MALANG POSCO MEDIA – Haji menjadi ritual untuk menapak tilas perjalanan kehidupan pribadi dan perjalanan religiusitas Nabi Ibrahim. Dalam sejarah agama-agama di dunia Ibrahim dikenal sebagai bapak tauhid yang memperkenalkan motoisme yang menyembah satu tuhan yang tunggal. Ibrahim menjadi bapak yang melahirkan agama-agama langit atau samawi, Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Bagi umat Islam, Ibarahim adalah bapak tauhid yang mengajarkan konsep mengesakan tuhan sebagai dasar dari seluruh bangunan masyarakat. Ibrahim memberi teladan bagaimana tauhid menjadi pondasi bagi pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, dan kemudian kehidupan masyarakat yang lebih luas.
Intelektual Iran Ali Syariati (1933-1977) memberikan tafsir yang sangat khas terhadap kehidupan Ibrahim. Bukunya berjudul ‘’Hajj’’, menjadi salah satu rujukan paling populer bagi banyak kalangan Islam. Meskipun Syariati memberi perspektif Syiah yang kental, tetapi interpretasinya terhadap kehidupan Ibrahim dikutip secara luas dan dianggap sebagai salah satu yang paling otoritatif.
Keluarga menjadi unit terkecil untuk membangun peradaban dunia. Keluarga yang sukses dalam jalan tauhid akan menghasilkan peradaban tauhid. Ibrahim menemukan imannya melalui perjalanan kontemplatif yang sangat panjang dan penuh risiko.
Ibrahim memulai dengan memperkuat keimanan pribadinya. Di tengah kehidupan masyarakat pagan yang penuh dengan kemusyrikan, Ibrahim mempertahankan dirinya sebagai manusia yang ”hanif’ dan ”muslim.” Hanif adalah hati yang murni tidak dikotori oleh syirik. Muslim artinya berserah diri total kepada Allah Yang Esa.
Kisah Ibrahim yang menghancurkan patung-patung yang menjadi sesembahan kaumnya menjadi contoh bagaimana Ibrahim mempergunakan rasio dan logikanya untuk menemukan tuhan. Ibrahim menghancurkan semua patung dan membiarkan satu patung paling besar sendirian.
Ibrahim meletakkan palu dan alat pemukul di pangkuan arca besar itu. Ketika diadili oleh pengadilan raja, Ibrahim berkilah bahwa patung terbesar itulah yang menghancurkan seluruh patung yang ada di ruangan itu.
Hakim tidak mungkin bertanya kepada patung karena patung batu tidak mungkin bisa berbicara untuk memberi kesaksian. Ibrahim berargumen, kalau patung tidak bisa berbicara, mengapa disembah sebagai tuhan.
Pembelaan Ibrahim ditolak dan ia dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Tetapi, api tidak membakar Ibrahim dan ia selamat dari hukuman mati. Api yang membakar dan menghancurkan tidak bisa menyentuh badan Ibrahim. Hukum dunia yang berdasarkan kausalitas tidak berlaku dalam kasus Ibrahim.
Alquran mengisahkan perjalanan Ibrahim melihat bintang dan berkata ”Inilah tuhanku”, tapi bintang kemudian tenggelam dan keyakinannya pun ikut tenggelam. Terbitlah bulan yang bersinar lebih terang, tapi kemudian hilang ketika pagi muncul. Lalu muncullah matahari dan Ibrahim ”Inilah tuhanku, ini lebih besar.” Tapi matahari juga tenggelam.
Ibrahim kemudian menyadari bahwa ada zat maha kuasa yang mengatur bintang gemintang dan tata cakrawala itu. Ia kemudian berseru untuk menghadapkan wajahnya kepada zat yang Maha-Mengatur tata surya itu. Ibrahim menyatakan tidak akan mengikuti ideologi politeisme yang musyrik.
Kehidupan rumah tangga Ibrahim menjadi sebuah fragmen tersendiri dalam memperkuat tauhidnya. Ia telah menikah sekian lama tapi tidak mempunyai anak. Ketika anaknya lahir, Ibrahim harus bertransmigrasi dari Palestina ke Bakkah.
Di lembah itu terdapat ‘’Rumah Allah.’’ Di situlah Ibrahim mendirikan rumah pertama untuk keluarga kecilnya. Itulah rumah pertama yang dibangun untuk manusia. Dari sebuah tempat yang gersang dan kering kerontang itulah tumbuh peradaban besar dunia, yang akan bisa mengalahkan dua peradaban super power dunia, Romawi di Barat dan Persia di Timur.
Dari lembah gersang itulah Ismail sang bayi memancarkan air kehidupan untuk kemanusiaan dan peradaban. Kaki kecil bayi mungil itu menjejak pasir di bawahnya. Sang ibu, Siti Hajar, yang panik melihat bayi yang menangis keras karena kelaparan dan kehausan berlarian dari satu bukit lainnya. Pada etape ketujuh sang ibu terkejut karena dari kaki kecil si orok muncul rembesan air. Sang bayi terus menendang-nendangkan kaki mungil ke pasir. Air merembes menjadi sumber, Siti Hajar berseru girang, ‘’Zam, zam, memancarlah, memancarlah.’’
Air itu memancar menjadi oase kehidupan. Padang gersang itu menjadi pusat peradaban besar yang mengubah konstelasi geopolitik internasional untuk selama-lamanya. Dari padang gersang itulah kelak lahir keturunan Ismail bernama Muhammad yang melakukan transformasi sosial-budaya dan menjadikan kota gersang itu sebagai sentra peradaban dunia.
Ismail sebagai suksesor Ibrahim harus menjalani ujian sebelum siap melanjutkan misi dakwah. Seorang anak remaja yang tumbuh gagah dan menyenangkan, kasih sayang Ibrahim tercurah kepada anaknya. Tapi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya, untuk mengorbankan harta yang paling dicintainya.
Ibrahim ayah yang demokratis. Ia bertanya bagaimana pendapat anaknya mengenai perintah penyembelihan dari Allah. Ismail, generasi milenial yang menghormati ayahnya, yakin akan kebenaran perintah itu dan bertawakal untuk menerima konsekuensinya. Ketika Ismail sudah tertelentang dan belati Ibarahim siap menggorok leher anaknya, ternyata belati itu tidak bisa menedas leher Ismail. Tetiba muncul seekor domba sebagai pengganti.
Ibrahim lolos dari vonis mati pembakaran, Ismail lolos dari penyembelihan. Dari Ismail kemudian berkembang biaklah klan Ibrahim menyebar dalam jumlah yang sangat banyak sebanyak ‘’butir pasir di pantai.’’ Ibrahim lalu diperintahkan untuk menyeru manusia supaya berhaji ke lembah gersang itu.
Kini, 2 juta orang setiap tahun berkunjung ke lembah gersang itu untuk melaksanakan ritual menyusuri perjalanan hidup Ibrahim. Mereka menemukan kebenaran iman dan rasionalitas ditemukan dalam jejak perjalanan kehidupan Ibrahim itu.(*)