.
Wednesday, December 11, 2024

KUHP: Awal Tergerusnya Demokrasi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Selasa, 6 Desember 2022 lalu, merupakan hari bersejarah bagi Indonesia karena lembaga perwakilan rakyat telah membuat barikade tinggi untuk membungkam suara masyarakat. Tidak heran jika terlihat seperti itu karena lembaga ini kebanyakan diisi oleh orang-orang yang berafiliasi oleh pemerintah.

Bisa dilihat bahwa produk dari dewan perwakilan rakyat ini bermasalah. Banyak sekali kritik dan masukan dari berbagai instrumen masyarakat serta dewan pers yang menolak pengesahan KUHP ini. Mereka mengatakan bahwa undang-undang ini harus ditinjau kembali dan harus melibatkan pihak-pihak yang berkaitan.

Seperti pada pasal 263 ayat 1 “Setiap orang yang menyiarkan atau menyebar luaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat akan dipidana penjara paling lama 6 tahun.” Pasal ini sangat rentan bagi wartawan karena pers tidak bisa bebas memberitakan kejadian berdasarkan hasil liputan wartawan.

Sumber berita tidak hanya dari ucapan narasumber atau data tertulis namun sumber berita juga berasal dari pengalaman wartawan yang mengamati secara langsung kejadian di lapangan sehingga jika berita yang dihasilkan berdasarkan pengalaman dari wartawan dan menimbulkan keonaran sudah dapat dipastikan wartawan tersebut akan dihukum dengan dugaan menyebarkan kabar yang menimbulkan keonaran.

Dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa KUHP sudah mencederai kebebasan pers. Padahal pers merupakan salah satu pilar demokrasi di Indonesia. Jika kita melihat data dari Reporter Without Borders (RSF) Timor Leste memiliki indeks kebebasan pers terbaik se-Asia Tenggara pada tahun 2021.

Tidak hanya pasal 263 namun ada juga pasal-pasal yang membuat tergerusnya demokrasi seperti pasal 218 dan 240 ayat 1 KUHP. Pada pasal 218 disebutkan bahwa “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat martabat presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau dipidana denda kategori IV sebesar Rp 200.000,000.”

Dan juga pada pasal 240 ayat 1 yang mana “Setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara akan dipidana paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 6.000.000.” Hal ini menjadi kontradiksi karena demokrasi pada umumnya diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat untuk rakyat di Indonesia sendiri namun belakangan ini telah gugur.

Dan dapat kita lihat semenjak meledaknya gerakan mahasiswa pada tahun 1998 untuk mereformasi pemerintahan serta kehidupan politik Indonesia, pada saat itu merupakan awal dari terbitnya demokrasi yang sesungguhnya. Banyak Undang-Undang yang membungkam masyarakat dihapuskan oleh pemerintahan baru serta membuka seluas-luasnya kebebasan berpendapat, pers dan politik.

Saat ini seakan kita balik ke zaman orde baru yang pernah dilalui oleh para pejuang 98 dan orang tua kita yang terbatas ruang geraknya dalam menyampaikan pendapat atau kritikan kepada pemerintah.

Sudah nyata terpampang di depan mata bahwa DPR tidak lagi membawa suara rakyat akan tetapi mereka hanya membawa kepentingan para elite politik dan mereka sendiri. Pasal 218 KUHP di atas merupakan pasal karet dan tidak logis ada dalam sistem politik yang demokrasi, mengapa? Karena dalam sistem demokrasi rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam menentukan pemimpinnya sehingga rakyat berhak mengkritik kinerja dari orang-orang yang dia pilih.

Begitu pun pada pasal 240 ayat 1 di atas yang bisa dibilang sangat membatasi masyarakat dalam mengkritik lembaga pemerintahan. Karena yang kita ketahui kritik dan menghina memiliki dua definisi yang berbeda namun sangat sulit dibedakan dan sangat besar kemungkinannya akan dipidana. Bagaimana tidak yang menjalankan KUHP merupakan aparat penegak hukum.

Memang sudah dijelaskan oleh Wamenpolhukam Profesor Edward Omar Sharief Hiariej, tugas yang paling terberat adalah sosialisasi kepada penegak hukum setiap pasal yang ada. Akan tetapi penulis sangat skeptis dengan sosialisasi apakah para penegak hukum dapat memahami pasal-pasal tersebut dengan redaksi yang sulit untuk dimengerti. Dan bisa saja para penegak hukum salah kaprah dalam melaksanakannya.

Ketiga pasal di atas tentu sudah dipastikan merupakan benih-benih dari degradasinya demokrasi di Indonesia. Bahkan United Nation sempat melayangkan kritik terhadap KUHP, mereka menyatakan bahwa mereka khawatir atas KUHP salah satunya pada pasal yang berpotensi kriminalisasi kerja jurnalistik dan kebebasan pers.

Demokrasi memiliki tujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dengan konsep yang mengedepankan keadilan, kejujuran dan keterbukaan. Dan dalam kehidupan bernegara tujuan demokrasi meliputi kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat sehingga untuk mencapai tujuan itu jangan ada tembok yang harus menghalangi suara rakyat kepada pemerintah.

Karena pada dasanya senjata masyarakat untuk menyadarkan pemerintah jika mereka sudah keluar dari jalurnya hanya kritik dan bersuara. Lantas DPR mana kok tidak dianggap? Karena mereka tidak pantas disebut sebagai wakil rakyat. Mereka hanya memikirkan bagaimana lima tahun ini suaranya tetap ada dan bisa terpilih di periode berikutnya.

Pada akhirnya Indonesia harus berkaca ke Timor Leste dalam hal demokrasi, karena negara tersebut memilik indeks demokrasi yang hampir sempurna berdasarkan informasi dari RSF (reporter without borders). Merekamenyusun Indeks Kebebasan Pers dari beberapa indikator, yakni politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan.

Penilaian kemudian dihitung dari dua komponen, yakni penghitungan kuantitatif atas pelanggaran terhadap jurnalis dan analisis kualitatif terhadap situasi di berbagai negara berdasarkan tanggapan para pakar. Dari situ kita bisa lihat bahwa negara yang baru saja merdeka 20 tahun yang lalu bisa menerapkan konsep demokrasi yang adil dan condong kepada kesejahteraan rakyat.

Jadi pemerintah serta DPR harus memikirkan ulang dan lebih baik menghapus setiap pasal yang bermasalah agar aparat, para penegak hukum tidak salah tafsir dan tidak sewenang-wenang. Tiga tahun untuk sosialisasi penulis rasa kurang cukup untuk merubah mindset para penegak hukum Indonesia terkhususnya kepolisian.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img