.
Friday, November 22, 2024

Sudjane Kenken, Penggerak Kampung Film 'Sewek Kawung' Glanggang

Ajak Warga Jadi Aktor, Rutin Produksi Film Pendek

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Mencintai dunia perfilman, belajar dan bekerja keras. Berhasil menggerakkan pemuda dan warga desa kelahirannya Glanggang Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang produksi film. Kini desa itu menjadi Kampung Film ‘Sewek Kawung’.

Camera… Roll.. Action! seru sejumlah pemuda dengan kamera dan naskah adegan di tangan. Di tengah cuaca yang cerah cenderung terik matahari menyilaukan pelupuk mata, para pemuda itu merekam dan memainkan beberapa peran.

Mereka bukan dari rumah produksi film ternama atau sedang berada di studio. Melainkan warga Desa Glanggang Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang.

Itulah sebuah inisiatif gerakan Kampung Film. Diberi nama Sewek Kawung. Mereka tampak selalu berusaha menghayati setiap peran, meski beberapa kali mengulangi karena dianggap kurang menjiwai. Para pemeran mendapatkan pengarahan dari yang berpengalaman. Yakni Sudjane Kenken. Ia sudah banyak mengenyam pendidikan perfilman dan penyutradaraan hingga berpengalaman menggarap film ternama.

Pria 40 tahun ini akrab disapa Kenken. Kini menghabiskan banyak waktu kembali ke desanya Glanggang. Di desanya inilah dia menularkan ilmu dan pengalamannya dalam dunia perfilman untuk warga desa. Sudah tiga tahun lamanya ia bergelut dan menghasilkan karya-karya film pendek bersama warga.

Masih mengenakan blangkon dan batik, Kenken ikut berperan dalam pengambilan adegan film. Sosok tegas namun ramah itu menyapa dan berbagi cerita. Bagaimana Kenken membangun karir dengan kerja keras dan proses panjang, lalu dengan rela menggerakkan warga membuat film. Jelas bukan perjalanan yang mudah.

Awal kecintaan Kenken pada film dimulai dari kesukaannya pada seni peran. Keputusan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta adalah salah satu pilihan hidup terbesarnya.

“Ketertarikan mulai zaman saya kuliah, jadi dari dulu ambil keaktoran dan pemeranan, bidang saya aktor,” katanya. “Setelah tahu ada fakultas media rekam selalu ujiannya bikin film, kalau butuh aktor pasti ke teman-teman teater sering kerja sama dengan saya,” cerita Kenken.

Lompatan terjadi saat dia  memutuskan pindah jurusan dan memilih penyutradaraan. Tepatnya saat semester tujuh. Nasib baik baginya ketika mendapat bantuan salah seorang dosen. Hingga akhirnya dia belajar banyak tentang penyutradaraan film.

Kenken muda sadar, dirinya bukan dari keluarga berada. Keputusannya mengambil kuliah seni banyak mendapat penolakan dari teman, saudara dan kerabat. Alasannya, mereka tak yakin Kenken bisa hidup dari dunia film. Apalagi sukses menjadi sutradara. Tapi itu bukan halangan bagi Kenken.

Kendati ia tetap ragu, hingga tak mau membicarakan pendidikannya saat pulang menemui teman-temannya.

“Saya akhirnya berpikir bagaimana caranya supaya bisa survive. Di Jogja dengan keadaan saya yang tak bisa bergantung ke orang tua. Saya tidak ingin meminta sepeserpun. Karena basic saya pantomim, akhirnya saya mengamen demi hidup,” kenangnya.

Tahun 2001, mengamen adalah jalan hidup yang diambil. Keahliannya berpantomim akhirnya menyelamatkan hidupnya. Pundi-pundi rupiah dia kumpulkan. Kegiatan itu dijalani mulai malam hari sekitar pukul 19.00. Dari kontrakan sederhana yang ditempatinya bersama seorang kawan kampus asal Kediri, Kenken berjalan dan mengamen di sejumlah lokasi di Jogja.

“Kira-kira kalau jarak rutenya kurang lebih 12 Kilometer. Kalau mengamen sasarannya angkringan yang ramai, sampai ke Tugu Jogja pusat keramaian dan Malioboro,” katanya.

Di tengah mengamen untuk hidup dan perjuangan pendidikannya itu, disisipkan edukasi mengenai kesenian terutama pantomim dan peran. Ia paham meski kota seni dan pendidikan, banyak pula yang belum sadar dan mengenal beragam kesenian.

“Konsep ngamen saya tidak ‘nadong’ atau meminta langsung. Saya sediakan tempat kotak khusus, saya taruh di depan sampai selesai. Prinsipnya silakan kalau ngasih. Meski saya kadang tidak senang kadang dibilang badut,” ungkapnya sembari bercanda.

Ia masih ingat perjuangannya menjadi seperti sekarang.  Dari sebuah rumah kontrakan kecil seharga Rp 500 ribu setahun, kemudian meniti jalan, belajar dan belajar. Ia pun lulus dengan nilai cukup baik meski harus tersendat cukup lama untuk bisa mengenakan toga di kepalanya. Hal itu amat disyukurimya.

“Sehari mengamen kadang dapat Rp 60 ribu, atau saat agenda rutin setiap malam minggu perform di Malioboro, kadang semalam bisa Rp 120 ribu. Untuk memodali semangat saya mencintai perfilman,” tutur pria kelahiran 1982 itu.

Memulai karir setelah studinya rampung, Kenken magang di beberapa rumah produksi film. Production House (PH) asal Jakarta menjadi debut pertamanya di tahun 2009. Tepatnya di Film Kramat.

Lambat laun, dia akhirnya semakin menunjukkan kemampuannya. Mendapat ajakan menimba ilmu bersama sutradara Monty Tiwa.

Kenken memilih tidak melibatkan diri dalam label sembari agar bisa belajar ke setiap sutradara yang ditemuinya. Garin Nugroho salah satu kiblatnya yang akhirnya mengajak dia menjadi asisten di film Kucumbu Tubuh Indahku.

Sampai akhirnya dia memutuskan kembali ke kampung halaman. Kenken melihat banyak potensi seperti lokasi pengambilan gambar yang elok di kampungnya. Kenken kemudian berpikir untuk mengajak warga. Sulitnya merayu warga menjadi pemeran pun dia lalui. Singkat cerita di tahun 2019 lalu, akhirnya membentuk Sewek Kawung bersama sejumlah rekan sebaya di kampungnya, Glanggang.

Para pemuda desa diajaknya menjadi aktor dan aktris dalam film-film pendek yang dibuat. Hasilnya lalu dipertontonkan melalui layar tancap di kampung. Tak di sangka, antusiasme warga menyambutnya. Berhasil menggerakkan pemuda dan warga desa membuatnya semakin semangat. Akhirnya, film-film yang dihasilkan diunggah di kanal YouTube Sewek Kawung. Tujuannya agar bisa dinikmati setiap saat dan dari kalangan mana saja.

“Kalau bicara ikon desa sudah biasa kalau desa wisata. Tetapi kita buat kampung film yang benar-benar melibatkan warga terutama pemuda. Temanya banyak soal keseharian warga dan budaya,” terangnya.

Mayoritas inspirasimya dia dapat dengan observasi warga sekitar. Mencari fenomena unik dan menarik untuk diilustrasikan sehingga dekat dengan masyarakat. Film-filmnya juga menghadirkan adegan dengan bahasa Jawa Malangan yang khas warga setempat. Meski begitu, tak mengurangi kualitas dan malah menambah karakter tersendiri.

“Prosesnya memang mulai dari reading dan pendalaman karakter secara serius agar bisa berperan total,” ujar Kenken. Alhasil tema-tema film pendek unik banyak dibuat. Ia pun tak menyangka, adegan yang diperankan warga desa juga bisa menghasilkan film yang berkualitas. Mereka juga sempat mengikuti beberapa festival, meski baru masuk nominasi. Ini membuktikan karya-karya Sewek Kawung bisa berkembang.

“Banyak orang bilang tak susah ngajari orang kampung? Akhirnya saya berpikir ikhlas, seiring waktu saya paham dan memahami karakter satu demi satu. Saya yang orang asli sini ingin kembali untuk desa,” terangnya.

Baginya, dukungan penuh pemerintah desa juga menjadikan ia leluasa. Kampung film yang digerakkan mampu menjadi inisiatif yang serupa dengan yang ada di Banjarnegara Jawa Tengah. Kata Kenken, baru dua Kampung Film di Indonesia. Yakni di Banjarnegara dan Glanggang Kecamatan Pakisaji Malang.

Lama kelamaan banyak yang tertarik belajar di Gelanggang. Mulai dari mahasiswa kampus-kampus ternama di Malang, hingga komunitas film yang ikut menimba ilmu. Kenken berharap kedepannya kampung filmSewek Kawung

Glanggang tak hanya seperti sekarang. Tapi menjadi semacam studio edukasi film yang mampu memberikan fasilitas perfilman. Sehingga dunia seni peran semakin hidup di Malang.

Kalau bicara impian, kata Kenken, kampung yang sudah mendapatkan edukasi ini bisa bermanfaat seterusnya. Menambah perekonomian dengan menggaji mereka bermain film. Mengarahkan dan mengajak magang ke Jakarta jika serius menjadi aktor. Itulah yang diidamkan Kenken. Penayangan film juga selama ini menghasilkan perputaran ekonomi bagi wara yang berjualan dan bertransaksi.

“Perfilman di Malang agar tetap hidup. Saya punya mimpi Malang menjadi bagian industri film. Menghadirkan PH besar kesini untuk shooting. Sehingga menjadi penyemangat komunitas film untuk mereka bisa berkarya,” tukasnya. (m.prasetyo lanang/van) 

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img