Ada dua kata kunci terkait dengan upaya untuk mencapai keberhasilan. Dua kata itu antara lain “berubah” dan “berbeda.” Dua hal yang bisa jadi sering orang ucapkan tetapi tidak mudah dalam mengimplementasikannya. Tetapi itu telah menjadi kata kunci, apalagi memasuki dunia yang terus berubah secara cepat. Menolak bukan sikap elok, mengelola, menyesuaikan, dan mengantisipasi adalah cara bijak.
Hal demikian tak terkecuali dengan Perguruan Tinggi (PT) dalam mengantisipasi perubahan, baik itu perubahan yang terjadi di sekitarnya juga perubahan dan tuntutan akibat sistem yang memaksanya. Perubahan sistem jelas perlu dilakukan karena tuntutan perubahan dunia yang sangat cepat sebagaimana diasumsikan di bagian awal tulisan ini.
Salah satu yang layak dicermati adalah persoalan penerimaan mahasiswa baru PT. Selama ini seleksi masuk PT berasal dari beberapa jalur. Di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), ada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan jalur mandiri. Bahkan beberapa PT membuka jalur khusus untuk Program Studi tertentu dengan memakai rapor. Jadi seleksi masuk PTN mempunyai banyak jalur.
Namun, beberapa jalur yang dibuka tersebut masih banyak yang berkaitan dengan jalur akademik (tes masuk, rapor atau syarat akademik lain). PTN tidak banyak yang memanfaatkan jalur non akademik. Bisa juga karena alasan tak buka jalur itu karena berasumsi bahwa masyarakat masih tetap menjadikan PTN sebagai pilihan utama. Dalam bahasa sindiran, “Tinggal tidur saja, PTN pasti dapat mahasiswa.”
Mengapa? Karena penilaian masyarakat saat ini masih membagi PT menjadi dua, yakni PTN dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). PTN masih tetap menjadi prioritas utama, baru kemudian PTS. Ini realitas yang memang masih hidup dalam benak masyarakat.
Meskipun sebenarnya kualitas PT saat ini tidak lagi ditentukan oleh PTN atau PTS, tetapi nilai akreditasi (Unggul, Sangat Baik, Baik). Tak sedikit PTN yang akreditasinya belum unggul, sementara itu beberapa PTS sudah mencapai akreditasi unggul.
Mengapa Influencer?
Salah satu jalur non akademik yang bisa dipakai untuk seleksi masuk PT adalah jalur influencer. Pertanyaan kita adalah mengapa harus memberikan kesempatan influencer untuk memasuki bangku kuliah? Pertama, PT tidak lagi cukup mengandalkan syarat masuk dengan berdasar nilai akademik semata. Nilai akademik di sekolah pun tidak akan menjadi satu-satunya yang bisa menjamin anak didik mempunyai kelebihan, khususnya terkait keterampilan. Padahal kemampuan keterampilan inilah yang dibutuhkan dunia kerja era sekarang.
Banyaknya lulusan yang bekerja atau menciptakan pekerjaan tentu akan berkorelasi erat dengan peran PT. Dengan kata lain, masyarakat akan selalu mengaitkan lulusan dengan PT dimana mereka belajar. Dunia PT tak lagi hanya berurusan dengan soal alumni yang punya kemampuan akademik bagus. Itu memang penting, tetapi di era yang terus berubah, hal demikian tak lagi mencukupi. Untuk itu, penguasaan keterampilan yang dikuasai alumni hal yang tak bisa dipisahkan. Influencer adalah satu di antara keterampilan yang bisa menjadi jaminan individu.
Kedua, program pemerintah terkait dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang mendudukkan penguasaan keterampilan pada anak didik menjadi daya dorong PT untuk membuka jalur influencer. Jika kita tidak suka dengan kata influencer bisa diganti dengan content creator. Saat mahasiswa sudah penguasai keterampilan tertentu — yang berkaitan dengan teknologi lalu diterima kuliah lewat jalur influencer saat lulus — ia diharapkan mempunyai kemandirian dalam menciptakan lapangan kerja.
Selanjutnya, influencer menjadi penting sebab PT akan dikenalkan dan dikenal masyarakat luas melalui para influencer tersebut. Jika suatu saat nanti kredibilitas PT ditentukan oleh akreditasi dan bukan soal negeri atau swasta, kebijakan itu punya relevansi yang baik.
Maka PT bisa memberi peluang para influencer untuk kuliah. Tentu saja sesuai kebutuhan dan kebijakan PT, salah satunya bisa ditentukan oleh content dan atau jumlah follower.
Sebenarnya jalur non akademik masuk PT tak harus melalui influencer, masih banyak yang lain. Apakah jika seorang siswa punya prestasi nasional atau internasional tidak boleh kuliah dengan jalur non prestasinya itu? Apakah jika seorang siswa hafal sekian juz Al Qur’an tertutup peluang untuk kuliah hanya gara-gara nilai akademiknya biasa saja? Inilah manfaat kenapa jalur prestasi non akademik penting bagi seleksi mahasiswa baru, tak terkecuali jalur influencer tersebut.
PT sendiri bisa membuat syarat bagi jalur non akademik influencer. Misalnya, punya followers youtuber 5 ribu, menjadi selebgram dengan 10 ribu followers. Tentu saja kontennya yang kreatif, edukatif, dan positif. Soal ini biarlah PT yang menyeleksinya karena merekalah yang mengetahui kebutuhannya.
Pertanyaan kita adalah apakah jumlah follower menentukan kualitas calon mahasiswa? Tentu tidak selalu demikian. Ini menjadi tugas seleksi tingkat PT. Yang jelas, mengakomodasi perkembangan teknologi dengan memberikan kesempatan influencer masuk PT juga tidak buruk. Bahkan akan dianggap sebagai sebuah terobosan yang brilian.
Masalahnya saat ini seleksi masuk PT tidak hanya dan harus berurusan dengan jalur nilai-nilai akademik. Saatnya PT memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk masuk lewat berbagai jalur. Influencer menjadi jalur yang perlu untuk dilirik di era serba digital ini. PT harus mempunyai kemauan untuk berubah dan berbeda.(*)