Buzzer Rp alias buzzer rupiah kembali beraksi. Buzzer Rp muncul di saat situasi sedang tak baik-baik saja. Ketika suasana tahun politik jelang Pilpres 2024 mulai terasa, saat terjadi kenaikan BBM, dan munculnya sejumlah kasus besar, para buzzer Rp seperti menemukan momentum yang pas untuk beraksi. Sejumlah buzzer atau pendengung melancarkan aksinya dengan motif ideologis dan ekonomis.
Buzzer Rp kerap digunakan untuk pemasaran politik. Para pendengung ini bergerak bisa atas inisiasinya sendiri atau juga ada yang menggerakkan dan membayarnya. Ada yang menjalankan aksinya secara langsung, namun tak jarang di antara mereka bergerak tanpa identitas yang jelas. Banyak yang menyamarkan identitasnya atau anonim. Para buzzer Rp ini biasanya menggunakan beragam platform media sosial (medsos) dalam beraksi.
Kini buzzer menjadi suatu pekerjaan yang menjanjikan. Sistem kerjanya biasanya dengan melakukan penggiringan opini tertentu sesuai permintaan kliennya. Aktivitas buzzer Rp mulai marak saat banyak orang menggunakan medsos. Buzzer bekerja profesional dan terorganisir. Mereka bekerja dengan merancang isu tertentu selanjutnya didengungkan ke publik lewat medsos. Buzzer biasanya juga mengatur proses penyebaran pesan lewat tools atau bot yang mereka punyai.
Dari Promosi Merek ke Politik
Awalnya buzzer Rp beraksi untuk mendukung promosi merek dan produk tertentu. Namun pada perkembangannya, buzzer Rp juga merambah ke dunia politik. Buzzer politik mulai ramai sejak 2009. Buzzer Rp biasanya dibayar dengan nilai yang fantastis. Untuk jasa buzzer, misalnya untuk promosi produk smartphone, mereka bisa dibayar puluhan juta rupiah untuk sekali kicauan di Twitter.
Pemakaian jasa buzzer oleh kandidat partai politik tak pernah absen pada setiap perhelatan pemilihan umum. Pengguna jasa buzzer Rp ada perusahaan, partai politik, dan tokoh politik yang membutuhkan jasa pendengung untuk memoles citra produk atau kandidat politik.
Mereka memiliki alokasi dana untuk membayar jasa para pendengung. Menurut sejumlah sumber, nilai satu proyek dengungan untuk tujuan kampanye politik di medsos dapat mencapai Rp 3 miliar untuk kontrak selama satu bulan.
Dalam bekerja, buzzer Rp biasanya menggunakan strategi tertentu untuk mengamplifikasi sebuah pesan. Salah satunya sang buzzer biasa menggunakan akun bot secara masif dengan memanfaatkan otomasi mesin dan algoritma medsos sehingga dapat menghasilkan kicauan dengan frekuensi tinggi dan mencapai target trending topic dan viral menjadi perbincangan banyak orang.
Media yang digunakan para buzzer Rp selain medsos juga biasa menyebarkan pesan-pesannya ke jaringan yang mereka miliki melalui aplikasi pesan seperti WhatsApp dan Telegram. Biasanya seorang buzzer tergabung dalam banyak grup aplikasi pesan yang dalam setiap grup terdapat lebih dari ratusan anggota. Didukung kemampuan produksi konten, jaringan luas yang dimiliki para buzzer ini kemudian membantu memviralkan sebuah pesan dengan cepat.
Merujuk pada sejumlah kasus, berbeda dengan promosi produk, cara kerja buzzer politik dalam mempromosikan kandidatnya seringkali terjadi bias, disinformasi, dan kampanye hitam. Strategi kotor sering dipakai untuk menjatuhkan lawan. Kenyataan inilah yang menjadi buzzer yang pada awalnya dipandang lumrah sebagai jasa promosi produk dan politik perlahan mulai dipandang negatif.
Buzzer Bayaran
Universitas Oxford pernah menerbitkan laporan penelitian berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” yang digarap oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber alias buzzer Rp untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019.
Sejumlah pihak di Indonesia yang menggunakan buzzer bayaran adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Kebanyakan buzzer beraksi untuk tujuan menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi. Buzzer di Indonesia menggunakan disinformasi dan manipulasi media untuk menyesatkan pihak yang menjadi target.
Buzzer di Indonesia kebanyakan buzzer bayaran. Menurut temuan Oxford, besaran uang yang diterima buzzer di Indonesia pada kisaran Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. Buzzer di Indonesia memanfaatkan beragam medsos dalam melancarkan aksinya. Para buzzer biasanya menggunakan Twitter, WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Modus yang sering mereka lakukan dengan menciptakan disinformasi dan memanipulasi informasi.
Para buzzer bayaran biasanya bermunculan ketika musim politik lagi ramai. Para buzzer melancarkan serangan dalam bentuk meme, gambar editan, video, portal berita palsu, dan beragam narasi pesan di linimasa. Pesan yang biasanya digaungkan para buzzer biasanya lebih bersifat agitatif.
Dalam dunia politik, penggunaan buzzer juga cukup dominan. Kandidat politik dan sejumlah partai menggunakan buzzer untuk mempengaruhi masyarakat guna mendulang dukungan.
Para buzzer banyak menjalankan aksinya di linimasa. Untuk itu salah satu cara jitu untuk melawan buzzer adalah lewat jalur yang sama dengan yang digunakan para buzzer. Cara yang cukup ampuh melawan buzzer adalah melalui para pengguna internet (netizen).
Sejumlah hoaks yang diciptakan dan diviralkan buzzer tak semuanya berhasil. Tak jarang netizen justru melawan beragam narasi kebohongan yang dibuat para buzzer bayaran itu.
Tak semua buzzer digerakkan oleh kekuatan tertentu dan menjadi sebuah orkestrasi buzzer yang masif. Masih banyak buzzer yang netral, dengan identitas jelas (tak anonim), transparan, dan menyampaikan narasi yang tak provokatif. Kekuatan buzzer yang netral dan sinergi dengan netizen yang punya kepekaan dan kepedulian melawan para buzzer bayaran akan mampu membatasi sepak terjang para buzzer Rp yang tak bertanggungjawab itu.
Fenomena maraknya buzzer tak hanya terjadi di Indonesia. Di hampir seluruh negara di dunia yang menggunakan medsos juga berhadapan dengan persoalan yang dipicu oleh ulah para buzzer. Medsos memang membawa keterbukaan orang dalam berpendapat, namun melalui medsos pula keterbukaan itu banyak disalahgunakan. Untuk itu kemampuan literasi media dan literasi politik masyarakat harus terus ditingkatkan.(*)