Akhir-akhir ini, di negara-negara kawasan Eropa, Amerika, dan belahan dunia lainnya dilanda bencana alam, khususnya bencana berupa gelombang panas ekstrim. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebagaimana dilansir dari berita Media Indonesia, menyatakan bahwa gelombang panas di Eropa telah menyebabkan lebih dari 1.700 kasus kematian.
Jumlah kasus ini baru di wilayah Spanyol dan Portugal saja. Di Inggris amukan gelombang panas terjadi di kota London dimana suhu naik menjadi 40,3 derajat Celsius dan menyebabkan tiga titik panas di hutan kota. Kondisi tersebut juga terjadi di Amerika Serikat (AS), yang diselimuti suhu panas dan kebakaran hutan.
Salah satunya, menyasar wilayah California, tepatnya di Taman Nasional Yosemite. Bahkan Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa perubahan iklim sangat berbahaya dan sudah terbukti. Komunitas internasional sepakat bahwa perubahan iklim ekstrim ini merupakan ancaman bagi kehidupan manusia dan alam.
Terjadinya perubahan iklim ekstrim diakibatkan oleh proses pemanasan global sebagai akibat industrialisasi di negara-negara maju khususnya di Eropa dan Amerika. Pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari efek rumah kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi suhu global dan mempengaruhi kondisi siklus metereologi dan geologi, yang mengakibatkan bencana alam.
Aktivitas manusia merupakan penyebab terjadinya perubahan iklim, terutama dalam 50 tahun terakhir. Pengaruh manusia tampak dari meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida dan sejumlah gas industri) dari aktivitas manusia, yang tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu.
Konsentrasi gas CO2 sekarang lebih tinggi 40 persen jika dibandingkan pada era pra-industri. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan. Bukti lebih lanjut tentang pengaruh aktivitas manusia juga dideteksi dari terjadinya pemanasan samudera, perubahan curah hujan, pencairan gletser dan tutupan es di kutub utara, serta terjadinya sejumlah iklim ekstrem di bumi.
Di Indonesia sendiri, cuasa ekstrim lebih banyak terjadi yang menggangu kegiatan ekonomi masyarakat. Para petani dan nelayan tidak dapat lagi menentukan masa tanam, masa panen dan masa melaut yang dapat menghasilkan tangkapan optimal.
Banjir dan kekeringan sudah tejadi dimana-mana serta kejadian banjir rob juga telah lebih sering dialami masyarakat kota yang berlokasi di pinggir laut. Gelombang panas (El Nino) yang menyebabkan kebakaran gambut dan gelombang basah (La Nina) yang menyebabkan banjir sudah mengalami perubahan masa terjadinya.
Masyarakat Risiko
Terjadinya bencana alam yang mengancam dan merugikan bagi kehidupan manusia sebenarnya disebabkan oleh tingkah laku manusia itu sendiri yang tidak peduli dengan alam. Modernisasi yang ditandai dengan proses industrialisasi menunjukkan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Terjadinya bencana alam merupakan sebuah risiko dari masyarakat risiko.
Dalam perspektif Sosiologi, istilah masyarakat risiko (risk society) mengacu kepada sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya berasal dari proses industrialisasi. Modernitas berkaitan dengan masyarakat risiko. Dalam masyarakat risiko, keadaan menjadi tidak pasti, karena berbagai kemungkinan buruk dapat terjadi.
Masyarakat Risiko merupakan salah satu konsep penting yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck, dimana ”risiko” (risk) diartikan sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual.” Risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Dengan demikian, risiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan mereka hadapi.
Dalam konteks modernisasi dan industrialisasi, masyarakat risiko setidaknya akan menghasilkan tiga macam risiko, yakni: Pertama, Risiko fisik ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya. Contohnya gempa, tsunami, letusan gunung, atau risiko yang diproduksi oleh manusia (man made risks).
Aneka risiko biologis yang ‘diproduksi’ melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas.
Kedua, Risiko sosial (social risk), yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri, risiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan), yang sekaligus menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketidakpedulian, ketakacuhan, indisipliner, fatalitas, egoisme dan immoralitas.
Ketiga, Risiko mental (psyche risk), hancurnya bangunan psikis, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas, penyimpangan (deviance), stress social, atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal.
Perlu Kesadaran Bersama
Bencana ekologis menjadi ancaman bagi setiap negara sehingga perlu adanya tindakan preventif dalam mereduksi risiko bencana yang akan ditimbulkan. Perubahan iklim dalam waktu yang sangat lama tidak terbatas pada aspek-aspek iklim dan lingkungan, pengurangan emisi gas CO2 di udara menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pengurangan dampak pemanasan global di dunia. Pencegahan dan pengelolaan lingkungan harus dimulai secara dini untuk menilai risiko dan kondisi alam yang tidak stabil terhadap ancaman bencana ekologis.
Disadari karena bencana alam terjadi sebagai akibat perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Maka diperlukan kesadaran bersama seluruh umat manusia di dunia untuk tidak menjadi “masyarakat risiko”, stop eksploitasi sumberdaya alam yang berlebaihan.
Penanganan perubahan membutuhkan tindakan dan kerjasama internasional, karena merupakan masalah bersama dan berskala global. Oleh karena itu dalam konteks global, kesadaran negara-negara maju untuk mengendalikan proses industrailisasi yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam dan perubahan iklim global harus dilakukan.(*)