.
Friday, December 13, 2024

Eksistensi Ban Kapten LGBTQ pada Piala Dunia 2022: Toleransi atau Intoleransi?

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Perhelatan Piala Dunia di Qatar pada penghujung tahun 2022 ini menjadi diskursus yang menarik. Sebab, perhelatan turnamen akbar sepak bola empat tahunan ini telah menciptakan berbagai isu kontemporer. Piala Dunia pada edisi kali ini juga turut menjadi ladang perdebatan subjektifitas HAM yang dimanifestasikan menjadi ‘kepentingan’ dari berbagai negara.

Dimensi politik akan selalu ada pada setiap lingkup kehidupan manusia. Sebagai contohnya permasalahan dari tafsir ‘kebebasan manusia’ yang juga dapat dipelintir menjadi ego dan kepentingan. Hal ini menjadi suatu yang tidak dapat terpisahkan dan akan terus teraktualisasi menjadi sebuah fenomena dalam olahraga sepak bola.

Berbebagai tim dari benua Biru yang berkompetisi di Piala Dunia Qatar 2022 telah mencurahkan keresahannya yang dilarang untuk mengenakan ban kapten “OneLove” sebagai dukungan terhadap hak-hak LGBTQ selama turnamen. Kapten Tim Nasional dari tujuh negara Eropa, yakni Belgia, Belanda, Denmark, Inggris, Jerman, Swiss, dan Wales adalah salah satu dari sekian banyak aktor yang berkomitmen untuk terus mendukung dipakainya ban kapten yang diperuntukkan sebagai bentuk kampanye anti diskriminasi selama perhelatan Piala Dunia.

Terlebihnya lagi, Jerman sebagai salah satu negara adidaya sepak bola tetap memaksakan egonya untuk terus memakai ban kapten ini, dan mengekspresikan gestur tutup mulut sebagai tanda pembungkaman kebebasan berekspresi di laga awal melawan Jepang pada hari Rabu, 23 November 2022.

Pada sebelumnya, Gianni Infantino selaku presiden FIFA telah mendesak 32 tim yang akan berlaga di Qatar bahwa mereka harus “membiarkan sepak bola menjadi pusat perhatian” dan “fokus pada sepak bola.” Akan tetapi, sudah beberapa hari setelah turnamen ini dimulai, himbauan ini belum dapat berjalan sesuai rencana. Kepatuhan dari setiap negara untuk menghormati tuan rumah pun belum dapat diwujudkan dengan baik.

Pertama, larangan untuk mengonsumsi minuman beralkohol pada saat pertandingan di dalam dan di sekitar stadion telah menjadi perbincangan yang sedikit rumit. Kemudian, sebuah pertikaian besar telah terjadi antara FIFA dan tujuh negara Eropa pada hari Senin, 21 November 2022 untuk mencapai kesepakatan agar tidak mengenakan ban kapten khusus anti-diskriminasi. Namun demikian, beberapa oknum masih terus melakukan lobi agar kampanye politik liberalisme dapat terus berjalan.

Peristiwa ini sebenarnya saling berkorelasi dengan tingkat keperihatinan yang tinggi atas catatan negatif Hak Asasi Manusia (HAM) di Qatar. Berdasarkan tren buruk ini, berbagai negara Eropa telah menginisiasikan sebuah kesepakatan sebagai sikap kolektif selama pertandingan internasional.

Dipimpin oleh Asosiasi Sepak bola Belanda (dikenal sebagai KNVB), sepuluh negara anggota UEFA telah melakukan deliberasi untuk pembentukan ban kapten OneLove yang dirancang sebagai alat kampanye. Makna yang terkandung dalam OneLove dirancang untuk menggunakan kekuatan sepak bola guna mempromosikan inklusi dan mengirim pesan untuk melawan diskriminasi dalam bentuk apapun.

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa oknum dari negara Eropa merasa sangat kecewa dengan keputusan FIFA. Padahal, melalui mereka telah berjanji untuk untuk mengungkapkan dukungan mereka terhadap kampanye inklusi melalui ajang sepak bola.

Menanggapi hal ini, FIFA kemudian mencoba bersuara untuk membela tuan rumah Qatar dalam menghadapi kritik terhadap penolakan kampanye “OneLove”, dan menawarkan alternatif untuk mempromosikan kampanye “No Discrimination” pada desain ban kapten yang berbeda.

Hal ini memang disebabkan oleh kebijakan konservatif Qatar sebagai tuan rumah, yang masih memegang teguh prinsip-prinsip religius. Berbagai kritik memang banyak ditujukan terhadap Qatar, lantaran negara ini dinilai kurang memiliki kapabilitas untuk turnamen sebesar piala dunia.     Selain itu, kritik tajam dan beberapa penolakan terhadap turnamen ini juga didasari oleh buruknya catatan HAM Qatar, termasuk masalah pekerja migran dan komunitas LGBTQ. Berdasarkan perundang-undangan di Qatar, negara ini mengharamkan homoseksualitas. Seperti pada beberapa negara Muslim lainnya, hal ini dinilai sebagai tindakan kriminal, dengan ancaman hukuman beberapa tahun penjara, atau bahkan hukuman mati.

Terlebihnya lagi, hal ini sebenarnya dapat juga menguji kredibilitas FIFA dalam menengahi kepentingan, serta memisahkan politisasi sepak bola. Sementara itu, yang menjadi otokritik adalah ketegasan FIFA dalam mendamaikan ego dan kepentingan dari berbagai pihak.

FIFA tampaknya belum tegas dalam menangani ‘pemaksaan’ kampanye terhadap LGBTQ di Qatar. Seperti contoh kasusnya, ketika beberapa kapten kesebelasan mendesak FIFA untuk mengizinkan penggunaan atribut LGBTQ. Selain itu, FIFA juga ‘mati gaya’ ketika atribut Pelangi berkibar pada pertandingan Wales kontra Iran pada laga kedua Grup B pada 25 November lalu.

Globalisasi memang menciptakan hubungan dan Gerakan transnasional antara masyarakat dunia. Dengan adanya gerakan kolektif, hal ini menciptakan hubungan perdamaian antara masyarakat dunia. Selain itu, perdamaian yang dimaksud merupakan integrasi dari seluruh manusia dimana tidak adanya kekerasan langsung, struktural, ataupun budaya. Melalui kajian yang bersifat konseptual, pemaksaan kampanye dukungan terhadap LGBTQ merupakan dampak negatif dari gagasan liberalisme barat.

Paham-paham ini sebenarnya berupaya untuk menciptakan perdamaian dengan adanya universalisme moral. Namun demikian, nilai-nilai moral yang awalnya bertujuan untuk melawan diskriminasi telah diperalat untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Lantas, gagasan ini masih bersifat multitafsir, dan tidak dapat disamaratakan, maupun dipaksa untuk diterima tiap orang, ketika dunia memiliki berbagai perspektif, dan kebenarannya tersendiri.

Dengan demikian, kampanye anti-diskriminasi yang pada eksistensinya merupakan bentuk toleransi telah berubah menjadi intoleransi. Fenomena yang telah disebutkan menjadi bukti kuat, bahwa kampanye dari nilai-nilai kesetaraan, ataupun kebebasan manusia, menjadi sebuah paradoks.

Pada hakikatnya, etika dalam bertamu sudah sewajibnya menghormati tuan rumah. Namun, negara-negara Barat pun memiliki ego yang tinggi untuk mempertahankan kepentingan politiknya. Hal ini pun juga menjadi bukti, bahwa nilai-nilai liberalisme barat juga terkadang bersikap intoleran terhadap perbedaan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img