Perbincangan soal LGBT sempat meramaikan jagat raya nusantara saat Dedy Corbuzier mengundang Ragil Mahardika di konten Podcast Youtubenya. Dedy yang berniat menunjukkan fakta penyimpangan seksual di lapangan, justru menjadi bumerang karena dianggap memberikan panggung bagi kelompok LGBT yang secara umum ditolak oleh kalangan beragama di Indonesia. Amarah netizen datang bertubi-tubi menuju akun medsos mantan pesulap itu yang akhirnya berujung pada permohonan maaf dan menarik konten tersebut dari via youtubenya.
Respon menarik justru hadir dari Prof. Mahfud MD selaku Menkopolhukam RI dalam menanggapi isu kontroversi ini. Beliau menganggap unggahan konten Dedy Corbuzier adalah bagian ekspresi dari demokrasi. Negara tidak bisa mengambil langkah hukum mengingat persoalan LGBT belum diatur dalam aturan yang konkret. Namun pesan dari beliau tidak boleh dimaknai secara sempit agar kita tidak memiliki pemahaman walaupun belum ada hukum bukan berarti LGBT legal di Indonesia.
Status negara hukum yang dimiliki Indonesia menjadi konsekuensi bagaimana negara ini harus bertindak. Dalam konsep rule of law (negara hukum) dari A.V. Dicey (1980) menjadi pijakan secara jelas bahwa seseorang tak dapat dihukum apabila tidak ada aturannya. Konsep ini berkorelasi dengan asas legalitas dalam hukum pidana yang disampaikan oleh Anselm F. Fuerbach untuk membatasi penguasa agar tidak semena-mena memberikan punishment kepada rakyat selama tidak ada aturan pidananya dalam rangka menghindari pemerintahan yang otoriter.
Paul Craig (2005) selaku Professor of law Worcerster College Inggris menjelaskan lebih lanjut terkait spirit negara hukum yang kemudian dikenal dengan supremasi hukum di era modern. Paparan Craig soal supremasi hukum menjadi dasar bagi Parlemen negara untuk tanggap merespon pembatasan perbuatan di era negara yang semakin demokratis ke dalam hukum normatif untuk menjamin kepastian hukum. Dengan begitu akan ada batasan yang jelas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam menegakkan demokrasi pada suatu negara.
Konsep tersebut dapat digunakan dalam menjawab isu LGBT di tanah air dalam kacamata hukum. Pertanyaan utamanya adalah, apakah ada aturan eksplisit yang melarang aktivitas LGBT di tanah air? Secara hukum normatif mungkin belum ada. Kecuali apabila korbannya adalah anak-anak mungkin bisa dipidana karena telah diatur dalam UU Perlindungan Anak. Namun di luar tersebut jika dimaknai secara rule of law tentu negara menjadi pasif karena tidak ada landasan hukum untuk menindak perbuatan tersebut.
Walaupun secara hukum normatif belum tersedia, bukan berarti pelaku LGBT secara otomatis dapat dibenarkan di Indonesia. Indonesia bukanlah negara hukum yang kaku berdasarkan teks tertulis. Berbeda dengan negara Jerman tempat Ragil berdomisili saat ini secara hukum negara tersebut melegalkan pernikahan sesama jenis.
Tapi kalau Indonesia berdasarkan UU Perkawinan, perkawinan hanya dapat dilakukan antara pria dan wanita, bukan sesama jenis. Namun ini sifatnya perdata. Konsekuensinya mungkin hanya sebatas penolakan pencatatan administrasi oleh negara, tanpa tindakan pidana. Itu mungkin benteng hukum eksplisit untuk menolak LGBT di Indonesia.
Kacamata hukum bukan menjadi akhir untuk menjawab kontroversi LGBT. Ada benteng besar yang dimiliki negara bernama “Pancasila” yang bisa digunakan untuk merespon isu ini. Pancasila adalah ideologi negara serta menjadi sumber dari segala hukum. Artinya Pancasila memiliki posisi lebih tinggi dari hukum itu sendiri.
Sila Pertama Pancasila sebenarnya sudah sangat jelas untuk menjawab persoalan ini. Apalagi jiwa sila ini termaktub secara jelas dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan. Artinya arah bergeraknya negara memiliki filter Ketuhanan untuk menentukan dari setiap segala kebijakan.
Dilihat dari corong ajaran Islam, konsep Ketuhanan ini pada Pancasila menjadi ruh bagaimana LGBT ditolak secara mentah-mentah. Hal ini dikarenakan berdasarkan Alquran LGBT adalah perbuatan yang diharamkam. Lukman Hakim Syaifuddin saat menjabat sebagai Menteri Agama RI juga pernah menyampaikan bahwa “semua agama menolak LGBT.”
Sehingga Sudah jelas bahwa berdasarkan sila pertama Pancasila dari sudut pandang agama, LGBT adalah perbuatan yang tidak dibenarkan untuk dilakukan. Artinya Pancasila sebagai ideologi negara menjadi dasar untuk menolak LGBT secara moral walaupun hukum normatif belum tersedia.
Kontradiksi LGBT dengan Pancasila harus dimunculkan dalam praktik sehari-hari. Sebagai warga negara yang taat Pancasila serta Konstitusi, kita tahu mana yang harus kita lakukan. Memang secara hukum tidak ada sanksi yang bisa menindak pelaku LGBT. Akan tetapi Pancasila yang menjadi way of life adalah sumber moral nilai moral dalam kehidupan. Apabila ada hal yang menyimpang Pancasila, sanksi moral bisa muncul dari masyarakat untuk menolak perbuatan itu.
Perlu dipahami Kedudukan sanksi moral terkadang bersifat lebih kejam daripada sanksi hukum. Sebagaimana menurut Wenzel (2004) memaparkan sanksi moral menjadi sanksi alternatif yang lebih fleksibel daripada sanksi hukum yang terkadang rumit akibat berkutat dengan persoalan teks normatif dan mekanisme.
Efektifnya sanksi ini kalau menurut mengutip pendapat David Hume (1751), sanksi moral merupakan paket lengkap yang akan selalu ada di setiap kehidupan masyarakat. Sanksi moral yang dihadirkan masyarakat dapat memberikan rasa malu besar serta mampu segera menyadarkan seseorang untuk menginsyafi perbuatannya. Itulah dasar mengapa sanksi moral terkadang dipandang lebih efektif daripada sanksi hukum.
Pendapat Hume dan Wenzel tersebutlah yang menjadi kenyataan terhadap apa yang menimpa Dedy Corbuzier. Permohonan maaf atas konten yang membahas LGBT merupakan buah hasil sanksi moral yang ditujukan secara bertubi-tubi dari masyarakat. Sebagaimana pandangan L. Kaplow & S. Shavel (2007) bahwa sanksi moral merupakan proses penanaman moral secara seragam terhadap apa yang dilarang.
Artinya kecaman netizen yang hadir kepada Dedy Corbuzier tidak dimaknai sebagai kemurkaan saja. Namun itu adalah bentuk dari upaya untuk memberikan penanaman moral secara kolektif terhadap perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunan kehidupan beragama yang notabenenya menjadi bagian dari Pancasila.
Akhirnya kita paham bahwa LGBT adalah perbuatan yang tidak dapat diterima di tanah air. Walapun hukum tidak mengatur secara eksplisit, dengan filter Pancasila perbuatan ini jelas tidak bisa diterima dan berpotensi mendapatkan bayang-bayang sanksi moral dari masyarakat. Ini yang sebenarnya sering disampaikan oleh Prof. Mahfud MD mengenai sanksi heteronom dan autonom. Sanksi heteronom berasal dari UU dan sanksi autonom merupakan rasa malu yang hadir dari diri sendiri akbat perbuatannya melanggar nilai-nilai moral di masyarakat. Selain itu DPR perlu segara membahas secara hukum terhadap fenomena LGBT di Indonesia dalam rangka menghindarkan fenomena ‘main hakim sendiri” yang dapat muncul dari masyarakat.(*)