.
Saturday, December 14, 2024

Muhammadiyah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Muktamar Muhammadiyah di Solo akhirnya memilih duet Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti sebagai ketua umum dan sekretaris umum PP Muhammadiyah periode 2022-2027. Duet ini akan  memandu Muhammadiyah mengarungi tahun politik 2024 yang bakal penuh dinamika.

Ada dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan pekan ini. Muktamar Muhammadiyah dimulai di Solo, Jumat (18/11) dan proses pemilihan ketua sudah dimulai. Suasananya tenang dan teratur. Pada bagian lain, di Tulungagung Jawa Timur. Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di UIN Tulungagung, Kamis (17/11) diwarnai kericuhan dan aksi saling lempar kursi.

Dua peristiwa itu tidak ada hubungannya. Tapi, keduanya menjadi pengingat perbedaan tradisi antara dua organisasi besar di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. PMII adalah organisasi mahasiswa yang menjadi onderbauw NU. Apa yang terjadi di Tulungagung tidak mencerminkan keseluruhan ‘’tradisi NU.’’ Insiden semacam itu bisa terjadi dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja.

Tetapi dalam beberapa pelaksanaan muktamar dua organisasi besar itu dinamikanya memang berbeda. Hal itu membuat publik kepo untuk mengetahui apa perbedaan NU dan Muhammadiyah.

Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Muhammad Jusuf Kalla (JK) menganalogikan NU mirip waralaba atau franchise yang sistemmya dimiliki banyak orang. Pesantrennya dimiliki orang-orang NU, tetapi bukan milik NU. Walaupun kepemilikan pesantren dimiliki orang-orang NU, namun sistemnya sudah terkontrol dan teruji.

Sementara Muhammadiyah mirip holding company atau perusahaan induk yang menjadi payung bagi operasionalisasi semua aktivitas AUM (amal usaha Muhammadiyah) di seluruh Indonesia. Pengelolaan holding company, seperti sekolah, rumah sakit, universitas, panti asuhan, dan aset-aset lain dalam bentuk properti, dilakukan secara profesional dengan prinsip manajemen modern.

Dua organisasi itu sama-sama dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang saudagar. NU lahir di Surabaya oleh K.H Hasyim Asy’ari pada 1926, dan Muhammadiyah lahir terlebih dahulu di Yogyakarta oleh K.H Ahmad Dahlan pada 1912. Dua tokoh ini sama-sama mencecap ilmu keagamaan dari Mekah dari guru-guru yang sama.

Perbedaan-perbedaan fiqhiyyah atau furu’iyah di masa lalu menjadi sumber perbedaan yang serius dan distinktif. NU membaca usholli sebelum shalat. Muhammadiyah tidak. NU membaca qunut ketika shalat subuh, Muhammadiyah tidak. Dalam pelaksanaan jumatan di masjid NU ada tongkat dan ada bilal yang membaca ‘’anshitu’’, di Muhammadiyah tidak ada. Perbedaan-perbedaan itu trivial, alias dangkal, dan seharusnya neglectable, bisa diabaikan.

Sekarang sudah banyak masjid yang menjalankan tata cara ibadah hybrid, campuran NU dan Muhammadiyah. Perbedaan furu’iyah sudah semakin tipis terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Di pedesaan perbedaan masih ada, tetapi sudah tidak menjadi sumber pesengetaan yang sengit seperti di masa lalu.

Sebagai gerakan politik Muhammadiyah dan NU pernah sama-sama mendirikan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937 dan berubah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada 1943.  Jepang ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Gerakan Asia Raya. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia Jepang memperbolehkan umat Islam mendirikan organisasi.

Tapi, MIAI yang sangat menentang kolonialisme kemudian dibubarkan penjajah Jepang pada 24 Oktober 1943. Organisasi ini kemudian diganti dengan Masyumi dengan harapan lembaga ini dapat mudah dikontrol oleh pemerintah kolonial. Sebagaimana MIAI, ormas besar Islam yang menjadi pendukung utama Masyumi adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Masyumi kemudian menjadi partai politik dan ikut kontestasi pemilu 1955.

Tetapi kemudian dua kekuatan besar itu berpisah dan NU keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan sendiri Partai NU. Pada pemilu 1955 PNI (Partai Nasional Indonesia) menjadi juara, lalu Masyumi dan NU berada di runner up dan juara ketiga. Seandainya Masyumi tidak pecah maka akan menjadi pemenang pemilu.

Kepentingan dan aspirasi politik yang berbeda akhirnya memisahkan dua kekuatan besar itu. Keduanya terpisah dan tidak bisa benar-benar dipertemukan lagi. Di masa kekuasaan Bung Karno politik Islam dianggap sebagai lawan yang berbahaya. Bung Karno menciptakan nasakom (nasional, agama, dan komunis) yang didukung NU. Masyumi menjadi oposisi Bung Karno dan akhirnya dibubarkan pada 1960.

Di masa kekuasaan Soeharto kekuatan Islam politik ditekan habis. Partai-partai Islam dipaksa untuk melakukan merger menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Di bawah tekanan politik yang keras dari rezim Orde Baru Soeharto, kekuatan Islam tiarap dari aktivitas politik dan lebih konsen pada gerakan sosial-keagamaan.

Pada masa reformasi NU melahirkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Muhammadiyah melahirkan PAN (Partai Amanat Nasional). Dalam perjalanannya kedua partai itu bersaing, tapi juga berkoalisi, seperti yang sekarang terjadi di era Jokowi. Menjelang suksesi 2024 yang krusial, NU dan Muhammadiyah menjaga jarak dari partai politik yang dibidaninya.

Di bawah Yahya Staquf NU tidak mau dikooptasi oleh PKB sebagai sayap politiknya. NU ingin memainkan sendiri perannya sebagai organisasi Islam yang punya pengaruh politik besar. NU bertindak independen, tapi tetap dekat dengan rezim Jokowi.

Muhammadiyah harus menjawab manuver NU ini. Muhammadiyah pun melakukan gerakan internasional dengan membangun pusat pendidikan di Australia dan yang terbaru membeli gereja di Spanyol untuk diubah menjadi masjid.

NU dan Muhammadiyah menempuh jalannya sendiri-sendiri. Sebagai organisasi holding company, Muhammadiyah akan semakin besar, profesional, dan kokoh melalui berbagai aktivitas amal usahanya. Muhammadiyah semakin profesional dan menjadi semakin eksklusif. Jumlah anggota tidak banyak tapi berkualitas.

NU adalah franchise yang makin melebarkan waralabanya. Siapa saja boleh masuk. Orang-orang awam merasa nyaman mengaku sebagai NU. Dua organisasi besar itu tetap akan terlibat perang dingin persaingan berebut pengaruh politik dengan caranya masing-masing yang khas. NU lebih mesra dengan kekuasaan. Muhammadiyah menjaga jarak aman dari kekuasaan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img