.
Saturday, December 14, 2024

Literasi Maha Mahal

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – “Buku adalah jendela dunia”, “Buku adalah gudang ilmu”, “Buku adalah sahabat paling setia.” Kutipan-kutipan tersebut merupakan kata-kata manis tentang buku yang mungkin sering terdengar di telinga kita semua.

          Namun, apakah tumpukan kertas senilai jendela dunia, gudang ilmu, dan sahabat paling setia itu dapat kita miliki dengan mudah? Saya tidak tahu dengan negara lain, namun jika anda tinggal di Indonesia, maka jawabannya adalah tidak. Kira-kira begitu pandangan kebanyakan orang.

          Baru-baru ini, saya sedikit berbincang dengan salah satu penjual buku. Beliau mengeluh tentang menurunnya jumlah peminat buku. Padahal, mendekati musim penerimaan mahasiswa baru ini seharusnya toko buku sedang ramai-ramainya pengunjung. Apalagi sebagian besar sekolah dan perguruan tinggi mulai memberlakukan pembelajaran tatap muka. Lalu, apa yang menyebabkan minimnya jumlah pembeli buku dewasa kini?

          Terkadang, ketika ada buku yang dinilai bagus, kebanyakan orang terpikirkan untuk membelinya. Namun, niat itu seketika diurungkan ketika melihat harganya yang sangat mahal. Hal ini menjadi dilematis bagi orang-orang yang suka membaca atau baru memulai membaca.

          Bukan rahasia lagi bahwa minat baca negara kita sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Beberapa berpandapat bahwa minat baca yang rendah menyebabkan melejitnya harga buku. Beberapa justru sebaliknya, berpendapat bahwa harga buku yang mahal menyebabkan menurunnya minat baca masyarakat. Mari kita bahas.

Persoalan Mahalnya Harga Buku

          Eka Kurniawan, seorang penulis buku pernah menulis opininya tentang penyebab mahalnya harga buku di Indonesia. Menurutnya, harga buku dikategorikan “mahal” disebabkan beberapa hal. Salah satunya adalah banyaknya potongan mulai dari potongan toko buku (40 persen).           Katakanlah sebuah buku dihargai Rp 100 ribu, maka toko buku memperoleh Rp 40 ribu dari keuntungannya. Tentunya untuk biaya operasional toko tersebut.Setelah itu, PPN (11 persen) yang sudah termasuk dalam harga buku yang tertera. Kecuali buku pelajaran umum dan kitab suci yang mendapat pembebasan PPN.

          Selanjutnya giliran pihak penerbit (50 persen). Terkhusus bagian ini, yang terjadi agak kompleks. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai memungkinkan adanya pajak dari satu sisi ke sisi lain. Dari penerbit ke toko buku tentunya ada PPN, dari perusahaan kayu ke pabrik kertas ada PPN, dari pabrik kertas ke percetakan ada PPN, dari percetakan ke penerbit ada PPN, hingga berakhir di konsumen sebagai pembeli buku.

Sekarang giliran royalti bagi sang penulis (10 persen). Menurut saya hal ini pantas didapatkan sang penulis, bahkan melihat angkanya pun masih prihatin. Selanjutnya, distribusi buku (10 persen). Buku yang kita beli di Malang, tidak semuanya dicetak di Malang. Ada buku dari Jakarta, Jogja, dan daerah-daerah lain dan semua itu membutuhkan biaya.

Kemudian, masih ada biaya yang harus dikeluarkan oleh si penerbit, atau kita kenal dengan biaya produksi. Sebut saja kebutuhan-kebutuhan seperti biaya kertas, biaya cetak, desain sampul dan lain-lain. Produksi membutuhkan modal yang besar, menurut Eka Kurniawan, biaya produksi mencapai 20 persen.

Sisanya (5 persen) adalah keuntungan yang didapatkan oleh penerbit. Itu tentunya bukan nilai yang tinggi jika dibandingkan dengan kebutuhan pihak penerbit untuk membuat promosi buku, menraktir penulis, dan jangan lupakan PPH atau pajak penghasilan. Pihak penerbit terpaksa mengakalinya dengan menekan biaya produksi atau menaikkan harga jual. Beberapa penerbit bahkan menekan royalti bagi penulis.

Alternatif Lain

          Keseluruhan biaya tersebut mungkin dapat membuat pembaca sedikit lebih menurunkan kekesalan atas tingginya harga buku. Lantas, bagaimana solusinya? Apa solusi yang dapat ditawarkan? Jalan pintasnya adalah membeli buku bajakan.

          Buku bajakan cenderung lebih murah, sebab penjualnya tak perlu masuk ke toko-toko besar, tak perlu membayar pajak, tak membayar biaya distribusi, dan dapat menekan biaya produksi, sebab biasanya menggunakan kertas dengan kualitas yang lebih rendah dan tak perlu membayar desainer untuk sampul dan lain-lain.

          Membeli buku bajakan mungkin adalah jalan pintas. Namun, hal tersebut hanya akan menimbulkan permasalahan baru, yakni dapat mengancam kreativitas dalam dunia perbukuan. Jalan lain yang mungkin lebih elok untuk diambil adalah memaksimalkan fasilitas perpustakaan sebaik-baiknya. Meskipun belum merata dari segi fasilitas hingga kualitas literatur.

Alternatif lainnya adalah mencari perpustakaan digital yang gratis dan legal. Jadi para pembaca dapat mengakses buku melalui gadget dimanapun dan kapanpun. Setidaknya hal tersebut adalah pendekatan bottom-up yang dapat kita lakukan untuk turut terlibat memperkaya literasi negeri.

          Namun, apalah artinya upaya bottom-up tanpa adanya upaya top-down. Solusi yang lain adalah meminta Presiden dan Menteri Keuangan untuk menghapus PPN penjualan buku secara menyeluruh. Hal ini mungkin sulit. Namun jika berhasil, maka dapat dianggap sebagai upaya nyata pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

          Perguruan tinggi dan sekolah pun memiliki peran dalam hal ini. Misalnya, dengan memasukkan kembali buku bacaan yang wajib dimiliki oleh mahasiswa/ siswa sesuai dengan kurikulum. Dengan begitu, ketersediaan buku tertentu dapat terjamin.

Rasanya setiap orang pasti sepakat, bahwa literasi telah menjadi syarat mutlak sumber daya manusia di suatu negara dapat bersaing di panggung global. Negara besar yang mendominasi panggung global, khususnya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain adalah negara dengan budaya literasi yang tinggi. Bahkan harga buku di negara-negara besar seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan Australia masih lebih mahal jika dibandingkan dengan Indonesia.

Selain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk bersaing di kancah internasional, budaya literasi juga dapat menjadi bekal yang cukup untuk menjaring informasi di media sosial. Seperti yang diketahui, di tengah arus globalisasi yang cepat penetrasinya dan dalam akselerasinya ini, penyebaran informasi jadi tak terbendung.

Bukan mahalnya harga buku yang menyebabkan rendahnya minat literasi di sebuah negara, bukan pula sebaliknya. Kedua hal tersebut harusnya tidak berhubungan jika kesadaran akan pentingnya literasi dimiliki oleh seluruh entitas negara.

Lagipula, harga tumpukan kertas yang dinilai mahal tersebut belum tentu sebanding dengan ilmu yang cukup untuk meningkatkan kualitas diri, jadi mengapa tidak? Namun jika merogoh kocek dalam-dalam untuk buku dianggap menyulitkan, maka ada alternatif-alternatif lain seperti yang telah ditawarkan penulis di atas.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img