.
Friday, December 13, 2024

Literasi Sampai Mati

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Istilah literasi dalam beberapa tahun terakhir menjadi begitu populer. Hal tersebut tentu sebuah realita yang cukup menggembirakan di tengah anggapan beberapa pihak bahwa dunia literasi di Indonesia masih dalam kategori rendah—baik secara kuantitatif dengan menghitung jumlah infrastruktur yang tersedia maupun secara kualitatif dengan mengukur kedalaman dan outcome (positive effect)dari aktivitas literatif yang dilakukan.

Tentu anggapan tersebut tidak berlaku bagi beberapa kelompok yang lain, mengingat jika istilah literasi di artikan secara lebih kontekstual—maka sesungguhnya mayoritas aktivitas manusia menjadi bagian dari perjalanan literatif.

Mulai dari aktivitas pengasuhan (parenting)antara orang tua dengan anak terkait dengan transfer of social dan cultural values,beragam aktivitas di lingkungan sosial, di lingkungan kerja, di lingkungan sekolah, di lingkungan pesantren dan berbagai tempat ibadah—bahwa hakikatnya semua itu bagian dari aktivitas literatif yang artinya tidak hanya diartikan secara sempit hanya terkait dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung).

Lebih lanjut, bahkan dalam konteks faktual—dunia literasi di tuntut untuk mampu secara aktif menjawab berbagai persoalan yang sedang running. Misalnya literasi politik sebagai sarana pendidikan politik publik untuk pencapaian demokrasi yang lebih subtantif. Literasi hukum untuk mendorong law enforcementdan social justice. Literasi media dan teknologi untuk menepis hegemoni berita hoaks.Literasi budaya untuk menguatkan karakter dan nasionalisme bangsa dari terpaan liberalisasi sampai berbagai pengaruh ideologi ekstrimisme transnasional. Literasi kesehatan khususnya di masa pandemi Covid-19 dalam tiga tahun terakhir yang menjadi momentum edukasi masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan.

Bahkan jika kita jauh menelusur jejak kehidupan masyarakat nusantara di masa lampau, dengan ditemukannya berbagai artefak kehidupan manusia purba—misalnya yang pertama adalah Meganthropus Paleojavanicus yang memiliki tinggi 2,5 meter dan diperkirakan hidup pada 1,9 juta tahun yang lalu bahwa walaupun masih dalam fase kehidupan berburu makanan dan meramu obat-obatan (food gathering),tetapi bahwa kemampuan mereka dalam aktivitas purba tersebut juga sesungguhnya bagian dari kualitas literatif di masanya.       Dengan dibekali kemampuan untuk berpikir (skill of thinking),maka manusia memiliki kemampuan lebih dari sekadar makhluk yang lain. Artinya dalam paradigma yang kontraproduktif, maka fase peradaban manusia tidak akan pernah sampai di era digital yang touchscreensaat ini, jika mereka tidak memiliki kemampuan literasi sejak awal kehidupan peradaban manusia—maka tidak akan pernah terjadi pergantian zaman batu ke zaman logam, dari revolusi hijau ke revolusi industri, dari peradaban food gatheringke masyarakat fast fooddan demikian seterusnya.

Bahkan, tampilnya Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 masehi sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia yang tersebar di India, Eropa sampai Mesir—menjadi bukti otentik bahwa manusia nusantara sudah lama memiliki kecerdasan literasi yang tidak kalah kualitas dengan imperium Romawi atau Mesir Kuno.        Untuk mengemukakan semua bukti forensicterkait dengan hal tersebut, tentu tidak akan pernah selesai, mengingat betapa kaya bangsa kita dengan modal multikulturalisme yang membentang dari ujung Barat-wilayah Sabang sampai ujung Timur-wilayah Merauke.

Literasi sampai mati

          Persoalan berikutnya adalah bagaimana generasi saat ini terus menumbuhkan kuantitas dan kualitas literasi yang sudah membentang sejak abad kehidupan purba. Kehidupan kita saat ini begitu dimanjakan oleh berbagai piranti teknologi informasi dan komunikasi yang senantiasa keep in touch dalam setiap aktivitas, gerak dan langkah bahkan dalam setiap detak jantung dan hela nafas.           Teknologi menjadi lebih dari sekadar kebutuhan dan prestige, karena telah menjadi sebuah keniscayaan. Hampir bisa dipastikan bahwa manusia di 21st century saat ini tidak bisa hidup tanpa teknologi. Walaupun hal tersebut tentu tidak berlaku mutlak, masih ada beberapa kehidupan masyarakat tradisional di suku-suku adat terpencil atau suku-suku pedalaman yang masih menutup diri dengan dunia luar.

          Tetapi pada umumnya, mayoritas kita telah berkompromi dengan teknologi. Oleh sebab itu, dalam konteks dan semangat untuk terus menghidupkan semangat literasi sampai di level akar-rumput (grassroots)—maka opsi untuk menjadikan teknologi sebagai alat, media atau sarana literasi menjadi pilihan rasional.

          Istilah literasi digital menjadi jawaban atas tuntutan generasi high-techera revolusi 4.0 saat ini. Ketersediaan berbagai fasilitas seperti layanan ­e-library dengan stok e-bookserta sarana lain seperti video conference, video call dan online meeting platformstelah berhasil memangkas jarak, ruang dan waktu yang sebelumnya menjadi salah satu alasan munculnya kesenjangan dan jarak sosial (social distance).

           Sebagaimana analog bahwa uang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang. Pun begitu pola relasi antara literasi dengan teknologi. Proses pengasuhan yang dilakukan oleh para orang tua tidak bisa lagi dilakukan secara tradisional dalam perspektif klasik sebagaimana pada era generasi baby boomers(lahir tahun ’46-‘64), karena aktivitas parentingsaat ini harus berbasis teknologi dengan memanfaatkan media sosial (medsos).        Artinya, orang tua dituntut untuk familiar dengan medsos karena mayoritas aktivitas remaja saat ini berada di dunia yang serba online. Demikian juga dengan konteks literasi di lingkungan sekolah baik formal ataupun non-formal, semua harus open mindedterhadap realitas sosial tersebut.

          Keberadaan perpustakaan, baik di sekolah, pesantren, tempat ibadah dan di Taman bacaan masyarakat (Tbm) akan ditinggalkan jika hanya menyediakan text bookyang terkesan ‘jadul’ bagi mereka. Walaupun, hadirnya teknologi juga harus diartikan secara bijak dan proporsional, ini sekadar alat, media dan sarana untuk mempermudah dan mempercepat—bukan tujuan akhir dari kehidupan. Literasi terus akan terus bergulir sampai akhir peradaban manusia, baik dengan atau tanpa teknologi.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img