Sejarah Islam mencatat, kedudukan dan peran perempuan mengalami pasang surut. Pada masa pra-Islam posisi perempuan berbeda dengan masa Islam. Dalam hal pernikahan misalnya, pada masa pra-Islam banyak model pernikahan yang banyak merugikan bahkan menindas kaum perempuan. Mereka tidak dihargai bahkan dari beberapa kasus, pernikahan hanya dijadikan sebagai komoditi yang bisa dipertukarkan.
Seperti pada model pernikahan Istibdha’. Pernikahan ini dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Namun setelah menikah sang suami menyuruh istrinya untuk melakukan hubungan badan dengan pria lain yang dipandang terhormat. Setelah diketahui hamil, suaminya akan menggaulinya, itu pun jika suaminya berminat. Tujuan pernikahan ini agar mendapat keturunan dari keluarga yang terhormat.
Selain itu ada model pernikahan maqhtu’, posisi perempuan di sini seperti barang yang dibawa kemana-mana dan ironisnya perempuan bisa diwarisi oleh keluarganya. Alih-alih ingin untuk memperoleh warisan dari mendiang suaminya, justru yang ada pihak perempuan menjadi “barang” warisan keluarga suaminya.
Tidak hanya itu, relasi tidak seimbang juga ditampilkan ketika perempuan kehilangan eksistensi kemanusiaannya. Seperti diungkapkan Umar bin Khatab, sebelum dirinya masuk Islam. Ia menganggap lahirnya anak perempuan bagaikan aib bagi keluarga. Apalagi jika mereka mempunyai kedudukan yang terhormat dalam kelompok masyarakat.
Menurut Quraish Shihab ada tiga alasan mengapa masyarakat jahiliyah membunuh anak perempuan. Pertama, orang tua takut miskin karena harus menanggung biaya anak perempuan yang tidak mandiri dan tidak produktif.
Kedua, karena ketakutan orang tua jika anak perempuannya diperkosa atau berbuat zina. Ketiga, kekhawatiran orang tua jika terjadi peperangan antar suku, maka anak perempuannya akan menjadi tawanan musuh.
Berbeda dengan perempuan, peran laki-laki pada umumnya memperoleh kesempatan yang lebih besar. Dalam konteks masyarakat kabilah misalnya, perang dianggap sebagai salah salah satu kesempatan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Tugas perang umumnya dipegang laki-laki. Jika menang dalam suatu perang, maka laki-laki yang berkompeten akan mengatur harta rampasan (ghanimah).
Titik Balik Perempuan
Hadirnya Islam di tengah-tengah kaum jahiliyah ternyata membawa perubahan besar bagi bangsa Arab secara umum. Keberadaan perempuan diakui dan posisinya diangkat setingi-tingginya. Rasulullah Saw menyebarkan nilai-nilai Islam tanpa memiliki rasa kebencian. Beliau mampu menjalankan misi Islam dengan sangat baik dan mengedepankan rasionalitas. Islam yang dibawa Rasulullah Saw menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sejajar.
Kehadiran Rasulullah Saw sebagai seorang revolusioner sejati membawa perubahan besar bagi perempuan dan kehidupan secara umum. Perempuan di mata Islam tidak dipandang sebagai manusia nomor dua (the second class). Hal tersebut terbukti dalam sabda beliau, “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik orang di antara Kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya.”
Dari hadits tersebut mengandung makna, pertama hubungan akhlak yang baik dengan kesempurnaan iman seseorang. Seseorang yang baik karena mempunyai iman yang benar hal tersebut bermakna tanda kesempurnaan iman itu terletak pada akhlak yang baik.
Kedua, hadits tersebut menunjukkan kepada kita bahwa akhlak yang baik ditujukan kepada keluarga kita, dari istri anak-anak kita hingga keluarga terdekat kita, sebelum kepada orang-orang selain mereka.
Rasulullah Saw kerap mempercayakan kepada Ar-Rubayyi’ binti Mu’awidz untuk menjadi garda terdepan dalam merawat korban perang. Dalam riwayat lain perempuan yang terkenal dengan kecerdasan dan wawasan yang luas ini berkontribusi besar dalam urusan menyiapkan logistik.
Said Aqil Siraj dalam bukunya Tasawuf sebagai Kritik Sosial menyebut, setidaknya ada 1.232 perempuan yang menerima dan meriwayatkan hadits. Bahkan Aisyah tercatat sebagai salah satu dari tujuh bendaharawan hadits, beliau sendiri meriwayatkan 2.210 hadits.
Maka tidak heran jika di sekitar Rasulullah Saw ditemukan sederet nama perempuan yang memiliki prestasi cemerlang. Karena pada prinsipnya Islam yang dibawa nabi tidak membedakan antara hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Islam mengedepankan konsep keadilan bagi semua golongan. Islam sebagai agama paripurna mempunyai misi membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kejumudan.
Refleksi Kritis
Namun, sejarah mencatat kedudukan perempuan setelah masa kenabian sepertinya mengalami kemunduran. Perempuan sepeninggal nabi mengalami marginalisasi di ruang publik. Hal tersebut sebagai penanda bahwa umat Islam setelah nabi tidak sepenuhnya “move on” dari tradisi patriarki. Maka untuk meneruskan misi tersebut, diperlukan usaha untuk terus belajar memahami dan mengeksplorasi “ayat-ayat kesetaraan gender” dalam Al Qur’an.
Penafsiran ulang tentang makna Arrijalu Qowwamuna ‘Alannisa misalnya, memiliki interpretasi yang berbeda. Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebencian (Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an) mengatakan bahwa istilah gender dalam Al-Quran memiliki makna yang signifikan.
Dalam buku tersebut, makna ar-rijal tidak identik dengan jenis kelamin laki-laki saja. Tetapi lebih bermakna sosiologis yang berarti maskulin. Maka dalam konteks rumah tangga, bisa diartikan sebagai pihak yang aktif bekerja dan mencari nafkah untuk keluarganya.
Dengan demikian tidak hanya suami saja yang menyandang sebutan ar-rijal, namun jika seorang istri yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka istri juga menyandang ar-rijal. Sedangkan istilah an-nisa, yang bermakna feminim, bisa saja dari pihak laki-laki maupun istri yang berperan pasif dalam kehidupan sosial. Jika mengikuti pemahaman ini, maka laki-laki yang tidak bekerja dalam lingkup keluarga, maka laki-laki tersebut bisa disebut feminim.
Proses penafsiran dan pamahaman seperti ini agaknya perlu digiatkan. Bukan tanpa alasan, pasalnya interpretasi semacam ini membawa masyarakat pada sikap yang lebih kritis dan terbuka. Dengan demikian, spirit Islam yang ditampilkan adalah Islam yang egaliter, humanis, adil tanpa ada ketimpangan dalam praktik-praktik sosial. Bukankah Rasulullah Saw membawa Islam dalam rangka membebaskan umat dari belenggu penindasan dan kebodohan? (*)