Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Di dalam fiqih pemimpin terkadang disebut Imam, Hakim, Mas’ul dan Sultan. Pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar di hadapan Allah SWT. Rakyat memang diwajibkan taat dan menghormati pemimpinnya karena itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab mereka. Berbanding lurus pula pemimpin, mereka mempunyai kewajiban atau tanggung jawab memberikan teladan yang baik serta melaksanakan amanah dengan sebaik mungkin.
Pertanggungan jawab pada diri sendiri, rakyat maupun pemimpin kelak akan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT., sebagaimana QS., Annisa’ 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…”.
Rasulullah SAW juga bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya termasuk di antara bentuk implementasi pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang tua yang muslim, penghafal Alqur’an, yang tidak berlebihan padanya dan tidak berpaling darinya, dan memuliakan penguasa yang adil.” (H.R. Abu Dawud).
Hukum nasbul imamahatau mengangkat/ membaiat pemimpin adalah wajib di saat imkan atau memungkinkan untuk mengangkat pemimpin. Menurut Al Mawardi (2006) terdapat redaksi imkan karena pada saat Nabi SAW wafat lewat masa tertentu kaum muslimin tidak memiliki pemimpin karena semua sedang berkabung dan sibuk mengurusi jenazah Nabi SAW hingga akhirnya Abu Bakar dibaiat menjadi pemimpin atau khalifah.
Ahlul Halli wa al Aqdi
Dalam mengangkat pemimpin dalam fiqh menurut Al Juwaini (1981) dapat dilakukan dengan Syuroo oleh ahlul halli wal aqdi yang memiliki kriteria matang dalam segala hal dari usia, ilmu, ketaqwaan, nasab dan akhlak, yang selanjutnya diikuti dengan baiatoleh seluruh umat Islam.
Mereka yang telah terpilih wajib ditaati dan dihormati oleh seluruh rakyat, karena keberlangsungan agama hanya dapat dihasilkan dengan ibadah. Sementara ibadah tidak dapat dilakukan tanpa pemimpin yang dipatuhi dan dimulyakan. Bahkan jika yang tersisa adalah pemimpin dzalim sekalipun, lebih baik terdapat pemimpin dzalim daripada berlangsung beberapa masa satu negeri tidak diisi oleh pemimpin sama sekali karena rentan terjadi perebutan kekuasaan serta keributan di mana mana.
Abdul Wahhab As Sya’rani (2001) dalam al minan al Kubra memberikan teladan yang nyata dalam rangka menghormati dan mengapresiasi kebijakan pemerintah, meskipun secara sekilas terkesan tidak ideal, sama halnya saat seorang Sultan mengangkat Qadhi yang fasik menurutnya keputusan ini tetaplah sah.
Meski demikian menghormati pemerintah atau penguasa bukan berarti bersikap pasif dan menerima segala keputusannya. Kata Al Munawi (1972) harus diiringi upaya secara berkelanjutan memperjuangkan terbangunnya perundang-undangan sesuai nilai-nilai Islam secara konstitusional.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara dalam menyikapi pemimpin memerlukan sikap yang arif dan bijaksana. Di saat situasi dan kondisi yang tidak kondusif atau berkonflik, seorang cendikiawan muslim harus dapat memposisikan diri sefleksibel mungkin baik menghadapi pemimpin maupun rakyat. Misalnya di saat situasi dan kondisi sedang konflik perlu kiranya mengutip pernyataan Hasan Al Bashri yang artinya “Pemimpinmu adalah cerminan akhlakmu, sebagaimana kalian berakhlak itulah pemimpinmu.”
Peran Pemimpin dalam Masyarakat
Hasan al Basri bukan tanpa sebab membuat pernyataan yang demikian ini namun juga beralasan, saat banyak orang mencaci Hajjaj Bin Yusuf Ats Tsaqafi karena bisa jadi Hajjaj ini adalah manifestasi kumpulan dosa rakyat, hingga Allah SWT memunculkan sosok ini karena mereka para rakyat tidak siap dipimpin hamba yang sholeh (Thorthusyi, 1872).
Dari sini terdapat suatu hal yang terjadi di suatu negara, konflik atau kericuhan maka hakikatnya pemimpin tidak boleh semata-mata disalahkan karena masyarakat yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik tidak sebaliknya.
Di sisi lain perlu pula menasehati pemimpin yang tidak lurus, melalui Hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman adalah kegelapan (yang membawa kesengsaraan) pada hari kiamat, dan jauhilah kekikiran karena kekikiran telah membinasakan kaum sebelum kalian, yang mendorong mereka untuk saling menumpahkan darah mereka sendiri dan menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh diri mereka sendiri.”(HR Muslim).
Termasuk ajaran Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tidak keluar dari pemimpin yang sah. Muhyiddin An Nawawi (1997) menegaskan bahwa tindakan makar atau memberontak terhadap pemerintah yang sah adalah haram, meskipun pemerintah fasiq atau dzalim. Sebab pemberontakan akan mengorbankan fitnah yang sangat besar bahkan bisa jadi berujung pada perang saudara tiada akhir.
Bahkan para ulama berkewajiban mengingatkan semua kalangan di saat konflik sedang terjadi. Misalnya dihadapkan dua pilihan, hidup didzolimi atau menentang demi terwujudnya keadilan, maka sepatutnya yang didahulukan adalah mafsadahyang lebih ringan yaitu hidup didzolimi yang mana dalam kondisi ini umumnya orang masih dapat leluasa hidup mengamalkan ritual-ritual agamanya. Karena terdapat kaidah fiqhiyah idza ijtama’a dlororooni ukhidza bi akhoffihima dlororon (jika terkumpul dua kerusakan maka yang paling ringanlah yang diambil).(*)