.
Friday, December 13, 2024

Ghulam Najmudin, Sukses Lewat Ilustrasi di NFT

Sempat Jual Sketsa di Alun-Alun, Kini Punya Studio Sendiri

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Beradaptasi dengan perubahan zaman, Ghulam Najmudin menemukan jalan hidup. Pria 29 tahun ini menggeluti seni digital. Dia  ilustrator yang jasanya dihargai mahal. Kini punya studio sendiri walau sempat alami jatuh bangun.

=====

Sam Ghulam, ia  akrab disapa. Siang hingga malam waktunya banyak berada di depan komputer dan tablet menggambarnya. Saat ditemui, Kamis (2/2) kemarin, Ghulam sedang asyik mengekspolrasi gambar digital  di studionya di Jalan Kemantren 2, Bandungrejosari Kecamatan Sukun Kota Malang.

Dia bekerja bersama 10 rekannya yang lain di studio. Studio itu dibangun dari jerih payahnya selama beberapa tahun terakhir.

“Kalau seni sejak dulu, dari kecil yang saya selalu ingat itu karena suka menonton film kartun dan baca komik. Itu yang membuat saya ingin bisa menggambar,” cerita pria ramah ini.

Seni menjadi jalan hidupnya. Ghulam kecil kenangnya, adalah orang yang cukup beruntung. Dikelilingi oleh orang yang juga mendukung kesukaannya. Terutama orang tuanya yang merupakan akademisi dan wirausaha.

“Dulu bapak saya mengarahkan les gambar di tetangga. Cukup lama saat SD sampai kelas lima. Hobi gambar juga nonton film kartun. Terus main game, itu yang menjadikan saya selalu berhadapan dengan gambar-gambar dan ilustrasi, animasi,” kenang dia.

Ghulam lalu sekolah di SMKN 5 Malang. Jurusan Animasi yang dipilihnya. Sedangkan kuliahnya di STIKI Malang. “Saya merasa beruntung karena orang tua mengajarkan tidak bergantung pada orang lain. Melihat ibu saya pameran di mana-mana menginspirasi saya. DKV  menjadi pilihan yang realistis untuk bisa tetap menjalani hobi tetapi nantinya ingin menghasilkan,” katanya.

Hanya saja saat belum lulus kuliah, Ghulam dihadapkan situasi yang mengharuskannya membantu sang ayah di Kalimantan. Ia diminta untuk menemani di sana. Di tempat kampus ayahnya mengajar, ia menjadi sales. Di bawah marketing yang bertugas mempromosikan kampus swasta ke sekolah-sekolah. Sempat ditawari menjadi kepala marketing dengan syarat ijazah S1. Namun ia menolak. Alasannya karena   mengambil S1 di Malang yang harus diselesaikan. Mau tak mau harus melakukan pekerjaan di Malang.

“Akhirnya saya freelance. Apapun kerjaan yang berhubungan dengan gambar saya kerjakan. Saat itu mengajak beberapa teman. Mulai membuka jasa menggambar manual sketsa wajah. Sampai menawarkan di Car Free Day (CFD) dan Alun-Alun Malang, gambar sketsa wajah manual dan digital,” katanya. 

“Dari sana ternyata bisa menghasilkan setara gaji saya kerja di kampus waktu itu. Akhirnya saya memutuskan bilang ke orang tua mau usaha,” sambung alumnus STIKI Malang ini.

Tepatnya di antara tahun 2013-2014, lambat laun ia  dikenal karena  karya-karyanya menggambar sketsa. Mulai harga Rp 150 ribu untuk satu file sketsa, ia menjual konvensional dan secara online di situs-situs penjualan aset digital. Sampai pada akhirnya berada di titik jenuh. Orderan yang ia terima membeludak dan masih dikerjakan sendiri.

“Saya akhirnya berpikir membuat studio, namanya Ghulam Rock. Ngajak beberapa teman, waktu itu hanya lima orang untuk beberapa divisi. Baik ilustrasi, branding dan marketing,” katanya. Lama kelamaan, usahanya itu membuahkan hasil positif. Grafik pendapatanya naik hingga beberapa tahun setelah dipatenkan nama Ghulam Rock. Dia lalu menerima masukan dari kliennya di luar negeri, bahwa nama brand yang ia buat sulit diingat pangsa pasar. Ghulam lalu mengubahnya menjadi Grax Studio sampai sekarang.

Dia menghadapi masa tumbuh usahanya sampai tahun 2019. Saat   Covid-19 mulai datang, seakan-akan apa yang ia kerjakan tak terdampak pandemi secara ekonomi. Termasuk bisa menerima magang siswa SMK dan mahasiswa, bekerja sama dengan perguruan tinggi.

Hingga di satu titik, omzet studionya turun drastis. Orderan mulai sepi. “Benar-benar menurun sampai 80 persen. Saya akhirnya meminjamkan peralatan ke pekerja untuk digunakan semua sendiri-sendiri. Karena saya tidak mampu membayar. Sekitar dua tahunan sampai saya bisa mencapai titik balik,” jelasnya.

Kenalannya dengan asosiasi desainer grafis dan komunitas yang menaunginya   memberikan jalan. NFT tepatnya atau Non-Fungible Token. NFT adalah aset digital dengan menggunakan teknologi blockchain yang bisa dibeli dengan Crypto. “Belajar dari teman saya di Surabaya, pelan-pelan memahami kalau yang diperlukan tidak hanya gambar bagus. Tetapi personal branding dan nilai yang ditawarkan dari seni. Sehingga bisa dibeli oleh kolektor atau seniman lain,” terangnya.

Agustus 2021 lalu  ia mulai menekuni NFT sebagai aset digital yang bisa diproduksi dengan ilustrasi buatannya. Nasib baik menghampiri, NFT membawanya bangkit dari keterpurukan. “Bisa menjalankan studio lagi. Orangnya juga baru karena yang lama sudah usaha sendiri. Sekarang ada 11 orang yang membantu,” kata Ghulam.

Sejak ia tekuni NFT, personal branding mulai dibangunnya. Menemukan ciri khas dan nilai jual baru di karya ilustrasinya. “Ternyata kenyamanan saya di gaya American Comic. Dari sana bangkit setelah dua tahun,” ungkapnya. Ghulam tak hanya  membuat ilustrasi bagi kolektor, namun juga sistem support artist atau pembelian dilakukan oleh seniman lain di dunia aset digital.

“Kalau gambarannya ya di Indonesia, karya saya satu dijual Rp 500 ribu. Tetapi kalau di NFT bisa Rp 10-50 juta,” papar Ghulam. Ia kini semakin semangat dan terus memupuk harapan dan impiannya menjadi ilustrator hebat. Terlebih dengan gaya American Comic-nya itu.  (muhammad prasetyo lanang/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img