Awas, jangan mau jadi seperti lato-lato. Ditarik dan dibenturkan, itu inti permainan yang saat ini lagi digandrungi banyak orang. Permainan ethek-ethek ini tak ubahnya seperti permainan dalam dunia politik. Apalagi di tahun politik jelang kontestasi pemilu 2024 mendatang. Potensi benturan di antara pendukung kandidat tertentu yang sedang ikut berkontestasi bakal tinggi. Benturan politik, seperti layaknya benturan bola lato-lato harus diwaspadai.
Terkait dengan tren lato-lato, Habib Husein Ja’far mengingatkan lewat kontennya yang viral di berbagai laman media sosial (medsos). Habib yang banyak berdakwah lewat medsos ini menyampaikan bahwa intinya masyarakat jangan mau dibenturkan, biar kita tak jadi mainan. Pesan dari pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa kita jangan mau di adu domba (namimah), terutama dalam situasi jelang kontestasi politik.
Seperti diketahui bahwa adu domba merupakan salah satu perbuatan tercela dengan cara menyebarluaskan berita yang tak benar dan fitnah dengan tujuan agar di antara individu, kelompok, maupun masyarakat luas tak saling menyukai satu sama lain sehingga menimbulkan permusuhan. Benturan sering terjadi lewat cara adu domba hingga berpotensi menimbulkan seteru dan perpecahan.
Berkaca dari kontestasi politik dalam setiap penyelenggaraan pemilu selalu saja muncul benturan di antara para pendukung partai dan politisi tertentu. Beragam narasi yang bernada adu domba bermunculan lewat aneka platform medsos. Perang narasi pun tak bisa dielakkan dan semakin sengit karena seteru narasi di dunia maya itu bisa berimbas ke dunia nyata berupa aksi-aksi fisik yang destruktif.
Benturan Narasi Tuna Etika
Perang narasi politik tak bisa dielakkan di tahun politik. Di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, lewat narasi politik punya peran yang sangat strategis. Tak jarang beragam narasi dibuat dengan segala cara, termasuk dengan membuat narasi-narasi kebohongan dan tak beretika. Narasi tuna etika sejatinya bisa berpeluang dapat memicu benturan dan perpecahan di tengah masyarakat.
Banyak kalangan menyesalkan perilaku politik yang dimainkan sejumlah politisi yang jauh dari etika. Praktik politik berlangsung kasar. Ini seperti perilaku di negeri bar-bar yang mengedepankan okol dari pada akal. Otot lebih mendominasi daripada otak. Kampanye dengan saling olok dan serang tak jarang muncul di pemberitaan media. Politik tidak lagi menyejukkan dan menimbulkan kedamaian karena perilaku politik tidak menjunjung etika (tuna etika).
Dalam pemahaman sederhana, politik bisa diartikan sebagai segala cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Berbagai cara yang dimaksud dalam praktiknya dimungkinkan dijalankan dengan cara-cara kasar, jauh dari kesantunan. Kalau cara-cara hitam yang ternyata banyak muncul itu artinya praktik politik dalam kualitas yang rendah. Praktik politik rendah ini berkorelasi pada kualitas demokrasi yang rendah pula.
Hanya melalui praktik politik beretika yang akan mengangkat politik menjadi berkualitas elegan, berwibawa, dan santun. Sementara praktik politik tuna etika hanya akan membuat masyarakat muak dengan politik. Ujung-ujungnya masyarakat tidak akan tertarik bahkan apatis pada politik. Sikap apolitis masyarakat tentu tidak dikehendaki dalam menumbuhkan kehidupan berdemokrasi yang ideal.
Para politisi idealnya menunjukkan cara berpolitik yang baik agar masyarakat mendapatkan pendidikan politik yang baik pula. Situasi politik yang beretika hanya bisa diubah oleh perilaku politik yang mampu memberi keteladanan melalui praktik politik yang santun. Negeri ini kekurangan politisi yang bisa jadi panutan yang mampu memberi contoh dan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Pada tahun politik saat ini semua pihak hendaknya menciptakan narasi politik yang lebih substantif. Hindari memroduksi narasi politik yang bersifat menyindir kelompok tertentu dan bisa berujung dengan seteru. Beragam persoalan bangsa perlu penanganan serius dan rakyat menunggu berbagai ide dan gagasan dari para kandidat bagaimana konsep menyelesaikan permasalahan bangsa ke depan.
Bila narasi politik dibangun dengan sikap kesantunan dan menjunjung etika maka tidak ada lagi narasi politik sampah. Narasi sampah hanya akan bikin ramai suasana namun tidak ada nilai edukasinya bagi masyarakat. Narasi politik yang berupa adu program dan gagasan akan jauh lebih bermakna daripada sekadar narasi politik yang saling jegal dan merasa kelompoknya yang paling benar sendiri. Bila perilaku politik lebih mengedepankan seteru dan permusuhan tentu bisa berimbas pada menurunnya partisipasi politik masyarakat.
Jangan Benturkan Rakyat
Berkaca pada kontestasi pilpres beberapa tahun lalu telah terjadi pembelahan di masyarakat. Bahkan seteru yang terjadi di masyarakat berlarut-larut hingga kontestasi sudah ditentukan pemenangnya. Kontestasi politik menciptakan situasi biner antara cebong versus kampret waktu itu. Antara masing-masing pendukung kandidat terjadi konflik kepentingan hingga muncul keterbelahan dalam masyarakat.
Bisa jadi, dalam kontestasi politik mendatang cara-cara dengan memicu benturan masyarakat masih akan terjadi. Para elit politik yang culas biasanya tak segan-segan memainkan lato-lato politik dengan membenturkan antar kelompok masyarakat. Sepertinya, seteru antara kadrun dan cebong bakal terus berlanjut dari pemilu ke pemilu. Indikasi itu sudah mulai terlihat lewat narasi yang bertebaran di medsos. Situasi ini patut diwaspadai dan diantisipasi oleh semua pihak.
Semua harus mengedepankan persatuan dan kesatuan. Sungguh tak mudah merawat kemajemukan dan mempersatukan segala perbedaan. Sejarah telah mencatat terjadinya konflik politik masa lalu hendaknya menjadi pelajaran berharga agar peristiwa yang sama tak terulang. Politik identitas yang melahirkan seteru cebong, kampret, kadrun, atau apapun namanya harus bisa diantisipasi hingga tidak menjadi bibit konflik yang abadi.
Masyarakat hendaknya juga terus kritis dan jangan mau dijadikan barang mainan seperti lato-lato. Masyarakat harus menolak kalau dijadikan bahan mainan oleh para elit politik. Publik harus punya sikap agar tak mudah ditarik-tarik dan dibentur-benturkan layaknya bola lato-lato. Semoga para politisi dan pemimpin partai politik semakin santun dan beretika sehingga kontestasi politik dapat dijalani dengan baik dan bermartabat.
Permainan politik layaknya lato-lato harus disudahi. Permainan dengan membenturkan antar kubu hanya akan menjadikan seteru tak berkesudahan. Wajah politik jadi serem. Pada kadarnya yang akut, tidak menutup peluang masyarakat akan apatis pada politik. Sang politisi yang idealnya jadi panutan justru berperilaku tak etis. Situasi ini bisa mencederai demokrasi karena politik berjalan tanpa kesantunan dan keadaban. (*)