spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

Desember Kelabu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Bulan Desember diasosiasikan sebagai bulan kebahagiaan, karena ada dua even besar, yaitu Hari Natal dan tahun baru. Orang Barat menyebut Desember sebagai ‘’Festive Season’’ musim perayaan, atau ‘’Holiday Season’’ musim liburan.

Tapi, di Indonesia ada lagu ‘’Desember Kelabu’’ yang menceritakan kisah sedih di akhir tahun. Alih-alih menikmati musim perayaan atau musim liburan, Desember Kelabu membawa cerita kelam karena harus berpisah dari orang yang dicintai. Lagu yang dibawakan oleh penyanyi asal Malang, Yuni Sara itu sudah masuk kategori oldies, tapi masih banyak digemari dan dinyanyikan di berbagai kesempatan.

Di lingkungan pemerintah Provinsi Jawa Timur, Desember kali ini mungkin dianggap sebagai bulan kelabu ketimbang bulan perayaan atau liburan. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terhadap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak, menjadi penyebab Desember kelabu itu.

Sahat ditangkap 14 Desember atas dugaan penerimaan suap dari dana hibah Jawa Timur. Ada uang kontan sebesar Rp 1 miliar yang disita KPK bersamaan dengan penangkapan. Dari pemeriksaan terhadap Sahat terungkap bahwa ia menerima uang sogok sampai Rp 5 miliar untuk melancarkan penerimaan dana hibah di berbagai daerah.

Keadaan bertambah kelabu karena KPK kemudian melanjutkan operasinya dengan memeriksa kantor Gubernur Jawa Timur Khofifah Indah Parawansa dan Wagub Emil Dardak, serta ruang kerja Sekda Adi Karyono. Beberapa materi disita oleh KPK dari pemeriksaan itu.

Pernyataan terbaru KPK menyatakan, tidak tertutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus ini. Apakah tersangka baru akan muncul dari lingkungan legislatif atau merambat ke eksekutif, publik menunggu perkembangan.

Jumlah dana hibah yang dialokasikan Pemerintah Provinsi Jatim sebesar Rp 7,8 triliun memang layak dipelototi KPK karena jumlah itu sangat besar. Semasa pemerintahan Gubernur Imam Utomo dan Soekarwo dana hibah berkisar sekitar Rp 3 triliun.

Sekarang jumlah itu membengkak sampai 3 kali lipat. Ibarat pepatah ‘’ada gula ada semut’’, semut-semut koruptor bermunculan mengerumuni dana besar itu.

Hampir bersamaan dengan penangkapan Sahat Simanjuntak muncul komentar dari Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Menurut Luhut, OTT yang sering dilakukan KPK bisa mencoreng nama baik Indonesia di mata internasional.

Luhut menyampaikan pendapat ini pada acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 yang digelar KPK dan sejumlah kementerian/lembaga lainnya, Selasa (20/12). Pernyataan Luhut ini mendapat reaksi luas, termasuk dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menurutnya, OTT masih dibutuhkan untuk menindak kejahatan korupsi. OTT diperlukan sepanjang pendidikan dan pencegahan korupsi belum maksimal. Kalau ini masih belum berhasil, pendidikan dan pencegahan, akibatnya akan ada penindakan.

Tapi, pernyataan Luhut itu mendapat pembelaan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Mahfud mengatakan, tak ada yang salah dengan ucapan Luhut. Daripada selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tidak ada celah korupsi.

Kalau di antara wakil presiden dan dua menteri koordinator saja beda pendapat, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi di Indonesia punya arah dan haluan yang jelas. Itulah persoalan utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pernyataan Luhut Panjaitan bisa menjadi indikasi lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.  Pendapat Luhut bahwa nama Indonesia bisa jelek di mata internasional karena banyak OTT bertolak belakang dengan realitas empiris di dunia internasional, misalnya di Malaysia, Singapura, maupun China.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menjadikan pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih sebagai target utama. Anwar mencontohkan ‘’leading by example’’, memimpin dengan memberi contoh. Ia menolak menerima gaji dan tidak memakai mobil dinas yang mewah. Dengan memberi contoh semacam ini seluruh jajaran pemerintahan bisa menunjukkan komitmen yang kuat yang dimulai dari diri sendiri.

Singapura sudah khatam dengan urusan pemberantasan korupsi. Thanks to mendiang Lee Kuan Yew yang memberi contoh dengan keras dan tegas dalam komitmen pemberantasan korupsi. Singapura selalu berada pada 3 besar negara dengan indeks korupsi paling rendah di seluruh dunia.

Apakah nama Singapura jelek di mata internasional, karena sikapnya yang keras terhadap korupsi? Tidak. Justru Singapura menjadi daya tarik investasi asing dari berbagai penjuru dunia. Lee Kuan Yew dikagumi sebagai pemimpin yang sukses menjadikan Singapura negara yang bersih dari korupsi. Lee diundang ke berbagai negara untuk memberi nasihat bagaimana negara bisa menarik bagi investor asing. Jurus Lee hanya satu, birokrasi harus efisien dan bebas korupsi.

China menjadi contoh bagaimana negara besar dengan penduduk 1,4 miliar ternyata bisa bersih dari korupsi. Budaya korupsi sudah mengakar sejak era dinasti, yang diperkirakan mulai dari dinasti Zhou (1027-771 SM).

Setelah revolusi komunis 1949 – yang berhasil menumbangkan sistem kekaisaran – korupsi di China masih tetap marak, malah menjadi-jadi dan bahkan telah mewabah.  Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping muncul slogan  ‘’getting rich is glorious’’ atau menjadi kaya adalah mulia, yang mendorong masyarakat untuk mengejar kemakmuran hidup. Tetapi slogan ini membawa efek negatif dengan maraknya korupsi di pemerintahan.

Operasi pembersihan korupsi di China memperoleh momentum pada 1998. Zhu Rongji dilantik sebagai pemimpin China dan langsung menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program utama. Zu terkenal dengan ungkapan ‘’Beri saya 100 peti mati, 99 untuk koruptor dan satu untuk saya, kalau saya melakukan korupsi.’’

Ungkapan bukan sekadar slogan kosong. Banyak pejabat tinggi yang dihukum mati karena terlibat korupsi. Zhu tidak pernah pandang bulu, ia juga mengirim “peti mati” kepada koleganya sendiri yaitu Hu Chang-ging yang terbukti menerima suap berupa mobil beserta permata bernilai sekitar Rp 5 miliar.

Di Indonesia ungkapan itu mungkin bisa berubah, ‘’Beri saya 100 peti mati, 90 peti akan saya jual dan 10 akan saya berikan kepada atasan sebagai komisi.’’(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img