spot_img
Friday, July 4, 2025
spot_img

Pers Indonesia

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Banyak yang mengatakan bahwa sekarang adalah era “sendhyakala” pers nasional. Industri media massa disebut sebagai sunset industry, industri yang akan tenggelam. Phillip Meyer sudah membuat prediksi bahwa media massa akan menemui akhirnya. Hal itu diungkapkannya dalam buku “The Vanishing Newspaper” (2009)

Presiden Joko Widodo mengatakan pers Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Hal itu diungkapkannya ketika memberi sambutan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Medan (9/2). Jokowi galau karena sekarang pers berkualitas tergerus oleh gelombang serbuan media sosial yang menyebarkan berita-berita tidak bermutu.

Jokowi melihat kemunculan platform-platform digital menggerus berita yang berkualitas. Dan, yang tidak kalah seram, platform digital menyedot pendapatan iklan media mainstream sampai 60 persen. Disrupsi digital yang dahsyat ini telah membuat banyak media cetak gulung tikar dan bermigrasi menjadi media online.

Ada tiga platform digital yang menjadi raja dalam bisnis digital global sekarang ini. Mereka adalah Facebook yang menguasai jagat media sosial, Google yang menjadi raja mesin pencari atau search engine, dan Amazon yang mendominasi dunia e-commerce. Trio FGA (Facebook, Google, Amzon) itu bukan perusahaan media, tetapi memperoleh keuntungan triliunan dolar dari bisnis media.

Inilah ciri khas disrupsi digital yang membuat dunia tunggang langgang. Muncul banyak perusahaan teknologi yang menyerobot lahan garapan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Gojek dan Grab menjadi perusahaan layanan transportasi terbesar di dunia tanpa memiliki satu unit kendaraan pun.

Industri media juga menghadapi disrupsi yang sama. Trio FGA menjadi ‘’perusahaan media’’ yang tidak mempunyai satu media penerbitan pun. Nasib perusahaan media di seluruh dunia sama saja dengan nasib hotel, perusahaan transportasi, dan outlet penjualan di seluruh dunia, yang harus menyesuaikan diri dengan praktik bisnis baru yang dikembangkan oleh platform digital.

Penerbit media massa tidak punya pilihan lain selain mengalah kepada platform digital untuk melakukan distribusi konten, penggalian data pengguna, dan layanan periklanan. Tiga hal itu menjadi nafas media massa, dan menyerahkan operasional tiga hal itu sama saja dengan menyerahkan leher kepada lawan.

Itulah realitas yang terjadi sekarang. Trio FGA sudah menjadi penguasa dominan yang membuat para pengelola media harus rela berbagi kekuasaan. Mau tidak mau pengelola media harus masuk ke dalam ekosistem yang diciptakan oleh platform digital untuk menjamin konten berita bisa dibaca oleh konsumen media.

Dalam praktiknya platform digital bertransformasi menjadi penerbit. Yang terjadi bukanlah transformasi tetapi kolonialisasi dan bahkan imperialisme. Perusahaan platform menjarah ranah yang selama ini menjadi lahan penerbit. Perusahaan platform melalui search engine dan media sosial mendominasi distribusi konten. Mayoritas konsumen media mengakses berita dari platform media dan hanya sedikit yang mengakses langsung ke jaringan penerbit.

Perusahaan platform bukan hanya mengakumulasi berita, tapi sekaligus melakukan kurasi terhadap seluruh berita untuk disajikan kepada konsumen media sesuai dengan standar platform. Dalam proses ini perusahaan platform mempergunakan algoritma yang bekerja dengan logikanya sendiri, yang sangat berbeda dengan logika penerbit yang menerapkan standar kualitas jurnalisme.

Mesin algoritma bekerja dengan logika mesin. Perusahaan platform menguasai aturannya dan perusahaan media hanya bisa menyerah dan manut. Setiap saat perusahaan platform bisa mengubah standar operasional mesin algoritma, dan perusahaan media harus buru-buru menyesuaikan diri dengan standar baru.

Pendapatan dari iklan yang menjadi jantung kehidupan perusahaan media sekarang juga dikuasai oleh perusahaan platform. Dengan berbagai macam teknologi yang serba cepat, efisien, dan murah, para pengiklan lebih suka berhubungan langsung dengan platform digital daripada dengan penerbit. Perusahan platform kemudian mendistribusikan iklan melalui programmatic ads, googleads, dan program iklan lain yang semuanya diatur oleh platform, dan penerbit hanya bisa pasrah.

Data pelanggan adalah nyawa kedua bagi perusahaan media. Itupun sekarang sudah dikangkangi oleh perusahaan platform.  Data pelanggan ini dikelola dan dikonversi menjadi bisnis triliunan dolar dalam bentuk artificial intelligence (AI). Data pelanggan itu tersimpan rapi di taman sari data yang tertutup yang disebut sebagai ‘’Data Walled Garden.’’ Platform digital mengumpulkan data pembaca dan menambang data itu lalu dikumpulkannya untuk keuntungan perusahaan platform.

Perusahaan media protes dan bersatu membentuk ‘’Aliansi Login’’ untuk menekan perusahaan platform. Jerih payah ini membawa hasil lumayan. Perusahaan platform memberi sedikit konsesi melalui mekanisme ‘’third party cookies’’, tetapi mekanisme itu tetap timpang dan perusahaan media tetap tidak bisa mengendalikan data pelanggan sepenuhnya.

Ketergantungan ini begitu besar dan berbahaya, karena perusahaan media akan kehilangan identitas dari konsumen media, dan dengan demikian akan kehilangan kredibilitas dari pemasang iklan.

Di Eropa aliansi penerbit pernah mencoba melawan FGA. Tapi, dengan sekali tebas saja penerbit sudah terjengkang. Platform digital yang digertak menyerang balik dengan memboikot penerbit. Akibatnya trafik pembaca melorot sampai 80 persen. Penerbit pun angkat tangan menyerah.

Dengan campur tangan pemerintah, penerbit di Eropa berhasil mendapat perlindungan melalui undang-undang ‘’Publisher Right.’’ Australia menyusul mengundangkan ‘’News Media Bargaining Code.’’ Dengan undang-undang itu platform digital dipaksa untuk berbagi hasil dan informasi pelanggan dengan penerbit.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa negara harus hadir membela media yang terpojok tidak berdaya oleh perusahaan platform. Indonesia sedang mengadopsi model ‘’publisher right’’ ala Eropa supaya platform digital bisa memberi kompensasi kepada penerbit yang berita-beritanya ditayangkan oleh platform digital.

Berhadapan dengan kapitalisme global raksasa seperti perusahaan platform tentu tidak gampang. Tetapi, upaya pemerintah Indonesia bersama masyarakat pers untuk memperjuangkan hak-haknya layak ditunggu hasilnya. Mudah-mudahan pers Indonesia kembali bisa baik-baik saja. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img