Pondasi bagi kesehatan mental yang baik terletak pada perkembangan emosi yang terbentuk sejak masa bayi. Dampaknya tergantung pada kualitas serta frekuensi respons yang diberikan oleh orang tua, positif atau negatif. Respon orang tua terhadap emosi atau perilaku ekspresif anak biasanya dapat membentuk ikatan keterikatan di antara keduanya.
Ikatan ini biasanya akan terbentuk pada bulan-bulan dan tahun-tahun awal kehidupan anak. Ikatan antara anak dan orang tua inilah yang akan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan sosial anak saat dewasa nanti.
Ketika seorang anak mengalami hubungan yang hangat, intim dan berkelanjutan dengan orang tuanya, maka anak akan berkembang dengan positif. Sebaliknya, orang tua yang tidak responsif, atau orang tua yang merespons kebutuhan anak secara tidak tepat, akan meningkatkan kemungkinan anak menjadi cemas dan tidak aman dalam keterikatannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Research Council pada tahun 1993 dengan judul “Understanding Child Abuse and Neglect”menunjukkan apabila orang tua secara sengaja atau tidak sengaja memberikan respons emosional yang tidak tepat, maka dapat dikatakan anak mengalami perilaku kekerasan.
WHO mendefinisikan kekerasan pada anak atau child abusesebagai suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan yang salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosi, seksual dan eksploitasi untuk kepentingan yang dapat membayakan kesehatan dan perkembangan anak.(https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/child-maltreatment)
Data kekerasan pada anak setiap tahunnya mengalami peningkatan, bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyoroti kasus kekerasan terhadap anak yang masih sering terjadi. Data website Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan pada anak sepanjang tahun 2021.
Profesional mengidentifikasikan tiga bentuk kekerasan pada anak: fisik, seksual dan emosional. Kekerasan fisik terjadi apabila anak-anak disiksa secara fisik dan bisa dilihat dari sekujur tubuhnya ada tanda tanda bekas kekerasan. Menurut Lau, dkk dalam penelitiannya tahun 2005 yang berjudul “Does Pregnancy Provide Immunity from Intimate Partner Abuse Among Hong Kong Chinese women?” melaporkan bahwa anak-anak yang dilecehkan secara fisik menunjukkan lebih banyak gejala agresi dan tingkat gangguan perilaku yang lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak dilecehkan.
Berbeda dengan kekerasan fisik, kekerasan emosional dianggap sebagai isu inti dalam semua bentuk kekerasan dan penelantaran pada anak yang sulit untuk dikenali. Bentuk kekerasan emosional misalnya mengancam untuk menelantarkan anak, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Garbarino & Vondra pada tahun 1987 yang berjudul “Psychological Maltreatment: Issues and Perspective” menunjukkan bahwa kekerasan emosional tampaknya tidak hanya menjadi bentuk penganiayaan anak yang paling umum, tetapi mampu menghasilkan konsekuensi yang paling merusak.
Efek dari kekerasan emosional dapat dimanifestasikan dalam rasa tidak berdaya dan tidak berharga yang sering dialami oleh anak-anak yang mengalami kekerasan secara emosi sehingga anak merasa tidak percaya diri.
Sedangkan kekerasan seksual terhadap anak adalah apabila anak mengalami penyiksaan atau diberi perlakuan secara seksual (melalui sentuhan, kata, gambar visual, exhibitionism) serta melibatkan anak dalam aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks untuk memuaskan nafsunya kepada anak.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak ada banyak macamnya. Seperti diperkosa, sodomi, diraba-raba alat kelamin dan bagian sensitif lainnya, dijual pada mucikari, dipaksa jadi PSK. Di antara dampak psikologis kekerasan seksual pada anak adalah penarikan diri, ketakutan, agresif, emosi yang tidak stabil, depresi, dan kecemasan.
Dampak lainnya, anak akan mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan teman sebaya. Apabila trauma yang didapatkan begitu mendalam, tidak menutup kemungkinan anak akan menyakiti diri sendiri dan mencoba bunuh diri.
Berdasar penelitian yang dilakukan Kaufman & Zigler pada 1987 yang berjudul “Do Abused Children Become Abusive Parents?” meyakinkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan cenderung menjadi orang tua yang kasar diterima secara luas oleh para profesional dan orang awam.
Pola asuh orang tua abusive tidak tiba-tiba muncul begitu saja, pengalaman orang tua tentang masa kecil mereka dan gaya pengasuhan yang diterima cenderung menjadi penentu utama gaya pengasuhan yang akan mereka terapkan kepada anak-anak mereka.
Berdasarkan penelitian Fitzageral & Esplin pada tahun 2022 yang berjudul “Marital Quality as a Mechanism Linking Childhood Abuse to Mental Health” menunjukkan bahwa pengalaman perlakuan buruk yang diterima oleh orang tua saat mereka masih kanak-kanak cenderung memiliki efek merugikan pada kemampuan pengasuhan berikutnya.
Anak-anak yang mendapatkan pola asuh abusive memiliki risiko lebih besar mengalami masalah kognitif, emosional, sosial, dan perilaku, yang dapat memburuk saat anak tumbuh dari masa bayi hingga dewasa. Apalagi bagi seorang anak yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan dengan orang tuanya yang abusive, maka akan lebih mudah untuknya merasa bersalah. Seperti merasa bersalah karena telah melakukan sesuatu yang buruk sehingga pantas mendapatkan kemarahan orang tuanya.
Beberapa intervensi bisa diterapkan untuk membantu anak-anak yang mengalami kekerasan dari orang tua mereka. Terdapat intervensi yang berfokus pada anak-anak sementara beberapa program lain berfokus pada orang tua yang melakukan kekerasan, yaitu melalui intervensi perilaku kognitif.
Intervensi yang digunakan untuk mengurangi kekerasan pada anak dapat dicoba dengan meningkatkan pengetahuan orang tua tentang manajemen kemarahan, keterampilan mengasuh anak, mengubah keyakinan, dan mengurangi stres. Metode-metode ini termasuk mengubah perilaku kognitif yang berfokus pada perilaku kekerasan pada anak, memodifikasi interaksi anak-orang tua, menggabungkan perawatan perilaku kognitif untuk orang tua dan anak, dan metode pengasuhan positif.
Perkembangan zaman membuat cara berpikir milenials dengan orang tua mereka mengalami perbedaan yang signifikan. Sebagian besar milenials percaya bahwa mendidik anak dengan cara membebaskannya untuk berekspresi adalah langkah yang tepat.
Milenials menganggap orang tua dengan pola asuh abusive sebagai orang tua yang toxic. Hal ini menyebabkan anak memilih untuk menjauh dari rumah atau menjadi depresi. Keluarga seharusnya menjadi tempat untuk pulang, bukan menjadi tempat untuk menyimpan ketakutan.
Sudah saatnya para orang tua berbenah diri agar perilaku abusive pada anak tidak menjadi masalah yang berkepanjangan. Luka fisik bisa diobati, namun luka batin akan terbawa sampai nanti. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.(*)