Suatu saat, tanpa sengaja ketika membuka facebook, saya membaca sebuah status yang isinya membuat saya geleng-geleng kepala. Maklum, orang tersebut menulis luapan isi hatinya yang sedang galau, karena rumah tangganya tidak harmonis. Kekesalan pada sikap suaminya dituangkan dalam untaian kata-kata. Kontan saja, teman-teman yang mengenal dia dan suaminya jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Tak ayal, jadi bahan “diskusi” yang tentu tidak baik karena mengarah ke rasan-rasan alias gosip bin ghibah.
Mungkin niatnya hanya sekedar meluapkan emosi. Namun, ternyata berdampak buruk. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa, jadi tahu. Orang yang tadinya tidak tahu kekurangan suaminya jadi tahu urusan dalam negeri rumah tangganya.
Wanita memang gemar berbagi, utamanya berbagi cerita, termasuk berbagi isi hati alias curhat. Justru berbagi isi hati ini yang paling digemari. Buktinya, yang mengirim SMS konsultasi keluarga 90% adalah pihak istri. Sejatinya, urusan curhat menyurhat, juga kadang dilakukan oleh pihak suami. Cuma, suami kalau curhat masih pikir-pikir, lihat kiri kanan dan siapa yang diajak curhat.
Bahkan, ada sebagian yang curhatnya bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja alias nggak kenal waktu dan tempat. Dan, saat ini tak jarang ada yang nekat curhat melalui jejaring sosial, facebook, instagram, ataupun twitter. Alhasil, masalah keluarga bisa dibaca oleh sekian banyak orang.
Orang yang menceritakan permasalahan keluarga atau keretakan hubungan keluarganya, justru hakikat nya ia sedang membongkar aib keluarganya. Apalagi jika ia curhat pada orang yang tidak bisa dipercaya untuk menjaga rahasia dan tidak memiliki kemam puan untuk memberikan solusi masalah keluarga.
Alih-alih mendapat jalan keluar, yang terjadi malah aib keluarga menjadi konsumsi umum. Padahal awalnya ia hanya berniat berbagi, sekedar ingin didengarkan dan dimengerti atau hanya sekedar mencari pembelaan psikologis karena menurut pemahamannya dirinya menjadi objek penderita dari aib yang terjadi.
Memang kebiasaan ini bukan hanya didominasi kaum hawa, kaum lelaki juga tidak sedikit yang sebentar-bentar menghiasi status facebook atau akun twitter-nya dengan aneka curhatan yang sama pula tidak hati-hatinya dalam hal menjaga ukhuwah dan kehormatan sesama muslim.
Jika curhat langsung pada orang yang salah saja demikian berbahaya, apalah lagi mencurahkan isi hati terkait keretakan hubungan suami-istri atau aib keluarga lainnya dalam jejaring sosial semacam Facebook atau Twitter.
Menebar Aib
Curhat masalah keluarga di media sosial sangat tidak baik dan harus dihindari. Ada banyak pertibangan yang bisa direnungi diantaranya yang paling utama adalah kesadaran bahwa aib suami sesungguhnya adalah aib istri atau sebaliknya.
Aib keluarga siapapun itu, orangtua, anak, adik dan lain-lain sejatinya adalah aib kita juga karena kita adalah bagian dari keluarga kita. Meskipun katakanlah kita memang menjadi korban dari kesalahan dan perbuatan buruk keluarga kita, utamanya suami dan istri.
Allah Swt menggambarkan kedudukan suami bagi istri atau sebaliknya, istri bagi suami ibarat sebagai pakaian (QS. Al-Baqarah: 187). Bukankah fungsi utama pakaian adalah menutupi aurat yakni hal-hal yang jika terlihat manusia lain pemiliknya akan malu. Maka, seharusnya aib dan kekurangan pasangan itu disimpan jangan diumbar apalagi di media sosial. Semakin banyak yang melihat dan membaca, maka semakin besar pula potensi dosanya. Rasulullah Saw bersabda tentang utamanya orang yang menjaga aib saudaranya.
Bukan hanya potensi dosa, curhat di media sosial juga bisa menjadi “makanan empuk” bagi orang lain yang tidak suka dengan keluarga kita. Bahkan, kabar keretakan rumah tangga kita bisa menjadi “info” penting bagi sebagian orang. Siapa yang tahu, kalau diantara sekian banyak orang itu ada yang masih menaruh simpati bahkan cinta pada pasangan kita. Lha, kalau mereka tahu rumah tangga kita sedang renggang, dia bisa memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Saat situasi benar-benar tertekan, masalah terasa amat sulit, jangan lupa kita punya Yang Maha Kuasa. Dialah tempat mengadu. Rasulullah Saw mengajarkan sebuah do’a yang dibaca Nabi Musa As saat beliau dalam keadaan terdesak, yaitu ketika terjebak diantara kejaran tentara Fir’aun dan bentangan laut merah.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah Saw bersabda: Artinya: “Maukah kamu kuajari tentang kalimat-kalimat yang dibaca oleh Musa As ketika ia melintasi lautan bersama Bani Israil?” Kami menjawab, tentu, ya Rasulallah.” Kemudian Rasul menjawab, “Bacalah allâhumma lakal hamdu wailaikal musytaka, wa antal musta’ân, wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil adzîmi” (ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, hanya kepada-Mu Dzat yang dimintai pertolongan. Tidak ada kekuatan untuk menjalankan sebuah ketaatan dan menghindari kemaksiatan kecuali pertolongan Allah yang Maha Agung). (*)