Malang Posco Media – Tak banyak orang mau menghabiskan waktu mengelola sesuatu yang berisiko tinggi. Namun Muhammad Setiawan Gusmi, warga Blimbing Kota Malang menekuninya. Ia budidaya Ikan Axolotl atau Smiling Salamander.
Wawan, sapaan akrab Muhammad Setiawan Gusmi budidaya ikan langka itu sesuai latar belakangnya. Ia merupakan pecinta hewan. Juga mahasiswa yang menekuni ilmu perikanan.
Untuk diketahui, secara umum masih jarang yang sukses membudidaya ikan subtropis asal Meksiko itu. Butuh ketekunan dan keseriusan serta penuh tantangan.
“Kalau ikan Cupang, ikan Koi, ikan Arwana sudah banyak yang budidaya. Untuk sekelas aku yang mau mulai, sepertinya tidak akan bisa. Akhirnya cari komoditas yang unik dengan potensi scaleable dan belum ada yang kuat pegang itu. Akhirnya nemu Axolotl,” ungkap Wawan ketika ditemui Malang Posco Media, Selasa (12/7) kemarin.
Mahasiswa semester delapan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya ini bersama dua rekannya yang tergabung dalam Axotic Farm lantas membudidayakan Axolotl. Wawan kemudian mempelajari lebih dalam mengenai ikan yang mempunyai kaki empat itu. Akhirnya banyak fakta dan potensi yang menarik dari hasil pendalamannya.
“Pas kita kulik lagi Axolotl itu ternyata tidak hanya ikan hias potensinya. Ternyata di luar negeri lagi ramai jadi objek bahan penelitian. Karena Axolotl ini bisa regenerasi hampir seluruh tubuh, beda dengan cicak yang hanya ekor saja,” katanya.
“Bahkan sampai ke jantung (regenerasi). Peneliti itu juga yakin ketika kunci regenerasi ketemu, mungkin suatu saat Axolotl bisa membantu manusia ke depannya,” sambung pria kelahiran Balikpapan ini.
Selain itu dikatakan Wawan, bagian telur ikan Axolotl bahkan telah terbukti ampuh menjadi obat kanker. Lalu untuk slime atau lendir di kulitnya saat ini tengah diteliti untuk bahan kecantikan. Artinya yang pasti prospek kedepan ikan Axolotl menyimpan potensi yang luar biasa.
Terlepas dari itu, Wawan cukup bangga karena ia bersama dua rekannya berhasil mendomestikasi komoditi yang notabene di iklim subtropis berubah jadi hewan yang mampu hidup di iklim tropis. Tahapannya cukup panjang.
“Axolotl yang kita kembangkan suhu 30 bisa hidup karena sudah adaptasi khususnya di Indonesia. Itu juga alasannya kenapa meski Axolotl sudah masuk mulai 2013 tapi gak ramai itu karena Axolotl gampang mati dan penyakitnya tidak bisa didiagnosa. Kalau yang sudah kita kembangkan bisa didiagnosa dan ditangani,” urainya.
Pada awal membudidayakan, Wawan mendatangkan langsung ikan Axolotl dari Meksiko. Tentu bukan harga yang murah, sebab ternyata dari sekian banyak ikan Axolotl yang ia pesan, sebagian besarnya mati.
“Harga paling mahal Rp 135 ribu per ekor. Waktu itu awalnya beli parsial 50 ekor bertahap, kalau ditotal 500-an ekor. Dari 500 ekor itu paling hanya 100-200 ekor yang hidup,” sebut Wawan.
Bila ditotal dengan aset dan modal yang dikeluarkannya, Wawan memperkirakan kerugiannya bahkan mencapai Rp 100 juta lebih. Belum lagi untuk riset dan pengembangan budidayanya.
“Ya sudah sambil jalanin, ada untungnya ada ruginya. Jadi dibawa seru saja. Makin ke sini juga dapat bantuan hibah dan riset dan lain lain,” tukas pria berusia 22 tahun itu.
Seiring berjalannya waktu, Wawan terus belajar melalui forum internasional dan jurnal-jurnal yang membahas tentang ikan Axolotl. Ikan Axolotl yang berhasil dikembangkannya pun kemudian dijual ke pasar. Paling banyak ia pernah menjual 100 ekor per bulan. Potensi permintaan dari berbagai daerah pun hingga mencapai ribuan ekor, meski ia belum bisa menyanggupinya.
“Aku ikut harga pasar di Indonesia. Awalnya harga Rp 300 ribu sudah terlihat murah. Sekarang bisa jual Axolotl dikisaran Rp 6 juta hingga Rp 7 jutaan. Tapi ya high risk itu,” tegasnya.
Untuk pasar internasional, Wawan sebenarnya kerap kali menerima permintaan yang begitu banyak. Akan tetapi karena ikan Axolotl tergolong hewan langka yang perlu perlakuan khusus, maka harus ada persyaratan ketat seperti sertifikasi internasional.
Oleh karenanya saat ini dirinya sementara fokus pengembangan pasar domestik. Ia tentu senang makin banyak pecinta hewan yang membudidayakan ikan Axolotl. Dari segi perawatan, Wawan membaginya menjadi dua sisi. Yakni ikan Axolotl murni impor dan ikan Axolotl yang telah diadaptasi lokal.
“Yang impor aku angkat tangan karena sering sekali sudden death. Sering ada penyakit aneh dan ketika dishare di forum internasional tidak tertera di penyakit Axolotl,” kata dia.
“Kalau Axolotl dikembangkan lokal, aku bisa bilang mirip perawatan ikan Koki. Sesimple itu. Bahkan susahan ikan Koki. Karena Axolotl ini sebenarnya punya dua alat pernafasan. Kalau air bermasalah, nafasnya tidak pakai insang, ganti pakai paru paru,” sambung Wawan.
Menurutnya perawatan menjadi kunci ketika memutuskan untuk membudidayakan atau merawat makhluk hidup. Sebab hal itulah yang memang paling penting.
“Harus komitmen dengan diri sendiri dulu. Karena ini makhluk hidup, kita harus menjaga makhluk hidup. Kalau tidak siap, hanya beli saja tapi tidak punya duit untuk melihara, mending tidak usah. Lebih baik yakin bisa merawat dulu, baru mutusin untuk pelihara,” ujar Wawan.
Keberhasilan budidaya ikan langka yang ditekuninya pun sekaligus membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin. Ia berpesan kepada seluruh pembudidaya ataupun secara lebih luas seperti pengusaha dengan produk usaha apapun untuk tetap semangat belajar dan menekuninya.
“Aku pun pernah di posisi yang merasa bahwa sepertinya ide ini salah. Mungkin banyak juga yang lain. Saran ku mulai aja dulu karena banyak teori yang tak sesuai di lapangan jadi learning by doing. Improve saja,” pungkas pria yang hobi bermain drum ini. (ian nurmajidi /van)