spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

Muhasabah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si

MALANG POSCO MEDIA – Di penghujung dan awal tahun baru menjadi salah satu momentum bagi semua masyarakat untuk evaluasi diri, melalui bertafakkur, merenungi, dan mengoreksi semua hal yang telah dilakukan pada hari-hari yang lewat, dan apa yang mesti direncanakan di tahun mendatang. Hal ini menjadi penting yang tidak boleh ditinggalkan guna memperbaiki amal dan karya tahun selanjutnya.

Dalam muhasabah (introspeksi), seseorang sedang mengoreksi dirinya sendiri perihal apa saja yang mereka lakukan selama satu tahun. Mereka juga “membaca” perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam mengisi hidup setiap harinya. Akan tetapi, selain dilakukan di acara tahunan, introspeksi seharusnya juga dilakukan dalam setiap hari, bahkan setiap waktu akan melaksanakan dan setelah melaksanakan kegiatan.

Sahabat Umar bin Khattab ra. berkata: “Bermuhasabahlah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal sholeh) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan tidak ada yang tersembunyi sedikitpun.”

Untuk melakukan muhasabah dapat dilakukan, yaitu sebelum melakukan aktivitas dan setelah melakukan aktivitas. Sebelum melaksanakan pekerjaan bahkan saat merencanakan sebaiknya kita mengetahui semua halnya. Minimal harus sudah terjawab pertanyaan, untuk apa hal itu dilakukan? Dan apakah perbuatan itu dapat mengubah diri ke arah yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT?

Sekiranya pertanyaan itu bisa terjawab dan dapat dipastikan membawa dampak positif dan kebaikan maka laksanakannlah dan tuntaskanlah semua pekerjaan itu. Jika perkerjaan itu membawa dampak negatif dan dapat menjauhkan diri dari ridha Allah SWT maka tinggalkanlah perbuatan itu. 

Sedangkan muhasabah setelah melakukan aktivitas adalah mengadili diri sendiri. Pada saat merenung tentang diri itulah kita flashback ke belakang untuk meninjau kembali episode dari kehidupan yang telah lewat. Ketika proses muhasabahberlangsung maka hati nurani memegang peranan penting dan mengambil posisi sebagai hakim atau penilai bagi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan.

Muncullah rasa kepuasan dan kebahagiaan manakala mengingat perbuatan baik yang telah dilakukan, namun acap kali muncul rasa kesedihan dan penyesalan manakala mengingat perbuatan buruk yang dilakukan. Peran hati nurani tersebut dinamakan retrospektif (penilaian moral terhadap perbuatan yang telah dilakukan).

Dari muhasabah akan muncul kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan titik tolak perubahan yang mendasar bagi kehidupan manusia. Setelah kesadaran diri muncul pada diri seseorang lalu sebuah tujuan hidup biasanya akan terbentang dengan jelas, muncul pula sebuah tekad untuk mewujudkannya. Lalu dibuatlah perencanaan tentang apa-apa yang mesti dilakukan ke depan sebagai persiapan dan perbekalan menuju kesuksesan hari kemudian.

Ada hal penting yang harus kita introspeksi, yaitu penggunaan waktu yang efektif dan fenomena alam yang banyak musibah. Momentum akhir tahun dan menyongsong tahun baru adalah putaran waktu untuk sarana muhasabah, apakah sudah efektif kita menggunakan waktu atau waktu-waktu kita terbuang oleh hal-hal yang tak bermanfaat.

Kini media sosial adalah godaan yang paling kuat untuk membuang-buang waktu secara sia-sia bahkan menjadi ladang dosa. Para ulama dan para pahlawan itu hebat bukan karena hidupnya panjang ratusan tahun tetapi karena pandai memanfaatkan waktu untuk kebaikan umat manusia semasa hidupnya dan generasi berikutnya. Seperti Imam Syafi’i sebagai pendiri mazhab terus dikenang dan karya-karyanya terus hidup dan dipelajari hanya umur 54 tahun, yaitu lahir tahun 150 H dan wafat tahun 204 H.

Dimensi Waktu

Betapa pentingnya penggunaan waktu yang efektif sehingga Allah SWT bersumpah demi waktu. Ada empat waktu dan nama surat dalam Al Qur’an yang dijadikan sumpah oleh Allah SWT. Pertama, Allah SWT bersumpah demi waktu Fajar (Al-Fajr). Dalam sumpahnya Allah SWT memberikan waktu kepada manusia untuk digunakan sebanyak banyaknya untuk berpikir, merenung, dan merencanakan apa yang akan dilakukan selama hidupnya. 

Kedua, Allah bersumpah demi waktu Dhuha (Al-Dhuha). Waktu Dhuha diibaratkan sebagai masa muda. Masa ketika manusia berada dalam puncak fisik yang kuat dan kokoh. Dalam Surah Ad Duha, yang isinya perintah dari Allah agar manusia di usia produktifnya berkarya, berkarya dan beramal shaleh.

Ketiga, Allah SWT bersumpah demi waktu ‘Ashar (Al-‘Ashr). Dalam surah itu Allah menegaskan seluruh manusia merugi bila mereka menyia-nyiakan masa muda. Karena waktu ‘Ashar itu hampir selesai jam kerja dimana manusia akan pulang dan akan masuk usia pensiun. Rata-rata manusia merugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. 

Keempat,Allah SWT bersumpah demi waktu malam (Al-Lail). Waktu malam adalah waktu gelap yang disediakan untuk tidur dan istirahat. Dalam kehidupan manusia bagai waktu kematian. Biasanya orang yang tidur nyenyak karena kondisi tubuh yang prima dan aktivitas keseharian menyenangkan. Begitulah kematian manusia akan menikmati di alam kubur dan kelak di akhirat masuk surga dengan ridha Allah SWT karena beramal baik di dunia.

Apa muhasabah yang hendak disampaikan, bahwa secara filosofis ketika manusia di waktu Fajar, di masa awal kehidupannya bisa merencanankan dengan baik, di waktu Dhuha pada masa produktif berkarya dan bekerja untuk kebaikan orang banyak dan beramal saleh, di waktu Ashar atau usia senja menjadi masa di mana ia tidak akan merugi. Terakhir, di waktu malam atau sesudah meninggal, manusia itu akan dapat ‘tidur’ dengan nyenyak atau tenang.

Muhasabah kedua adalah fenomena musibah yang datang silih berganti di beberapa tempat di Indonesia, seperti gempa, longsor dan potensi tsunami. Musibah yang datang silih berganti sekiranya dapat menjadi bahan introspeksi diri.

Adakalanya musibah merupakan sebuah ujian dari Allah SWT dan adakalanya pula musibah merupakan teguran atau bahkan laknat/ adzab dari Allah SWT. Musibah bisa menjadi peluang koreksi batin. Boleh jadi kesulitan itu bersumber dari diri sendiri karena kita sendiri yang mengundang permasalahan atau dosa-dosa yang menutup dari kasih sayang Allah.

Musibah kadang datang untuk memperingatkan kita, sedikit mencubit kita, agar segera tersadar dan kembali ke jalan Allah setelah beberapa waktu tersesat. Awalnya hanya cubitan kecil. Jika kita tidak juga merasa, kemudian diingatkan dengan dipukul sedikit keras. Jika tidak terasa juga kemudian dipukul dengan tenaga yang lebih besar. Bukankah kadang seseorang harus disentak atau ditendang agar tidak terperosok ke dalam jurang yang dalam. Karena sakit akibat jatuh ke dalam jurang jauh lebih fatal dibanding sakit akibat ditendang atau disentak untuk mengingatkan.

Kala musibah sebagai ujian yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya maka setiap ujian  akan disesuaikan dengan tingkat ketakwaan seorang hamba tersebut. Sudah barang tentu manusia yang paling bertakwa akan diuji dengan ujian yang semakin berat sesuai dengan tingkatan dan kadar iman serta takwanya kepada Sang Pencipta.  Selain sebagai sebuah ujian, terkadang musibah merupakan teguran dari Allah SWT atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang menjurus pada kemaksiatan atau kemungkaran. Bahkan yang lebih mengerikan apabila musibah merupakan suatu adzab yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang maksiat, ingkar dan kufur kepada Allah SWT.

Tak ada acara yang lebih dalam menghadapi musibah kecuali dengan muhasabah diri tentang segala perbuatan yang mengandung dosa dan merusak pada tatanan alam semesta. Meskipun semua musibah pasti datangnya dari Allah SWT namun semua itu ada sebab dan musababnya. Hukum alam dan kausalitas sebuah keniscayaan yang Allah SWT ciptakan untuk hamba-Nya. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img