spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

Dilema Para Petani

Berita Lainnya

Berita Terbaru

          Hari Tani Nasional memang telah lewat hampir sebulan lalu atau tepatnya 24 September 2022. Hari yang tidak sepopuler hari hari besar lainnya namun memiliki sejarah yang kuat. Sejarah Hari Tani Nasional berawal dari kesengsaraan para petani pada masa kolonial yang menginginkan kepemilikan lahan kemudian dimasukkan dalam UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dan dilaksanakan penggunaannya tanggal 24 September 1960.

          Tonggak kepemilikan lahan bagi rakyat dimulai dari titik ini setelah sekian rangkaian kegiatan untuk berberes terkait panitia agraria. Panitia Agraria yang mengurusi mengalami beberapa kendala dalam sejarah penataannya. Bukan perkara mudah karena panitia Agraria telah bekerja mulai tahun 1948.

          Beberapa panitia dibentuk untuk penyelesaian permasalahan agraria ini. Di antaranya terbentuknya panitia Soewahjo Tahun 1955,  Panitia Negara Urusan Agraria tahun 1956, Rancangan Soenarjo tahun 1958 dan Rancangan Sadjarwo tahun 1960. Harapan kecil itu muncul lewat UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 ini diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Masing-masing panitia diyakini memberikan manfaat sebelum UU Pokok Agraria ini diterapkan.

          Kini segenap rakyat telah memiliki tanah untuk diolah dan dimanfaatkan hasilnya. Petani (pemilik tanah) dengan berbagai upaya menciptakan heterogenitas produksi guna mencapai ketercapaian pangan baik dalam skala kecil keluarga maupun skala yang lebih besar. Sedikit berbangga jika tahun 2022 petani di Indonesia menerima penghargaan.

          Salah satu penghargaan kelas dunia yakni menerima penghargaan dari IRRI (International Rice Research Institute) yang berkantor di Filipina. Lembaga riset terkait padi internasional ini mengganjar prestasi Indonesia lantaran keberhasilan Indonesia sukses menjaga ketahanan pangan kurun waktu 2019-2021.

          “Izinkan saya mengucapkan selamat kepada Indonesia, atas keberhasilannya yang luar biasa besar dalam mencapai swasembada beras, dan meningkatkan level ketahanan pangan,” ujar Direktur Jenderal IRRI Jean Balie mengatakan hal tersebut saat berada di Istana Presiden.

          Dasar dari pemberian penghargaan IRRI ini jelas melalui indikator-indikator yang rasional serta dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu laporan yang dikeluarkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) bahwa Indonesia mampu mencapai 90 persen lebih rasio swasembada atau rasio antara produksi dalam negeri dengan total permintaan. Ini adalah pencapaian yang sangat besar. Catatan ini juga termasuk analisa pada hasil kurun waktu dalam waktu 3 tahun (2019-2021)

          Pemenang penghargaan dari IRRI ini sesungguhnya adalah masyarakat petani dalam cakupan dan pengertian yang luas. Indonesia patut berterima kasih kepada petani padi atas penghargaan tersebut. Dalam artian petani padi sering kita temui dengan keadaan yang bersimbah peluh, penuh lumpur dan tidak mengenal kondisi cuaca namun terus berkarya untuk menghasilkan produksi padi yang berkualitas serta menjaga kestabilan ketahanan pangan.

          Pada bidang-bidang tertentu petani Indonesia sangat membanggakan. Tapi sebuah ironi ketika dalih membutuhkan lahan pertanian justru yang dihajar adalah wilayah hutan. Hutan sejatinya memiliki keseimbangan alam yang sangat tinggi. Cadangan oksigen, berkumpulnya berbagai varietas tanaman dan hewan, cadangan air serta mencegah longsor. Hutan seyogyanya dijaga oleh setiap unsur yang memiliki pandangan tentang keberlangsungan akan hidup dan masa depan.

          Dilema memang. Dilema sesungguhnya itu terjadi tatkala para petani tidak memiliki lahan untuk diolahnya. Perubahan nasib dari buruh tani menjadi petani sesungguhnya dengan memiliki lahan adalah suatu dambaan. Eksploitasi tanah besar-besaran di kawasan hutan pasti tidak terhindarkan. Manusia adalah mahluk yang paling ganas ketika menguasai sebuah wilayah. Mahluk lainnya (tumbuhan dan hewan) bisa dibinasakan dengan berbagai akal dan pikirannya.

          Wilayah selatan Kabupaten Malang memiliki hutan sangat luas dulunya. Yang terjadi saat ini ada beberapa lahan hutan yang dijadikan lahan pertanian. Lahan pertanian tak ayal dilakukan dari sebaran daerah Donomulyo hingga Ampelgading. Ada beberapa kerusakan yang terjadi, Dinas Kehutanan menyebut 80 persen lebih lahan hutan di Kabupaten Malang dalam kondisi kritis. Kerusakan itu terjadi sejak tahun 1998 akibat pembalakan liar.

          Lahan hutan yang rusak pun bervariasi berupa hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi. Lahan-lahan tersebut akhirnya dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Tercatat luasan hutan Kabupaten Malang sebelumnya mencapai 127 ribu hektare kini hanya tersisa seluas 47 ribu hektare (tempo.co). Pada akhirnya hutan sebagai sumber oksigen serta penyerapan air hujan ketika cuaca ekstrem tidak mampu bekerja sebagaimana mestinya.

          Tarik ulur dua kepentingan yang berbeda, kondisi alam yang senantiasa harus dijaga namun beberapa oknum memilih untuk merubah hutan menjadi lahan pertanian yang notabene dengan dalih peningkatan ekonomi. Hutan saat sudah rusak tidak akan mampu menahan curah hujan dengan intensitas yang tinggi sehingga beberapa bencana mustahil untuk dihindarkan. Paling rasional dari rusaknya hutan adalah terjadinya bencana banjir dan longsor.

          Dari catatan kerusakan hutan di Kabupaten Malang telah menyebabkan banjir dan tanah longsor yang bisa merenggut harta benda bahkan nyawa. Laporan Malang Posco Media pada, Rabu 19 Oktober 2022 satu orang terseret arus dinyatakan meninggal dunia, ribuan rumah rusak dengan berbagai skala. Jembatan terputus juga terjadi akibat banjir yang terjadi pada 17 Oktober 2022 ini.

          Bencana banjir yang terjadi Senin (17/10) lalu di wilayah Malang Selatan ini mengakibatkan hampir ratusan jiwa terdampak yang tersebar pada wilayah Sidoasri, Tambakrejo dan Sitiarjo. Hal ini dikuatkan oleh Sriono Biro Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur, Kabupaten Malang menduduki wilayah terparah banjir bandangnya. Bencana banjir ini juga terjadi di Blitar dan Trenggalek.

          Terfokus pada kepentingan kelestarian hutan dan tata kelola hutan yang dijadikan lahan pertanian sudah sepantasnya ada titik temu antara pemerintah dan petani. Entah dengan berbagai cara serta strategi pengolahan hutan menjadi lahan pertanian secara besar-besaran perlu ada kajian ulang terkait juga dengan efek yang dimunculkan. Banjir adalah pengingat sekaligus alarm bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab bersama.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img