Disiplin merupakan nilai-nilai kebajikan dan positif. Semua orang mengenal kata disiplin dengan baik, memahami tujuan menciptakan perilaku disiplin baik untuk guru dan murid di sekolah. Perilaku disiplin juga memiliki manfaat. Pada praktiknya guru sering mengingatkan murid, dalam usaha menciptakan dan menguatkan karakter yang positif.
Alih-alih berusaha mendisiplinkan, yang sering terjadi adalah usaha memaksa murid mematuhi sejumlah peraturan yang ada di sekolah. Disiplin memiliki kesan, patuhi saja peraturan di sekolah, jika tidak maka bersiaplah dengan hukuman.
Menurut Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001 menyatakan bahwa disiplin adalah sebuah usaha untuk menggali potensi diri agar mampu mencapai tujuan yang diinginkan, tujuan yang mulia, dihargai dan bermakna.
Perilaku disiplin juga mengajarkan kepada diri sendiri untuk berlatih mengontrol diri, dan menguasai diri untuk memilih tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita hargai di masyarakat agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan pendapat Diane Gossen sangat berbeda. Menurut Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa untuk mewujudkan murid yang memiliki disiplin diri yang kuat akan mampu mewujudkan manusia yang merdeka. Sedangkan pada kenyataannya bukan menjadi manusia yang merdeka, akan tetapi menjadi manusia yang terpaksa.
Dalam sebuah penanganan masalah di sekolah, sering terlihat ketika terdapat anak yang melanggar peraturan di sekolah kemudian ditangani oleh guru. Saat ditanya oleh guru apa alasannya melakukan pelanggaran, banyak dari murid yang dianggap bermasalah hanya diam saja. Reaksi diam ini, memicu emosi guru, dimana volume suara guru semakin lama semakin tinggi karena tidak mendapatkan jawaban dari murid
Pernahkan terpikirkan? Jika sebenarnya pada penanganan masalah tersebut, bukan guru yang sedang berusaha mengendalikan murid, akan tetapi murid yang mengendalikan orang dewasa. Menurut William Glasser, guru sebenarnya sedang menciptakan ilusinya sendiri. William Glassermenyatakan dalamChoice Teory, bahwa ilusi guru mengontrol murid, ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Mari refleksikan kembali bagaimana penanganan murid yang bermasalah selama ini di sekolah? Apakah kemudian emosi guru menjadi tidak terkendali karena ilusi yang diciptakan oleh guru itu sendiri? Seolah-olah merasa mampu mengendalikan, memaksa dan membuat anak merasa bersalah.
Ternyata yang terjadi malah sebaliknya, guru yang dikendalikan oleh murid? Rasanya memang perlu dievaluasi kembali bagaimana penanganan pelanggaran tata tertib di sekolah. Murid yang mengalami permasalahan memiliki identitas yang gagal, mengapa disebut identitas gagal? Murid memiliki identitas gagal karena murid yang mengalami permasalahan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusianya.
Kebutuhan dasar manusia terdiri dari 5 menurut William Glasser, di antaranya adalah bertahan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, kebebasan, kesenangan, dan penguasaan. Sehingga jika guru berusaha menegakkan disiplin pada murid, maka guru tersebut dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi oleh murid. Bukan dalam usaha untuk memaksakan peraturan pada murid.
Sekolah yang nyaman bagi murid adalah dambaan setiap lembaga. Sekolah saat ini beramai-ramai berupaya untuk mewujudkan kenyamanan dan keselamatan bagi murid. Pemerintah sendiri berusaha mengeluarkan program sekolah di antaranya sekolah ramah anak, program pencegahan perundungan (ROOTS) bagi murid, pelatihan bagi guru tentang budaya positif. Upaya yang dilakukan salah satunya juga untuk menekan angka kasus bullying di sekolah.
Perilaku bullying di sekolah, terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Murid yang melakukan bullying apabila tidak terpenuhi kebutuhan dasar kasih sayang dan rasa diterima. Murid ini akan merasa senang, jika teman-temannya melaporkan masalah ini kepada guru.
Guru kemudian akan memanggil orang tua, maka sejak orang tuanya dipanggil murid tersebut akan mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Apabila tidak tercukupi kebutuhan dasar berupa penguasaan, murid yang melakukan bullying akan merasa hebat karena temannya jadi takut, sehingga akan menuruti keinginan pelaku bullying.
Apabila tidak tercukupi kebutuhan dasar berupa kesenangan, maka murid tersebut melakukan bullying hanya karena iseng saja dan menikmati ekspresi wajah teman-temannya yang ketakutan karena menjadi korban bullying.
Perilaku bullying adalah perilaku yang termasuk pada kasus pelanggaran tata tertib sekolah. Banyak yang kemudian tidak melaporkan kejadian bullying karena merasa setelah ditangani akan semakin memperburuk kondisi korban. Setelah pelaku bullying ditangani dikhawatirkan akan semakin menekan kondisi korban. Dalam penanganannya guru selain harus menggali informasi terkait pemenuhan kebutuhan dasar, dapat melakukan segitiga restitusi. Segitiga restitusi adalah cara efektif yang menekankan pada proses kolaborasi antara guru dan murid untuk mencari solusi yang efektif dan mengembalikan murid pada kelompoknya.
Diane Gossen menyatakan langkah segitiga restitusi adalah menstabilkan identitas, memvalidasi Tindakan yang Salah, dan menanyakan keyakinan. Guru dapat menstabilkan identitas dengan menyampaikan kalimat “Setiap orang pasti pernah punya masalah kok, kamu tidak sendirian.”
Kemudian untuk memvalidasi tindakan, guru dapat menyampaikan “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”, dan untuk menanyakan keyakinan guru dapat menyampaikan, “Kamu mau jadi orang yang seperti apa.” Kalimat-kalimat ini begitu ajaib bisa menyentuh hati murid lebih efektif dibandingkan hanya sekadar mengajukan pertanyaan “mengapa.”
Lalu bagaimana apabila memang sekolah telah memiliki peraturan yang telah ditetapkan. Guru dapat tetap menggunakan peraturan sekolah, sebagai dasar berperilaku di sekolah meskipun kesannya hanya satu arah, tidak ada kesepakatan antara guru dan murid.
Guru dapat membuat kesepakatan kelas bersama murid, lima kesepakatan kelas bisa diterapkan selama pembelajaran. Kemudian jika terdapat murid yang melanggar kesepakatan, guru dapat melakukan segitiga restitusi. Hal paling utama dalam pelaksanaan disiplin positif ini adalah bagaimana bisa menghadirkan motivasi intrinsik murid dalam usaha mendisiplinkan diri agar menjadi manusia yang merdeka.(*)