dengan kemampuan anaknya. Hal tersebut mengakibatkan anak frustasi, rendah diri, merasa dirinya tidak dapat membahagiakan orang tua, tidak diinginkan dan tidak dicintai.

Selain itu perilaku orang tua yang mengontrol anak berlebihan, tidak mengizinkan anak mengambil keputusan sendiri, membuat anak bergantung pada orang tua. Sebenarnya tidak salah apabila orang tua mengontrol anak, tetapi akan menjadi salah apabila kontrol orang tua tersebut berlebihan, mengharuskan keputusannya yang terlaksana. 

Terjadinya kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan emosional, fisik, seksual yang ditutup-tutupi juga merupakan perwujudan toxic dalam keluarga. Ketika perilaku kekerasan tersebut dibuat seakan-akan anak layak untuk menerima tindak kekerasan, anak dipaksa diam demi menjaga reputasi, akan membentuk ketakutan-ketakutan tersendiri pada diri anak.

Selain itu seringnya pertengkaran dalam keluarga, anak menyaksikan atau mendengar pertengkaran tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan trauma tersendiri pada diri anak atau anak meniru perilaku pertengkaran tersebut. 

Orang tua yang menjadi figur, harus dapat memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya. Karena setiap perilaku orang tua akan ditiru oleh anak-anaknya baik positif maupun negatif. Oleh sebab itu perilaku toxic keluarga yang dicontohkan oleh orang tua akan membentuk perilaku baru pada diri anak.

Hal tersebut menyebabkan tumbuh kembang negatif pada diri anak, antara lain emosi anak yang kurang stabil, gangguan kesehatan mental, tantrum, temperamental, adiksi, psikosomatis dan pikiran-pikiran yang terganggu. 

Keluarga diharapkan menjadi sumber energi positif dan sumber kekuatan bagi anggotanya. Keluarga juga perlu menyadari apakah suasana keluarganya saat ini termasuk keluarga sehat atau tidak sehat? Jika sebuah keluarga menyadari telah menjadi bagian dari toxic family, maka langkah apa yang harus dilakukan?

Cara Mengatasi

Bagaimana cara mengatasinya? Pentingnya pendidikan keluarga bagi pasangan yang akan menikah supaya mereka tidak ikut berperan dalam pembentukan keluarga yang tidak sehat. Persiapan kematangan secara psikis, mental dan ekonomi bagi pasangan yang akan menikah. Bagi pasangan yang sudah menikah dan menyadari bahwa masing-masing berpotensi menularkan “toxic” kepada anak-anaknya, dapat mengikuti kelas parenting.

Ketika kita menemukan keluarga toxic sebaiknya kita menghindar karena perilaku toxic dapat menular.  Hindari mencoba mengubah perilaku toxic family, jika kita sendiri tidak mampu. Seandainya kita menemukan keluarga kita sendiri ternyata merupakan keluarga toxic, jangan menyalahkan diri sendiri. Akan lebih baik jika kita mensyukuri keluarga yang Tuhan berikan, sudah menempatkan kita pada keluarga yang tepat.

Hal yang bisa kita lakukan dari diri kita sendiri sebagai upaya pertahanan diri supaya tidak menjadi bagian dari keluarga toxic, antara lain kita harus peduli pada diri sendiri. Tetap menjadi pribadi yang tangguh, tidak mudah “baper” dengan kondisi keluarga di tempat kita tinggal.

Jika merasa bahwa keluarga kita ada bibit-bibit toxic, dengan konsultasi kepada orang lain akan membantu kita bertahan sambil memutus mata rantai toxic tersebut. Mencoba untuk berbagi dengan orang lain untuk menerima masukan dari sudut pandang yang berbeda.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img