Kegaduhan politik di akhir tahun 2022 muncul dengan pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari, bahwa ada kemungkinan pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dilakukan dengan sistem Proporsional Tertutup atau memilih partai bukan Calon Legislatif (Caleg) dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU, Jakarta (29/12/2022).
Hal ini, menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ada gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 168 ayat (2) “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka” dinilai bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pernyataan ini, serta merta muncul tanggapan berbagai Partai Politik (Parpol) tidak setuju dengan proporsional tertutup. Para elite Parpol tetap mempertahankan sistem porposional terbuka. Sedangkan PDI-P menyatakan terbuka atau tertutup siap menghadapinya. Karena selama Pemilu 1999 dan 2004 dengan sistem tertutup dan Pemilu 2014 dan 2019 sistem terbuka PDI-P selalu menang.
Tahun 2023 memasuki tahun politik semakin tajam persaingan Parpol merebut suara pemilih. KPU telah memutuskan sembilan Parpol yang masuk dalam parliamentary threshold (ambang batas 4 persen) di DPR hasil Pemilu 2019 hanya Verifikasi Administrasi (Vemin), dan Parpol yang tidak lolos parliamentary threshold maupun Parpol baru yang lolos Verifikasi Faktul (Verfak) sembilan Parpol dan berhak mengikuti Pemilu 2024. Termasuk enam Parpol Lokal Aceh. Jadi seluruhnya berjumlah 24 Parpol. Tahapan penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) dan kursi sudah selesai, dan sekarang tahapan Vermin pengumpulan KTP mendukung calon perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) setiap provinsi mewakil empat orang dengan sistem distrik berwakil banyak.
Manuver Elite Politik
Diduga menggiring isu proporsional tertutup, adalah permainan/manuver elite atau aktor politik Parpol dan yang berada di belakang layar untuk maksud/ tujuan meraih suara dan memenangkan hasil Pemilu. Elite/ aktor bermain di pentas politik bersifat luas, bukan saja di pusat melainkan semua elite/ aktor politik di daerah bersangkutan.
Piere Felix Bourdieu mengatakan elite politik atau aktor politik berperanan dalam suatu lembaga memainkan segala unsur untuk mempengaruhi masyarakat. Teori Bourdieu yang disebut teori konstruktif sering disebut teori praktik sosial yaitu Habitus arena/ ranah/ medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal (capital), dan strategi (strategy).
Modal menjadi utama dalam pergerakan mengumpul/ memobilisasi orang/ konstituen pada saat kampanye oleh Parpol/Paslon/Caleg, elite/aktor ekonomi/pengusaha. Selain itu, ada elite agama, elite birokrasi/ASN juga bermain dalam arena politik. Menggunakan sistem proporsional terbuka atau tertutup tetap modal/ mendanai, barang dan jasa. Jadi, money politics (politik uang) masih tetap ada di semua Parpol/Paslon/Caleg beda tipis antara cost politics (biaya politik) dan politik uang diatur oleh regulasi. Sebaiknya Parpol/Paslon/Caleg menggunakan politik strategi/ taktik untuk meyakinkan kepada masyarakat/ konstituen dengan menawarkan visi/ misi/ program yang jelas.
Oleh karena itu, Bawaslu dan jajarannya mendekteksi, melakukan pencegahan terjadinya transaksi. Politik uang tidak dapat dihilangkan setiap Pemilu/ Pilkada jika sistem masih seperti ini, yang dapat dilakukan adalah dengan perilaku, moral, etika berpolitik. Tetapi, apakah Parpol/ Paslon/ Caleg bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga partisipasi setiap Pemilu/ Pilkada meningkatkan kehadirannya.
Mahar Politik
Sistem Pemilu proporsional terbuka “diduga” masih ada permainan di Parpol untuk menentukan posisi nomor urut dalam pencalonan anggota DPR/DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Mahar politik, ibarat “kentut” yang dapat mencium baunya, tetapi tidak dapat melihat. Apalagi dengan sistem proporsional tertutup, maka semua terkendali di tangan Parpol.
Pemilih/ masyarakat hanya memilih Parpol yang merupakan simbol, bukan figur Caleg di Dapilnya. Hasilnya, Parpol yang menentukan siapa Caleg yang berhak ke legislatif. Di sinilah, terjadi transaksi/ mahar politik Parpol semakin besar sesuai tingkatan legislatif. Para figur/ Caleg tidak banyak mengeluarkan biaya untuk mencetak Alat Peraga Kampanye (APK) berupa banner, flayer, baliho, spanduk, tetapi semuanya dilakukan Parpol yang bersangkutan.
Tentunya Parpol/Caleg akan mendekati elite/ aktor ekonomi/ pengusaha. Merekalah yang bisa menentukan/ mengendalikan siapa yang bakal bisa berlenggang ke dewan. Hal ini, bukan rahasia lagi tetapi sudah menjadi pembicaraan masyarakat setiap Pemilu/ Pilkda para elite/ aktor ekonomi berada di belakang layar. Tidak semua pelaku ekonomi membantu para Caleg untuk tujuan tersebut, tetapi hanya kepuasan semata.
Proporsional tertutup, berarti berpolitik mengalami kemunduran dari apa yang dicita-citakan oleh reformasi tahun 1999 mampu menciptakan sistem Pemilu lebih baik lagi dari yang ada. Apakah sistem Pemilu Distrik Terbuka seperti beberapa negara atau sistem distrik murni seperti negara-negara di Eropa.
Sistem tertutup, hak rakyat “dikebiri” memilih simbol/ tanda gambar Parpol, tetapi mereka tidak dapat memilih figur/ orang yang memperhatikan rakyat di Dapilnya. Semuanya ditentukan oleh Parpol, bisa jadi Caleg bukan berasal dari Dapilnya dipilih oleh Parpol seperti memilih “kucing dalam karung.”
Rakyat harus mendapat pendidikan politik dari Parpol maupun stakeholders (pemangku kepentingan) untuk mendidik masyarakat berpartisipasi politik yang santun, moral, etika bukan semata untuk meraih kemenangan.
Penyelenggara Netral
Dalam Pemilu/ Pilkada peraturan perundang-undangan menegaskan ASN/ TNI/ Polri harus netral, tidak berpihak kepada salah satu Paslon atau Caleg untuk kepentingannya. Tetapi dengan pernyataan Ketua KPU, seolah-olah ada pesan sponsor atau atau menjadi terompet dari elite/ aktor politik/ Parpol.
Walaupun, dibantah oleh Hasyim Asyari tidak bermaksud sistem proporsional tertutup lebih baik. Hanya memberitahu jika MK memutuskan proporsional tertutup, apabila Parpol menang dan mendapat jatah kursi, mereka berhak menentukan orang yang duduk di kursi itu.
Sebaiknya penyelanggara Pemilu tidak memberikan pernyataan yang menjadi gaduh dalam suasana berpolitik. Maksud baik semua orang mengetahui hal ini, tetapi bisa saja Parpol atau elite/ aktor politik menanggapi pernyataan tersebut ada keberpihakan.
Penyelenggara Pemilu harus bersifat netral tidak membuka perdebatan di kalangan akademisi/ pemerhati politik atau Pemilu/ elite atau aktor politik. Pernyataan ini, bisa menjadi bumerang kepada penyelenggara Pemilu yang sudah bekerja keras tahapan Pemilu.
Penyelenggara Pemilu, harus taat dan tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan Pemilu. Melaksanakan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, bukan menafsirkan. Integritas penyelenggara Pemilu sangat dipertaruhkan dalam Pemilu 2024.(*)