MALANG POSCO MEDIA – Percaya adanya takdir. Bahwa diantara korban tragedi Kanjuruhan 1 Oktober lalu, ada yang selamat dari maut. Bahkan ada yang mendadak tidak jadi nonton laga Arema FC vs Persebaya itu. Termasuk ada yang akhirnya gagal duduk di tribun ekonomi. Berikut lanjutan catatan wartawan Malang Posco Media, Buari yang awalnya berniat liputan dari tribun ekonomi.
Entah sebuah kebetulan atau bukan, pada hari derbi Jatim itu, Malang Posco Media menurunkan enam personel untuk mengawal Singo Edan, seperti catatan edisi Senin (10/10). Tentu itu sangat bermanfaat untuk liputan yang butuh energi besar dalam tragedi Kanjuruhan. Liputannya bisa menyeluruh, baik berita maupun fotonya lengkap, termasuk kondisi di rumah sakit.
Kebetulan yang lain, perihal rencana saya untuk liputan laga Arema FC dari tribun ekonomi. Ya, pada laga yang menjadi atensi khusus ini, saya ingin melihat dari sudut yang berbeda dari biasanya. Jika selama ini saya duduk manis di tribun media. Saya berencana untuk menyatu dengan Aremania. Awalnya saya ingin berada di tribun timur, bawah papan skor.
Selama ini saya selalu menghadap tribun timur dengan penampilannya yang atraktif. Ada Yuli Sumpil, sang dirijen yang memimpin rekan-rekannya. Bayangan saya, di tribun timur bisa merasakan atmosfir suporter dalam big match yang ditunggu-tunggu ini. Usai pertandingan pun bisa langsung wawancara Yuli Sumpil atau Aremania di tribun tersebut.
Saya berangkat ke Stadion Kanjuruhan dari kantor Malang Posco Media dengan mengatongi satu tiket ekonomi. Saya berniat ada di tribun ekonomi karena mempertimbangkan sudah ada Ira Ravika. Kebetulan dia berangkat sendiri, dengan membawa tiket VIP. Artinya urusan di tribun VIP, saya pikir bisa dicover wartawan yang biasa ngepos di Kabupaten Malang ini.
Selain itu, juga ada Stenly Rehardson, wartawan yang setiap hari liputan Arema FC. Dia turun di lapangan bersama Firman. Saya memang ingin sekali-kali menjadi ‘suporter’ di tribun ekonomi. Laga derbi ini menurut saya sangat pas, lantaran animo suporter yang sangat tinggi. Terbukti, sebelum tragedi itu terjadi, aksi Aremania cukup atraktif. Bahkan di tribun selatan ada koreo yang menarik.
Begitu tiba, ternyata saya tidak bisa masuk parkir depan Stadion Kanjuruhan. Petugas dari kepolisian, meminta saya untuk terus dan masuk lewat gerbang timur. Kondisi baru saja hujan, dan masih basah. Sedikit mengurangi niat saya untuk masuk di tribun ekonomi. Maklum, kalau sampai hujan lagi, pasti basah kuyup. Bersama tas rangsel yang berisi laptop.
Saya masuk dari gerbang timur, lurus hingga ke sisi timur Stadion Kanjuruhan. Saya pikir, sudah dekat dengan tribun timur bawah papan skor. Ternyata mobil saya belum mendapatkan parkir, hingga terus ke belakang. Akhirnya berada di ujung selatan, sisi timur. Kalau mau masuk ke tribun ekonomi, paling dekat dengan pintu 10, 11, 12 dan 13. Bisa gabung dengan Aremania Curvasud.
Saya berjalan diantara pintu-pintu di sisi selatan Stadion Kanjuruhan ini, mendadak ingat pesan dari Ira Ravika. “Pak Bu, nanti saya masuknya bareng Pak Bu, saya mau duduk di tribun media ya,”. Itu yang terlintas, hingga saya bergegas masuk dari pintu VIP sisi selatan. Pintu yang biasanya digunakan wartawan untuk masuk ke Stadion Kanjuruhan.
Ira memang belum pernah datang melihat atau liputan laga Arema FC di Stadion Kanjuruhan, saya harus membantunya masuk. Apalagi saya yang menyiapkan tiketnya. Khawatir tidak kebagian tempat. Saya juga langsung membuka laptop di tribun media, misal sewaktu-waktu diminta menjemputnya. Maklum, kalau tidak dikavling lebih dulu, bisa kehabisan tempat di tribun media.
Saya tunggu, ternyata Ira sudah masuk dan mengabari posisinya di tribun VIP, tepat di bawah tamu undangan. Saya pun tak jadi berada di tribun ekonomi. Gagal gabung dengan Aremania Curvasud yang sebenarnya tinggal masuk diantara pintu 10, 11 atau 12. Namun waktu melewati pintu-pintu itu, termasuk pintu 13, saya merasa ada yang membuat tidak nyaman.
Entahlah, tak bisa saya gambarkan. Selain teringat untuk membantu Ira, saya seperti malas untuk ikut antrian Aremania masuk ke dalam stadion dari sisi selatan itu. Ternyata korban terbanyak dari tragedi Kanjuruhan adalah penonton di tribun selatan. Rasanya bagian selatan, memang ‘sisi gelap’ Kanjuruhan dibandingkan bagian yang lain. (buari/bersambung)