Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si
MALANG POSCO MEDIA – Bangunan trilogi menjadi penggerak generasi Qur’ani di era global. Meliputi keikhlasan, kejujuran dan kerukunan yang menjadi kunci utama dalam berkhidmat pengembangan budaya dan peradaban sebagai tangga untuk memanusiakan manusia bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya.
Ikhlas Menjadi Pondasi
Segala aktivitas dalam melaksanakan tugas sehari-hari dengan penuh kreasi, inovasi, dedikasi tinggi tanpa mengenal waktu, segala kemampuan dan kekuatan dikerahkan, bukan semata-mata mencari penghasilan dan pujian manusia tetapi hati yang bersih yang tidak dicampuri dengan noda apapun semata-mata mencari ridla Allah SWT dalam berbagai aktivitas, berjuang menegakkan agama Allah, memurnikan ketaatan kepada- Nya dalam menjalankan agama (QS. Az-Zumar: 11).
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Mulk, 2 bahwa Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya. Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima, begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima.
Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah, benar yaitu apabila di atas sunnah/ tuntunan Al-Qur’an. Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap diri sendiri. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, Ya Allah, Engkaulah yang lebih mengetahui diriku dari pada diriku sendiri. Dan diriku lebih mengetahui diriku dari pada mereka. Oleh sebab itu Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari pada yang mereka kira, dan janganlah Kau siksa diriku karena akibat ucapan mereka, dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Mutharrif bin Abdullah mengatakan bahwa baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat (Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, 19).
Ibnu al-Mubarak mengatakan bahwa betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat. Seorang Ulama yang mulia dan sangat wara’; Sufyan ats Tsauri berkata bahwa tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit dari pada niatku. Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata; semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, wahai Abu Bakar; apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya. Ad-Daruquthni juga mengatakan bahwa pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.
Sedangkan Asy Syathibi mengatakan bahwa penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang shaleh adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri. Dalam biografi Ayyub as-Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan bahwa aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut. Seorang ulama’ mengatakan bahwa orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya.
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan napas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal(buah yang pahit dan tidak enak dipandang), sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya yaumul ma’aad (hari kiamat).
Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah sebatang pohon di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal, sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat.
Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik, maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah zaqqum dan siksaan yang terus menerus, dan Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.
Syaikh Ibrahim ar-Ruhailiah mengatakan bahwa ikhlas dalam perbuatan dan beramal karena Allah merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, 49).
Maka keikhlasan ini harus diletakkan pada posisi awal dalam perbuatan setelah niat, agar buah yang dapat dipetik oleh sesorang adalah keluhuran hati dan pikiran dengan dasar tauhid, yang melahirkan amal shaleh serta memberi manfaat pada lingkungan sekitar.
Kejujuran; Suara Hati
Kejujuran merupakan kesesuaian antara suara hati, ucapan, dan perbuatan sehingga jika salah satu syarat itu hilang, maka tidaklah dikatakan sebagai kejujuran yang sempurna. Mencintai kebenaran yang terpatri dalam jiwa bahwa kebenaran merupakan tujuan luhur yang ingin dicapai oleh setiap orang dalam beaktivitas, dan ia selalu berusaha untuk mencapai hal tersebut.
Sifat berani dan terus terang tidak akan pernah mengenal cari muka dan kebohongan karena perbuatan jujur, tidak akan menipu dan tidak juga berdusta. Jujur merupakan sifat yang terpuji, dengan seseorang menghiasi dirinya dan dengannya pula ilmu yang dimiliki seseorang akan menambah pengaruh dan wibawa pada dirinya dalam memegang amanah yang diembannya.
Kejujuran merupakan pondasi akhlaq bagi seseorang sekaligus sebagai pangkal dari semua akhlak. Karenanya seseorang yang jujur selalu dipenuhi dengan keutamaan dan akhlak yang luhur. Ia selalu terus terang, tidak hipokrit, istiqomah tidak bimbang, dermawan, komitmen, dipercaya, qona’ah, penuh kasih sayang, selalu berbuat baik, sabar, menjaga kehormatan diri, rendah hati, transparan, giat bekerja, adil, tidak melakukan tipu daya, sedangkan orang terbiasa berdusta, jelas sikapnya tentu akan sebaliknya.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda yang artinya: hendaklah kalian jujur, karena jujur akan menunjukkan pada kebaikan dan kebaikan akan menunjukkan pada surga, tidaklah seseorang selalu jujur dan berupaya untuk terus jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang jujur(muttafaqun ‘alaih).
Hadis ini memberikan gambaran bahwa kejujuran selalu membawa kepada kebaikan, kebaikan adalah ungkapan kata yang mencakup segala bentuk kebaikan dalam berbagai amal shalih, yaitu amal-amal tambahan di luar kewajiban, serta meninggalkan hal hal yang diharamkan yang membawa pada derajat ketaqwaan.
Seseorang yang berusaha untuk selalu jujur tidak akan memberikan peluang bagi dirinya untuk mengeluarkan perkataan dengan seenaknya, tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu. Tidak akan memberikan peluang untuk mengikuti sesuatu tanpa didasari dengan ilmu. Tidak akan memutuskan perkara dengan dasar dugaan tanpa dikuatkan oleh dalil dan bukti yang cukup. Pondasi inilah menjadi salah satu pilar yang harus diemban oleh seseorang sebagai khalifah Allah di atas bumi, untuk melestarikan, memelihara, mendayagunakan dan memakmurkan untuk kemaslahatan umat.
Kerukunan; Kelapangan Dada
Kerukunan sebagai satu tata pikir atau sikap hidup yang menunjukkan kesabaran atau kelapangan dada menghadapi pikiran-pikiran, pendapat-pendapat, dan pendirian orang dalam berinteraksi dalam beraktivitas. Kerukunan merupakan perhimpunan yang damai atau persatuan yang menumbuhkan sikap saling menghargai dalam komunitas yang beragam pola pikir, sikap dan perilakunya yang berbeda-beda, tetapi dapat hidup damai tanpa konflik. Kalau diibaratkan seperti es campur yang bahannya berbeda; ada es, alpukat, kelapa, nangka, susu, coklat, puding dan sebagainnya, namun menciptakan cita rasa yang nikmat.
Kerukunan merupakan awal dan pondasi terjalinnya sistem kerja yang baik dan saling menopang untuk menuju kejayaan. Maka dengan kata lain tanpa adanya kerukunan dalam sebuah tatanan kehidupan masyarkat, akan sulit terwujudnya kehidupan yang adil berkemakmuran dan kemakmuran yang berkeadilan.
Kerukunan merupakan aspek penting dalam mewujudkan cita-cita dan impian besar, hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, yang mampu menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin yang memiliki latar bekakang perbedaan baik secara sosial, politik, geografis maupun secara budaya.
Secara perbedaan itu beliau ikut dalam ikatan keimanan yang ternyata jauh lebih kokoh dan abadi dibandingkan dengan ikatan-ikatan primordialisme yang lainnya. Ikatan keimanan ini kemudian tumbuh menjadi ukhuwah islamiyah, sebuah istilah yang menunjukkan persaudaraan antara sesama muslim di seluruh dunia tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa, dan kewarganegaraan.
Namun demikian, kerukunan juga akan indah lagi apabila tidak lagi membeda-bedakan agama, suku, adat istiadat, latar belakang ekonomi, sosial-budaya, bangsa dan negara, karena satu sama lain saling membutuhkan untuk kerjasama guna mewujudkan kehidupan yang berbudaya dan berperadaban secara global. Dan itulah ciri dari generasi Qur’ani seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan demikian kerukunan merupakan gabungan dari berbagai macam unsur yang berbeda yang diikat menjadi satu ikatan yang menyatu yang lebih mengutamakan aspek kesamaan dibandingkan perbedaan. Dengan kata lain berbicara kerukunan berarti lebih banyak berbicara kesamaan dan mengesampingkan perbedaan, dan perbedaan yang ada dipahami sebagai penyempurna dan kekuatan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih anggun dan bermartabat di era global, karena di era global spesialisasi atau keahlian banyak dikembangkan.
Di sinilah manusia membutuhkan kerjasama, harmonis, saling menopang satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan tidak bisa hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Wallahu ‘Alam bi Ashowaf.(*)