SELASA, 4 Oktober siang, saya menyempatkan datang ke Stadion Kanjuruhan. Masuk ke dalamnya. Berbarengan dengan tim Kompolnas, yang kebetulan juga meninjau lokasi tragedi 1 Oktober itu. Berdesir ketika saya berdiri di tribun VIP. Pilu memandang lapangan hijau dan tribun ekonomi. Membayangkan bagaimana peristiwa yang menelan nyawa 131 Aremania terjadi.
Berlarian ke sana sini, mencari jalan keluar. Menghindari gas air mata yang bertubi – tubi. Jeritan dari berbagai sisi. Teriakan minta tolong. Andai saat kejadian itu saya juga ada di sana, apa yang saya rasakan pasti sama dengan perasaan para korban sekarang. Trauma berat, kaki dan tangan terluka, mata merah serta tak tahu kapan akan kembali normal.
Saya bisa merasakan, bagaimana informasi korban selamat meski terluka, tersebar di grup WhatsApp ataupun media sosial. Entah sampai kapan luka tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia itu akan terobati. Tak mudah menjawabnya. Tuntutan ‘Usut Tuntas’ tak berhenti. Dasarnya, geram dengan gas air mata yang menjadi penyebabnya. Jengkel dengan anggota Polri yang melontarkannya.
Marah besar karena tidak ada minta maaf dari aparat untuk para korban. Polri memang sudah menetapkan enam tersangka yang harus bertanggungjawab. Tapi ‘Usut Tuntas’ tidak lantas berhenti begitu saja. Spanduk makin deras beredar dan terpasang dimana – mana. Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat dicopot. Kapolda Jatim, Irjen Pol Nico Afinta dimutasi ke Mabes Polri.
Lalu siapa lagi yang akan di-tersangkakan. Di tengah menunggu siapa lagi yang harus bertanggungjawab, muncul nama Irjen Pol Teddy Minahasa Putra. Kapolri menunjuknya sebagai Kapolda Jatim, mengganti Nico Afinta. Sosoknya sudah tidak asing bagi Arema dan Aremanita. Semasa pangkat AKBP, ia pernah menjadi Pembina Arema. Penunjukan ini, bisa menjadi angin segar.
Melihat track record saat menjadi Kapolres Malang Kota, ia memiliki pola komunikasi yang baik dengan siapapun. Anggotanya, TNI, hingga Aremania sekalipun. Kemunculannya, akan membawa suasana baru tak hanya masalah keamanan di Jatim, tapi juga pengusutan tragedi Kanjuruhan. Meski, itu bukan tugas ringan. Saya cukup kenal dengan gaya kepemimpinannya.
Bukan memuji, tapi pak TM – begitu dia biasa disebut – tidak akan pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Dengan caranya sendiri. Tidak usah saya sampaikan, berapa perkara pidana besar di Kota Malang, terselesaikan tanpa menambah masalah baru. Namun Kanjuruhan, bukan perkara yang kecil. Tapi sebuah tuntutan untuk mencari dan menghukum siapa yang bersalah.
Siapapun yang melihat, apapun yang dilakukan aparat kepolisian sebagai bentuk rasa bersalah di tragedi Kanjuruhan, rasanya tidak mempan untuk menghapus luka Aremania. Kini, pak TM, ‘diminta’ untuk mengubah citra Polri yang makin terpuruk. Melakukan pengusutan agar perkara ini tidak berkepanjangan. Segera tuntas, seperti apa yang diminta Aremania. (*)