spot_img
Friday, July 4, 2025
spot_img

Peristiwa Metafisika

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si

MALANG POSCO MEDIA – Sejarah Islam mencatat peristiwa unik dan sulit dicerna akal, yakni peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Secara istilah, Isra’ berjalan di waktu malam hari, sedangkan Mi’raj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra’ mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad saw pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha Palestina (baca QS. 17:1).

Mir’aj adalah kelanjutan perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjid Al Aqsha ke langit sampai di Sidratul Muntaha dan langit tertinggi (ketujuh) tempat Nabi Muhammad saw bertemu dengan Allah swt (baca QS. 53:13-18). Isra’ Mi’raj adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam waktu semalam.

Puncak dari Isra’ Mi’raj adalah Nabi Muhammad SAW menerima perintah salat lima waktu. Perjalanan Nabi Muhammad SAW memang lebih menonjolkan aspek akidah dan ibadah. Namun peristiwa ini bisa diintegrasikan dengan aspek saintifik.

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin menuliskan, Isra’ Mi’raj bukanlah perjalanan antariksa atau perjalanan menggunakan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina, tetapi justru dapat dikaji dalam perspektif saintifik.

Isra’ Mi’raj dalam pendekatan saintifik merupakan perjalanan keluar dari dimensi ruang dan waktu. Memang Thomas mengatakan, cara Rasulullah melakukan perjalanan itu, ilmu pengetahuan tidak bisa menjelaskan, namun dia menegaskan, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan itu bukan dalam keadaan mimpi.

Sedangkan keluar dari dimensi ruang dan waktu, jika dianalogikan berarti pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Dimensi yang lebih besar atau tinggi ini akan mengungguli dimensi yang lebih rendah. Keluar dari dimensi ruang waktu berarti bisa diilustrasikan dimensi 1 merupakan garis, dimensi 2 adalah bidang dan dimensi 3 adalah ruang.

Maka alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Alam tiga dimensi (ruang) juga dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi.

Sedangkan entitas yang berada di alam berdimensi lebih tinggi, dengan mudah memindahkan sang mahkluk, dengan cara mengangkat, dari ujung satu ke ujung lainnya keluar dari dimensi bidang U. Jadi pemindahan makhluk itu tak perlu berkeliling menyusuri lengkungan U.

Thomas menuturkan, dengan memakai penjelasan tersebut, alam malaikat bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang dan waktu. Sehingga malaikat tak ada masalah dan kendala dengan jarak dan waktu. Malaikat bisa melihat manusia sementara manusia tidak bisa sebaliknya.

Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Dengan keluar dari dimensi ruang waktu, berarti perjalanan Rasulullah tersebut tanpa terikat jarak dan waktu, maka Rasulullah mudah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Naiknya Rasulullah ke langit ketujuh dalam Isra’ Mi’raj, membuka pemahaman bahwa langit berlapis tujuh. Langit berarti segala yang ada di atas kita. Dengan demikian, angkasa luar yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas bertebaran di atas kita merupakan langit. Bilangan tujuh dalam beberapa hal di Al Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal, namun lebih mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Tujuh langit maknanya dalam konteks ini, lebih mengena bila dipahami sebagai tatanan benda langit yang tak terhitung jumlahnya, bukan dimaknai sebagai lapisan langit.

Pengertian langit dalam kisah Isra’ Mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah Isra’ Mi’raj adalah alam gaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Itu mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

Bukan Teori Albert Einstein

Allah SWT memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Rasulullah SAW. Pada QS. 53: 13 di atas, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung.”  Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung.

Mengenai pemahaman tentang Isra’ Mi’raj banyak kaum muslim yang masih memiliki perbedaan pandangan secara mendasar. Pertama, pemahaman dengan beranggapan peristiwa isra’ Mi’raj hanyalah sekadar perjalanan ruh, spiritual atau metaphor journey Nabi Muhammad SAW tidak dengan jasad fisik.

Kedua, sebaliknya ada yang berpendapat, bahwa Isra’ dari Mekkah ke Bait al-Maqdis itu dengan jasad atau physical journey. Sedang Mi’raj ke langit adalah dengan ruh atau metaphor journey. Ketiga, pemahaman lain menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan dengan jasad (fisik) dan dapat dijelaskan dalam ilmu yang dipahami manusia karena merupakan peristiwa nyata.

Pemahaman secara fisik (physical journey), Isra’ Mi’raj sebagai sebuah peristiwa metafisika (gaib), barangkali bukan sesuatu yang istimewa. Kebenarannya bukanlah sesuatu yang  luar biasa. Kebenaran metafisika adalah kebenaran naqliyah (dogmatis) yang tidak harus dibuktikan secara akal, namun lebih bersifat  imani. Valid tidaknya kebenaran peristiwa metafisika secara akal, bukanlah soal selagi ia diimani.

Di dalam pemahan secara fisika banyak orang mempertanyakan keshahihan Isra` Mi`raj.  Apakah mungkin manusia melakukan perjalanan sejauh itu hanya dalam waktu kurang dari semalam? Kaum kafir pun telah menantang Rasulullah seperti diberitakan dalam QS. 17: 93.

Peristiwa perjalanan Isra’ Mi’raj dan teori relativitas. Di antara keduanya terdapat faktor persamaan dan perbedaan di dalam proses kejadian, persamaan kedua kisah antara lain; keduanya membahas perihal perjalanan atau journey dari Bumi ke luar angkasa lalu kembali ke Bumi.

Keduanya membahas penggunaan faktor “Speed” atau “kecepatan” tinggi di dalam  pemberitaannya. Konsep mengenai perpisahan antara dua manusia (atau lebih) digunakan sebagai bahan pokok  atau object pembahasan di dalam kedua cerita.

Dalam Isra’ Mi’raj, Rasulullah meninggalkan kaumnya di bumi untuk bepergian ke Majidil Aqsha lalu ke langit ketujuh, dalam kasus teori relativitas menceritakan tentang dua saudara kembar A dan B, dimana saudara kembar B bepergian keluar angkasa.

Sampai di sini, dari hal tersebut di atas, sudah dapat mengambil kesimpulan secara gamblang,  bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj adalah benar. Bagaimana mungkin seorang manusia yang ummi  14 Abad yang silam dapat membuat sebuah cerita atau teori yang dapat dibuktikan di dalam abad ke 20 dengan sedemikian detailnya. Dengan kata lain tidak mungkin Rasulullah  SAW mencontoh teori Albert Einstein yang lahir sesudahnya. Wallahu ‘alam bi as shawab.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img