Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Pendidikan berbasis multikultural layak dikembangkan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Pendidikan berbasis Multikultural sebaiknya dikembangkan ke dalam kurikulum, dan pelaksanaannya dilakukan melalui pembelajaran intra dan ekstra kurikuler.
Pendidikan berbasis multikultural akan menjadi sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat secara luas. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) peserta didik akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman, hal ini sejalan dengan konsep Islam (QS. al Hujrot, 13) yang membentangkan konsep multikulturalisme.
Pertama, pendidikan berbasis multikultural selayaknya dipandang sebagai program pendidikan, dalam makna pendidikan (education) bukan sekadar kegiatan persekolahan (schooling) atau sekadar menjadi program-program temporal kajian. Tapi masuk dalam system pendidikan yang terstruktur, bahkan endingnya adalah terciptanya habituasi warga lembaga pendidikan yang memiliki sikap harmoni, moderat, toleran, dan bersikap proporsional di tengah-tengah kehidupan yang multikultur.
Kedua, selayaknya pendidikan berbasis multikultural jangan sampai menyamakan pandangan bahwa kebudayaan sebagai kelompok etnik. Oleh karena individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, budaya atau adat istiadat, etnis, agama, dan golongan, maka berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi dimana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan, sehingga tidak menghasilkan produk yang ekstrim atau fanatik buta.
Ketiga, dengan pengembangan pendidikan berbasis multikultural pada pendidikan di Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadaptasi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelas berkaitan, harus dibedakan secara konseptual antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial dalam kelompok etnik tertentu.
Pendidikan apapun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Proses pengembangan budaya damai di kalangan peserta didik, tidak dapat terlepas dari kegiatan pendidikan yang mereka peroleh di rumah, sekolah dan perguruan tinggi, serta masyarakat.
Selanjutnya, pendidikan damai harus berfokus pada perbedaan minat, bakat, dan kapasitas masing-masing peserta didik. Anak atau peserta didik harus mampu mengekspresikan dirinya sendiri dalam mengembangkan budaya perdamaian.
Dalam konteks ini juga maka pengetahuan mengenai budaya damai dapat dilakukan dengan berpijak pada: (a) nilai-nilai agama, di mana setiap agama mengajarkan penganutnya untuk hidup secara damai dengan sesame. (b) nilai-nilai kearifan lokal, karena kita adalah bangsa yang kaya akan warisan nilai-nilai luhur yang telah teruji oleh zaman dalam mewujudkan masyarakat yang damai dan harmonis di tengah-tengah kehidupan yang multikultural.
Budaya damai merupakan tumpuan bagi penciptaan stabilitas, kemajuan dan kesejahteraan dunia. Kebutuhan akan budaya damai, terutama karena peradaban dunia kita dari waktu ke waktu ditandai dengan berbagai tindak kekerasan. Tak terkecuali dunia pendidikan yang diharapkan menjadi deseminator pendidikan.
Di balik tembok-tembok sekolah dan pendidikan tinggi, ruang-ruang kampus kekerasan juga menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Tawuran, vandalisme, bullying merupakan tindakan yang sering dijumpai dalam dunia pendidikan.
Fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan yang memprihatinkan itu tentu bukan gejala yang lahir dengan sendirinya. Bisa jadi kekerasan itu berakar pada banyak faktor seperti muatan kurikulum yang hanya mengedepankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan bahkan mungkin berakar pada paradigma pendidikan yang melihat peserta didik sebagai obyek rekayasa sosial, dan tidak menempatkannya sebagai proses humanisasi.
Kompetensi Normatif
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi hal-hal yang negatif dari suatu masalah integrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan suatu kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan yang komunikatif. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas.
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seseorang dapat berbicara dan bertindak serta mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan seperti yang terdapat dalam “Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi semangat atau spirit penggerak setiap tindakan khususnya dalam proses pengambilan keputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam keragaman, demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai.
Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif, memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik, tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa semboyan “satu bangsa, satu tanah air dan satu Bahasa” dan “Bhinneka Tunggal Ika” masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah.
Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang semuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.
Dengan adanya pemahaman dan pendidikan multikulturalisme di Indonesia, memungkinkan akan terwujudnya komunikasi lintas budaya. Artinya adanya keinginan untuk saling mengenal antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sehingga hal ini akan mengurangi gesekan-gesekan yang ditimbulkan dari perbedaan-perbedaan yang ada di dalam membangun dan mengembangkan potensi yang ada dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bahkan dalam kewarganegaraan global. (*)