MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Tragedi Kanjuruhan merupakan bencana kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Hanya dalam waktu singkat, di sepuluh menit pertama, sudah berjatuhan belasan korban. Penyebabnya adalah kelayakan stadion yang ternyata diverifikasi terakhir 2020 itu pun dengan sejumlah catatan.
Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang tugasnya telah berakhir 4 November lalu, Akmal Margali mengungkapkan fakta ketika dia masuk tim untuk menginvestigasi Tragedi Kanjuruhan.
“Awal kejadian sudah ada sekitar 16 korban di pintu 13. Hanya dalam waktu sekitar 10 menit sudah ada 16 orang meninggal dunia di pintu 13,” kata dia.
Ia menerangkan, ketika pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan selesai pada sekitar pukul 21.58 WIB, tidak terjadi situasi yang di luar kewajaran. Menurutnya, dari hasil memantau CCTV, suporter masih bisa keluar satu per satu pada pintu-pintu yang ada di Stadion Kanjuruhan.
Akan tetapi, hanya berselang tiga menit, Aremania langsung memadati pintu tribun 13, 12, 3, dan 10 di Stadion Kanjuruhan. Apalagi setelah gas air mata ditembakkan, kepanikan terjadi pada suporter yang berusaha keluar.
Kondisi semakin chaos, karena saat berusaha keluar, suporter terhambat besi-besi di titik pintu-pintu tersebut. Akhirnya, membuat terjadinya peristiwa penonton terinjak-injak dan terhimpit. “Apalagi di pintu 13, pintu 10, dan pintu 3 itu banyak korban meninggal di situ,” tegas dia.
Kemudian, dari investigasi yang dilakukan, terdapat fakta mengenai verifikasi dan kelayakan stadion. Salah satunya, ada catatan dari verifikasi terakhir 2020 mengenai penerangan yang berarti laga tak layak menggelar pertandingan malam. Apalagi untuk kategori high risk match.
“Terakhir Stadion Kanjuruhan diverifikasi pada liga musim 2020 atau sebelum adanya Covid-19. Ketika itu hasil verifikasi dari tim PT Liga Indonesia diantaranya oleh Somad dan Fauzan disebutkan bahwa Stadion Kanjuruhan catatannya adalah layak dengan catatan. Artinya ada beberapa hal yang tidak layak di Stadion Kanjuruhan,” kata dia. (ley/bua)