Pembelajaran berbasis digital menjadi pilihan yang tepat pada masa pandemi Covid 19 beberapa saat yang lalu. Namun bukan berarti pascapandemi pembelajaran berbasis digital tidak diperlukan lagi. Blanded learning sebagai model pembelajaran dengan memadukan antara pembelajaran online dan offline masih merupakan pilihan yang tepat dan menarik pada era ini.
Sebagai salah satu bentuk pembelajaran berbasis digital untuk blanded learningadalah pemanfaatan e-modul produk aplikasi Sigil. Produk e-modul dengan aplikasi Sigil tidak memerlukan koneksi internet (off-line). Dengan demikian produk e-modul ini bisa dipergunakan dalam pembelajaran di tempat yang jauh dari jangkauan jaringan internet. Siswa bisa mengakses e-modul mempergunakan android dengan menginstal aplikasi supreadermelalui play store.
Pemanfaatan e-modul sebagai media pembelajaran sekaligus merupakan filter penggunaan android yang dimiliki siswa. Semakin tinggi frekuensi penggunaan android untuk pembelajaran, tentu saja mengurangi frekuensi penyalahgunaan android di lingkungan pelajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa kecenderungan siswa memanfaatkan android lebih banyak di luar kepentingan pembelajaran. Frekuensi pemanfaatan android di kalangan pelajar untuk sosial media dan game jauh lebih tinggi. Dengan pembelajaran berbasis digital mempergunakan e-modul diharapkan dapat menekan tingginya frekuensi ini.
Media dan sumber belajar konvensional berbentuk tulisan tanpa media audio atau video tampaknya kurang mampu menarik minat siswa. Media pembelajaran yang cenderung interaktif sebagaimana e-modul dimungkinkan dapat meningkatkan ketertarikan dan daya baca siswa. Dengan kondisi ini, e-modul mempunyai andil dan peran yang besar untuk mengubah cara pandang siswa dalam mempelajari sebuah materi pelajaran sekaligus meningkatkan daya literasi, minat baca, dan kompetensi siswa.
Media pembelajaran merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Apa pun kurikulum yang dipergunakan, kedudukan media pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan. E-modul sebagai salah satu jenis media pembelajaran kekinian dengan memanfaatkan teknologi merupakan salah satu pilihan menarik dan tepat untuk dipergunakan dalam proses pembelajaran.
Modul elektronik atau biasa disebut dengan e-modul, didefinisikan sebagai suatu media pembelajaran dengan menggunakan komputer yang menampilkan teks, gambar, grafik, audio, animasi dan video dalam proses pembelajaran (Nugraha, Subarkah dan Sari, 2015).
Karakteristik e-modul yang cenderung bersifat interaktif, bisa menyajikan gambar, audio, dan video menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa untuk mencoba belajar secara mandiri.
Di sisi pemanfaatan fasilitas android yang dimiliki siswa menjadi tujuan penting dalam pembelajaran berbasis e-modul. Terlepas dari semua hal tersebut tentu saja e-modul merupakan tambahan khazanah sumber belajar berbasis media digital.
Sebagai salah satu jenis media pembelajaran yang menawarkan berbagai keunggulan, e-modul bisa dijadikan sebagai bahan remedial (remedial teaching)atau pengayaan (enrichment learning) di samping dapat dipergunakan secara langsung dalam pembelajaran.
Dengan mempergunakan e-modul, siswa memiliki keleluasaan untuk menentukan kecepatan belajarnya karena tidak bergantung dengan teman lainnya secara klasikal. Pembelajaran dengan layanan individual bisa dilaksanakan dengan lebih mudah jika guru mempunyai perbendaharaan e-modul yang cukup bervariasi berdasarkan materi pembelajarannya.
Tentu saja hal ini bisa diperoleh dengan cara memberdayakan kompetensi guru dalam MGMP-nya. Kerja sama saling menguntungkan bisa dilaksanakan dalam MGMP untuk menghasilkan beragam materi pembelajaran dalam versi e-modul.
Proses pembelajaran di kelas yang tidak memperhatikan kecepatan dan karakter belajar siswa, cenderung bersifat klasikal. Dalam layanan klasikal guru bisa memilih metode dan model pembelajaran yang memang sesuai dengan layanan klasikal.
Namun pergeseran paradigma terus terjadi dalam pembelajaran modern. Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka lebih bersifat memberikan layanan pembelajaran kepada siswa berbasis perbedaan.
“Keragaman layanan dari tinjauan perbedaan karakteristik peserta didik disebut dengan diferensiasi pembelajaran. Ketika peserta didik datang ke sekolah, mereka memiliki berbagai macam perbedaan baik secara kemampuan, pengalaman, bakat, minat, bahasa, kebudayaan, cara belajar, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya” (Mariati, Purba, dkk.,2021:26).
Dalam hal ini layanan individual atau kelompok dalam pembelajaran menjadi pilihan mutlak bagi guru untuk mendesain model pembelajarannya. Layanan pembelajaran berdiferensi tanpa mempergunakan bantuan e-modul akan sangat berbeda dengan layanan berbasis e-modul.
Perbedaan tersebut akan tampak pada kemandirian siswa, karena dalam e-modul sudah didesain sedemikian rupa agar siswa dapat belajar secara mandiri dan guru hanya bertindak sebagai fasiltator. Sedangkan dalam layanan tanpa e-modul, sudah barang tentu guru harus menyediakan waktu dan energi yang lebih banyak karena harus melayani sekian banyak perbedaan.
Jika hanya dalam sekali proses pembelajaran, mungkin pelaksanaan masih bisa maksimal, namun jika dalam satu hari harus melayani lebih dari dua kelas dalam proses pembelejaran berdiferensiasi, bisa dipastikan tidak akan berjalan secara maksimal.
Pembelajaran berbasis e-modul akan memberikan pengalaman yang berbeda kepada para siswa. Kebiasaan belajar secara terbimbing, terstruktur, bahkan terpimpin oleh guru akan mulai ditinggalkan. Guru benar-benar bertindak sebagai fasilitator bukan mutlak sebagai sumber belajar.
Dalam pembelajaran reguler (non e-modul), sangat mungkin guru akan menjadi tokoh sentral yang melayani semua siswa dengan segala perbedaan karakteristik belajarnya. Guru akan senantiasa melakukan mobilitas sangat tinggi dalam pembelajaran berdiferensiasi secara reguler.
Sementara itu dalam layanan pembelajaran berdiferensiasi berbasis e-modul, siswa lebih bersifat mandiri. Dengan demikian guru bisa lebih fokus untuk hal lain, misalnya pada proses evaluasi (penilaian autentik).
Berpijak dari uraian tentang pentingnya pembelajaran berdiferensi baik dalam Kurikulum 2013 maupun Kurikululm Merdeka di atas, tampaknya layanan individu dan kelompok merupakan sebuah keharusan. Dalam hal ini guru harus mampu mengendalikan lajunya proses pembelajaran dengan beragam karakteristiknya agar kualitas pembelajaran tetap terjaga.
Pada akhirnya gurulah yang memang harus menjadi penyangga bahkan aktor utama kurikulum. Keberhasilan sebuah proses pembelajaran akan tetap menjadi tanggung jawab seorang aktor kurikulum.(*)