Malang Posco Media – Salah satu hak anak yang harus diwujudkan adalah hak anak atas pendidikan dasar. Namun, ada beberapa masalah dalam mengasuh anak yang dapat mempengaruhi kehidupannya sebagai orang dewasa bahkan merenggut masa depannya, misalnya perundungan atau bullying.
Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Anggin Nuzula Rahma mengatakan, data KPAI sejak 2011 hingga 2019 tercatat 574 anak laki-laki menjadi korban bullying dan 425 anak perempuan menjadi korban bullying di sekolah. 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan bersalah atas perundungan di sekolah. Sementara itu, selama tahun 2021 setidaknya terdapat 17 kasus bullying di berbagai jenjang di satuan pendidikan.
“Banyaknya kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan, bukan hanya terjadi sesama siswa, tapi dapat juga terjadi pada para pendidik dan tenaga kependidikan. Tidak sedikit guru yang melakukan kekerasan dengan tujuan pendisiplinan. Ada oknum guru berdalih mendisiplinkan anak-anak yang menggunakan cara-cara kekerasan termasuk melakukan bullying,” ujar Anggin dalam Webinar Series Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan yang digelar secara daring (5/12).
Anggin memaparkan perundungan bisa sebabkan trauma fisik maupun psikologis yang berdampak buruk besar bagi anak. Di samping itu, hadirnya media sosial dan internet yang dekat dengan anak ternyata menjadi ruang baru bagi tumbuhnya Cyberbullying atau perundungan di ranah digital.
“Cyberbullying ini yang juga marak terjadi saat ini. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan melalui satuan pendidikan bukan hanya dilakukan melalui slogan-slogan yang ada, tapi harus dilakukan secara menyeluruh melalui proses peneladanan yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari,” jelas Anggin.
KemenPPPA melihat bahwa kasus perundungan di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu upaya yang holistik dan integratif untuk mencegahnya. Upaya dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bukan hanya tanggung jawab guru semata sebagai pendidik, namun seluruh sektor mulai orang tua sebagai pendidik utama, pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, media, dan masyarakat pada umumnya.
Putri Marlenny, praktisi dari Rumah Duta Revolusi Mental Dinas Pendidikan Kota Semarang memaparkan ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan bullying di Sekolah Berasrama atau Pondok Pesantren. Diantaranya, kurangnya sarana dan sumber daya dalam pengawasan kegiatan peserta didik atau santri; Lingkungan pertemanan yang negative; Budaya bullying turun temurun; Kebijakan atau regulasi Sekolah Berasrama atau Pondok Pesantren yang belum jelas tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan; Faktor Individu seperti balas dendam, karakter reaktif, agresif, ingin berkuasa, dan lainnya; serta Anggapan tidak sopan berdasarkan norma kelompok tertentu.
“Dari pengalaman kami ketika melakukan intervensi di satuan pendidikan berasrama atau pesantren, ternyata sumber daya manusianya belum memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu arti kekerasan, pemenuhan hak anak dan intervensi yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan dan bullying dan upaya pencegahannya. Intervensi perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini,” jelas Putri.
Menurut Putri, intervensi dapat dilakukan dengan melakukan prinsip 7K dalam pencegahan dan penanganan kekerasan (bullying) yaitu kesadaran, kesediaan, komitmen, konsistensi, kerjasama dan keterbukaan.
“Segala hal tindak kekerasan bullying di sekolah berasrama merupakan masalah yang harus segera ditangani secara tuntas. Seluruh warga di satuan pendidikan berasrama atau ponpes harus sadar bahwa tindak kekerasan adalah suatu hal yang sangat serius dan harus ditangani dengan mengedepankan perspektif anak sebagai korban,” tutur Putri.
(mg7/jon)