.
Saturday, December 14, 2024

Warga Desa Selorejo Penjaga Lereng Gunung Kawi

Asa Lestarikan Hutan, Perjuangkan Tanah Objek Reforma Agraria

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Hutan lereng Gunung Kawi bagai ibu kandung yang menghidupi masyarakat di sekitarnya. Termasuk, warga Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang menggantungkan hasil perkebunan dan pertanian dari hutan di wilayah mereka. Bagi warga, pelestarian lingkungan menjadi keharusan demi menunda krisis iklim dan krisis air.

Lereng gunung, niscaya menjadi wilayah tangkapan air. Secara turun-temurun warga Selorejo bak penjaga hutan yang hidup berdampingan. Kini warga tengah menanti-nantikan sebagian wilayah hutan yang dimanfaatkan warga itu dilepas menjadi konservasi. Sebab, selama ini sebagian besar hutan merupakan wilayah Perhutani, meski sudah ditinggali ratusan tahun.

Asa itu tampak dari raut wajah Sudarmadi, salah seorang tokoh masyarakat desa yang juga pegiat kelestarian hutan desa. Virus kesadaran pelestarian lingkungan itu secara organik menyebar ke benak masing-masing warga. Hingga disadari pula oleh pemerintah desa akan kegentingan itu harus menjadi prioritas.

Dari dorongan masyarakat, diinisiasi program desa untuk mengajukan permohonan pelepasan sebagian hutan menjadi tanah objek reforma agraria (Tora). Bersamaan dengan itu juga diajukan Perhutanan Sosial (PS). Oleh Sudarmadi, program itu sangat didukungnya. Konsep konservasi ditawarkan demi kelangsungan paru-paru bumi yang terjaga dan air yang berkualitas.

Di Selorejo, sejuk pedesaan lereng gunung terasa begitu memasuki desa. Sudarmadi masih mengenakan kaus oblong putih dengan kain sarung dan kretek di tangan saat ditemui di kediamannya, Senin (26/12/2022). Rumah sederhana yang bersampingan langsung dengan perkebunan jeruk warga yang subur. Dari situ bisa terlihat penghidupan masyarakat tak bisa lepas dari hutan.

“Air itu menjadi vital untuk kehidupan manusia. Kedua, iklim, karena mayoritas di sini petani jeruk dan sayur maka kestabilan iklim menjadi penting untuk pertanian warga. Ketiga, memberi sebagian manfaat untuk masyarakat sekitar yang memang tidak punya lahan,” ucap Sudarmadi.

Sejak diajukan Tora sekitar dua tahun lalu, warga telah menyadari pentingnya legalitas demi kenyamanan hidup dan mencari kehidupan. Terutama dalam memanfaatkan hasil alam di sekitar mereka selama ini.
“Warga memanfaatkan dengan bercocok tanam di bawah tegakan (pohon penyangga di hutan). Mengambil manfaat tanpa merusak,” sebutnya.

Kata Sudarmadi, warga sendiri sejak lama yang mengamankan keberadaan hutan. Mengamankan dari pembalak liar, dari pihak tak bertanggungjawab terhadap sampah dan kerusakan bibit pohon. Hasil dari jerih payah mereka mampu dirasakan berkelanjutan. Termasuk dikelolanya wisata yang selama ini sudah jadi ikon Selorejo yakni Bumi Perkemahan Bedengan.

Lain halnya jika ditanya menganai pemanfaatan hutan Perhutani. Sebab, keturunan mereka sudah ada sejak sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Lalu penguasaan oleh Perhutani sempat membuat mereka harus mematuhi aturan hutan produksi. Pun dengan warga, dilibatkan saat pemanfaatan tetapi tidak berpikir panjang dalam hal pelestarian.

“Perhutani hanya berpikir keuntungan ekonomi, misal pohon besar ditebang, tebangan Perhutani dampaknya tidak ke Perhutani. Warga sekitar lereng Kawi ini menjadi korban, tanah longsor banjir. Kalau ngomong haknya masyarakat seputar hutan mempunyai hak, harusnya mulai dilibatkan saat merencanakan sampai memanen, perundang-undangan kehutanan yang bicara tentang itu,” Sudarmadi menegaskan.

Yang dimaksud Sudarmadi, yakni dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Dijelaskan bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan manusia, maka perlindungan hutan tidak saja dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tetapi juga oleh segenap masyarakat dengan berperan-serta secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung.

Sebagai informasi, Desa Selorejo yang bertempat di ketinggian ± 800–1200 mdpl itu, sekitar 300-410 hektare adalah pemanfaatan pertanian dan perkebunan di hutan. Sementara dari wilayah Kecamatan Dau, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat wilayah hutan lindung Dau mencapai 958,30 hektare dan hutan produksi total 742,60 hektare.

Salah satu kelompok masyarakat yang bergantung pada hutan yakni Dusun Gumuk, Selorejo. Lokasi perkampungan mereka dikenal dengan kampung budaya, dihuni sekitar 42 KK. Hampir keseluruhan merupakan petani dan bekerja di perkebunan di bawah tegakan di hutan Selorejo di wilayah Perhutani. Warga Gumuk juga yang mendorong kuat untuk pelestarian.

“Warga memang sangat menjaga dan bertanggungjawab dengan alamnya. Seperti ada kebakaran, warga yang berupaya menyelamatkan hutan agar tidak rusak,” jelasnya.

Masyarakat Selorejo dan sekitar lereng Kawi juga telah membentuk kelompok adat untuk tujuan pelestarian. Lembaga itu diberi nama Lembaga Adat Desa Andalan Konservasi atau disingkat Landak. Gerakan kolektif ini lantas mengantarkan kesejukan kembali ke Selorejo. Segala upaya menjaga keberlangsungan hutan jangka panjang diperjuangkan. Di antaranya penanaman dan pembibitan pohon rutin dilakukan di atas daerah sumber mata air.

“Hasilnya sekarang debit air sungai di saat kemarau masih besar, terjaga, dan tidak keruh. Ini yang harus terus dipastikan agar masyarakat bisa tetap hidup berkualitas,” jelasnya.

Yono, pengurus yang menjabat sebagai penasehat Landak mengatakan, lembaga adat berbasis komunitas pelestari itu rutin melakukan kegiatan konservasi seperti misinya menjaga hutan Kawi. Membersihkan sampah sungai setiap pekan, lalu melakukan pembibitan dan penanaman pohon.

“Selama ini mata air terjaga karena konservasi. Kegiatan pelestarian tidak bisa dilepaskan begitu saja karena hutan harus dijaga,” kata Yono.

Kini Landak beranggotakan 12 orang, Yono dan para rekannya juga sangat mendukung program desa yang mengupayakan adanya tanah objek reforma agraria, serta perhutanan sosial. Dua program itu jika terealisasi setidaknya dapat membawa ketenangan hidup warga. Landak, juga berhasil menemukan sejumlah sumber mata air yang belum terjamah hingga akhirnya bisa dimanfaatkan warga.

“Selama ini masyarakat ber KTP tapi ada di lahan Perhutani. Kebun yang diambil manfaat harusnya dilepas menjadi konservasi melalui perhutanan sosial sehingga bisa terjamin tidak hanya kepentingan hutan produksi,” jelasnya.

Mengenai progres pengajuan ke KLHK, dirinya belum mendapatkan informasi lebih lanjut. Menanggapi apa yang dilakukan masyarakat Desa Selorejo, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto mendukung. Dengan catatan perjuangan warga yang menghuni ratusan tahun itu dapat dibuktikan sesuai syarat pengajuan Tora dan Perhutanan Sosial.

“Tentunya pemerintah berkewenangan hanya mendukung disetujui atau tidak keputusan kementrian. Jika Tora maka melalui KLHK. Tetapi bicara redistribusi melalui Kementerian ATR/BPN hanya untuk pemukiman, tanahnya berstatus apa dulu. Jika konservasi berarti tidak untuk produksi industri, tidak ada resistensi terhadap lingkungan, dan diatas 50 tahun (ditempati),” tutur Didik saat dihubungi terpisah.

Didik berharap, masyarakat benar-benar memanfaatkan hutan tanpa merusak. Selama ini kata Didik, yang terjadi di Kabupaten Malang banyak yang salah tangkap dengan memohonkan Tora dan redistribusi hingga meluas.

“Jika untuk kelestarian lingkungan maka sangat bagus dan kami mendukung. Tetap keputusan di pemerintah pusat. Sudah ada di 13 kecamatan yang memohonkan serupa sekarang berproses. Harapannya tidak ditangkap lain meluas ke pekarangan namun yang utama rumah tinggal,” imbuhnya.

Apa yang diperjuangkan itu dikatakan masih belum menemui jalan terang hingga kini. Menurut Pradipta Indra dari Divisi Pembelaan Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, salah satu program berupa Perhutanan Sosial hadir sebagai salah satu bentuk pengakuan negara terhadap masyarakat dalam mengakses hutan.

“Jadi penting untuk kemudian bisa dimanfaatkan agar masyarakat dapat akses untuk mengelola hutan secara lestari,” urainya.

Kendati begitu, perjuangan untuk itu perlu proses serius. Pengajuannya kata Indra bisa dibilang cukup rumit secara administratif. Butuh kemampuan atau ketrampilan dalam proses pengajuannya.

“Jika telah lama dihuni oleh masyarakat, maka bisa dilepas kawasan hutan tersebut untuk diakui sebagai hutan adat. Skema ini ada dalam Perhutanan Sosial, dimana masyarakat adat bisa mengajukan PS dengan SK,” terangnya.

Bagi warga desa seperti Sudarmadi dan 42 KK di Dusun Gumuk, program Tora maupun Perhutanan Sosial membawa angin segar. Diharapkan dapat membawa keberlangsungan hidup lestari lebih baik. Sudarmadi menimpali, Landak dan Kelompok Tani Hutan (KTH) sudah bersinergi bersama warga untuk memperjuangkan itu.

“Tidak hanya fungsi ekonomi namun fungsi konservasi. Warga tidak mau nanti kehilangan sumber air Kawi. Menurut saya program itu harus digalakkan oleh dunia, karena dunia sudah pada titik nadir krisis konservasi, pemanasan global,” timpa Sudarmadi.(prasetyo lanang/nug)

Ikuti Juga Berita Malang Hari Ini dan Info seputar Arema FC, Arema dan Aremania di Youtube dan Tiktok Kami

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img